SELAIN Kudus dan Jakarta, Madura kini menjadi sorotan nasional dalam darurat korona. Setelah Lebaran, pertumbuhan kasus Covid-19 di Kudus ”meledak” menyentuh angka 7.594 persen kasus. Di Jakarta juga terdeteksi 800 klaster Covid-19 yang diperkirakan varian baru. Setali tiga uang dengan Kudus dan Jakarta, kasus korona di Bangkalan, Madura, seperti menggila. Pada awal Juni saja, dari 12 kasus tiba-tiba melonjak menjadi 322 kasus. Menurut situs resmi pemerintahnya, daerah utara dan kotanya menyumbang angka tertinggi. Seperti Kecamatan Bangkalan dengan 687 kasus, Geger (39 kasus), dan Arosbaya (126 kasus).
Berkecamuknya Covid-19 di Bangkalan berimbas pada wilayah tetangganya, Jawa. Di Surabaya, pemerintah kotanya segera menerapkan pengetatan Jembatan Suramadu di sisi Surabaya. Orang-orang Madura yang melewati jembatan itu harus dicucuk hidungnya, di-swab. Semula tes tersebut berjalan lancar. Hanya, di luar dugaan terjadi peristiwa sosial menegangkan. Tuntutan kebijakan tes medis kepada orang Madura ini dianggap diskriminatif, bahkan rasis. Akibatnya, sebagian besar pemuda Madura berdemonstrasi ke Balai Kota Surabaya. Fenomena itu mungkin pertama terjadi selama pandemi. Protokol kesehatan yang berorientasi medis berujung gerakan politis.
Isu liar pun menjalar dengan menggunakan dalil-dalil keagamaan. Ini beralasan karena orang Madura dikenal sebagai masyarakat muslim yang taat dan fanatik. Sehingga ada ungkapan legendaris begini: sebodoh-bodohnya orang Madura akan melawan jika agamanya ternoda.
Secara historis, setelah gelaran pemilihan presiden, Pulau Madura seolah terbelah. Madura Barat (Sampang dan Bangkalan) dikenal sebagai pendukung Prabowo Subianto. Sebaliknya, di sebelah timur (Pamekasan dan Sumenep), masyarakatnya loyalis Joko Widodo.
Padahal, anggapan itu terlalu berlebihan secara sosiologis. Sebab, situasi darurat medis dan krisis sosial ini justru membangkitkan budaya otopoietik. Menurut Luhmann (1997), masyarakat berbudaya otopoietik adalah ciri masyarakat modern yang kompleks. Jadi, kompleksitas persoalan mendorong munculnya kebutuhan proteksionisme.
Karena pandemi Covid-19 tergolong darurat, negara merasa terpanggil melindungi warganya. Caranya beragam. Selain gerakan 5M, pemerintah juga menyediakan fasilitas medis bagi daerah di zona merah, apalagi zona hitam. Jika terjadi pungutan liar di masa pandemi, kultur otopoietik bisa berubah menjadi otokrasi rentenir. Siapakah pihak yang begitu kejam melakukannya di tengah perang melawan pandemi korona ini?
Selama ini perang melawan pandemi Covid-19 yang dilakukan bangsa ini memakai semangat ’45. Upaya menuntaskan persebaran virus global ini seakan mati-matian dilakukan. Semua jalan telah ditempuh. Mulai menggerakkan kekuatan medis, ekonomi, media massa dan sosial, hingga kebijakan lintas pemerintahan. Pemerintah pusat hingga daerah bergandengan tangan memikirkan keselamatan warganya. Agar lonjakan kematian atau penderita Covid-19 terus melandai. Tetapi, selama dua tahun terakhir virus global ini belum juga menyerah kepada bangsa ini.
Artinya, tak semua jalan perlawanan benar-benar diaktifkan. Ada satu jalan sosial kultural yang tampaknya belum didorong maksimal, yakni melibatkan tokoh sentral di daerah lokal masing-masing. Padahal, sebagai bangsa yang majemuk, tentu tiap daerah di Nusantara ini punya modal sosial dan kulturalnya sendiri.
Modal sosial dan kultural ini punya karakter dan cara kerja berbeda-beda. Karena itulah, penyeragaman kebijakan terpusat kadang kala tampak indah di depan citra kamera. Sementara masyarakat di tiap-tiap daerah tak merasa terpanggil. Sebab, yang memanggil bukanlah tokoh strategis yang mewakili sosial budayanya.
Di tingkat lokal, terdapat tiga tokoh strategis yang sering menjadi figur acuan. Pertama, tokoh agama yang bekerja melalui kultur karismatik. Secara historis, orang Madura rela berjuang melawan penjajah di Surabaya karena revolusi jihad kiai.
Kedua, orang kuat lokal. Orang kuat lokal kadang kala kontras dengan kultur karismatik. Sebab, modal sosial dan kultur mereka tidak berasal dari sumber transendental. Tapi berbasis ikatan kekeluargaan dan harga diri kelokalan. Sebagian dari mereka bukan pialang politik praktis yang andal. Namun, kekuatan pengabdian sosial mereka dibangun atas dasar penderitaan rakyat kecil. Di Jawa kadang kala kita mengenalnya dengan istilah kaum punakawan, begawan, atau kesatria.
Ketiga, guru masyarakat. Atau secara kosakata Indonesia disebut dengan istilah guru bangsa. Tokoh ini hampir mirip dengan tokoh strategis yang pertama. Bedanya, guru yang dianggap panutan masyarakat ini punya laku hidup yang tak gila duniawi. Baik dalam aspek gelar, status, profesi, maupun posisi kekuasaan. Mereka hidup di jalan kesunyian yang rela membantu masyarakat dalam ketulusan. Hidupnya sederhana, bahkan rela memberikan makanannya sendiri untuk orang yang membutuhkan. Kalangan petapa atau pejalan sunyi ini mudah ditemukan di masyarakat pedesaan, agraris, atau pesisir.
Selain tokoh strategis masyarakat, masih ada satu tokoh alternatif yang dekat dengan kita. Kadang kala kita sering melupakannya karena sudah biasa berjumpa hampir setiap hari. Mereka adalah kedua orang tua kita. Dalam kultur masyarakat Indonesia, sosok orang tua punya tempat paling mulia. Sebelum mengikuti seruan tokoh masyarakat dan pemerintah, nasihat kedua orang tua lebih dahulu harus didengar.
Tentu ibu adalah tempat pertapaan bagi setiap anak manusia sebelum lahir ke dunia. Sehingga sosoknya paling istimewa dalam barisan keluarga. Apakah satgas Covid-19 sudah sungguh-sungguh merepresentasikan figur ibu atau kedua orang tua kita? Semua tokoh strategis di tingkat lokal itulah yang mestinya dilibatkan dalam perang melawan korona. Bukan mengandalkan tokoh politik dan birokrat yang profesinya tumpang-tindih dengan tim pemoles citra politik penguasa. (*)
Ardhie Raditya, Sosiolog pendidikan kritis dan kajian budaya di Sosiologi Unesa