33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Menikmati tanpa (Harus) Memiliki

MINGGU lalu, saya pergi ke Kawah Wurung. Melalui batas Kabupaten Banyuwangi dan Bondowoso. Kelihatan sekali perbedaannya. Begitu masuk Bondowoso, jalannya mengecil dan tidak terawat. Mugo-mugo, dengan jelasnya pembagian ini, Bondowoso makin mantab merasa memiliki serta memelihara fasilitas umumnya.

Itu kutipan WA dari Wowok Meirianto. Owner rumah makan Kemarang. Yang lagi agresif mengembangkan bisnis restoran + destinasi. Pesan itu ia unggah di grup pengurus  DKB (Dewan Kesenian Blambangan). Beberapa waktu lalu.

Ya, memang. Tema Taman Wisata (TW) Kawah Ijen kini lagi hits. Semua orang berlomba untuk komentar. Di berbagai forum. Mulai dari grup WA sampai Facebook. Bahkan, di warung-warung cangkrukan juga tidak ketinggalan.

Isu TW Kawah Ijen menggelinding begitu cepat. Setelah penandatangan surat Bondowoso. Plt Sekda Provinsi Jatim dan perwakilan Kemendagri. Konon, acara digelar pada 3 Juni 2021. Dengan suasana tidak menyenangkan. Bagi Banyuwangi.

Suasana tidak menguntungkan itu tergambar dalam surat Bupati Ipuk Festiandani. Berisi pencabutan tanda tangan berita acara kesepakatan batas daerah Banyuwangi dan Bondowoso. Yang ia kirim kepada Mendagri. Tertanggal 3 Juni 2021. ‘’Terjadi pemaksaan dan penekanan penandatangan berita acara, dengan mengaburkan alat bukti,’’ bunyi poin 5 surat Ipuk.

Berhasilkah upaya itu. Layak ditunggu bersama. Kira-kira peluang seperti apa. Besar atau kecil. Ditunggu saja. Pastinya, Mendagri akan minta klarifikasi. Kepada para pihak yang hadir. Juga panitia. Acara yang digelar di ruang rapat Sekdaprov Jatim. Bukan di ruang rapat Brawijaya. Seperti tertera dalam surat undangan.

Bila menilik pada berita acara penetapan, peluang pembatalan kesepakatan terbuka lebar. Yakni, pada poin 3: Bupati Banyuwangi dan Bupati Bondowoso sepakat. Untuk melanjutkan ke tahap penetapan Permendagri. Soal batas kedua kabupaten. Di atas Kawah Ijen. Nah, sebelum terbit Permendagri, semua kemungkinan bisa terjadi. Sekali lagi, sebaiknya para pihak bersabar. Menunggu tanggapan Kemendagri. Soal surat pencabutan tanda tangan oleh Bupati Ipuk.

Baca Juga :  Akhir Kuasa Politik Dinasti

Pembahasan wilayah Banyuwangi dan Bondowoso di puncak Ijen sudah lama digelar. Sejak saya aktif jadi wartawan dulu. Sesekali saya memberitakan pertemuan. Membahas batas Banyuwangi dan Bondowoso. Yang menurut saya, dilakukan tidak serius.

Seingat saya, pertemuan para pihak dilakukan pada 2007. Lalu lama menghilang. Tanpa kejelasan. Setelah ‘’diam’’ lama, tiba-tiba dimulai lagi pembahasan. Secara maraton. Tiga hari: 26 – 28 November 2018. Tanpaknya kali ini agak serius. Ada kemajuan. Hasilnya, ada beberapa subsegmen batas yang disepakati. Diadakan pertemuan lagi. Pada 20 Juni 2019. Menghasilkan berita acara  berisi 5 subsegmen batas kesepakatan.

Pertemuan berikutnya diselenggarakan lagi ada 16 Juli 2019. Kali ini lebih fokus. Membahas  subsegmen batas di atas perairan Kawah Ijen. Dan akhirnya terjadi pertemuan 3 Juni 2021. Dengan hasil poin kesepakatan: sisi tepi bibir Kawah Ijen barat masuk Bondowoso. Sedangkan sisi timurnya masuk Banyuwangi.

Pembahasan batas wialyah Banyuwangi – Bondowoso di TW Kawah Ijen terbukti menguras energi. Bahkan, cenderung membuang-buang waktu. Menggangu fokus.

Penetapan batas wilayah di TW Kawah Ijen, bukan soal memang dan kalah. Tapi, soal kreativitas. Yang lebih kreatif, akan mendapat keuntungan dari TW Kawah Ijen.

Katakanlah, Bondowoso yang memang. Tidak serta merta kabupaten pensiunan itu bisa menguasai TW Kawah Ijen. Bondowoso tetap tidak bisa berbuat apa-apa. Karena, baik Bondowoso maupun Banyuwangi hanya memiliki Kawah Ijen secara administrasi. Tidak lebih dan tidak kurang. Hanya seperti itu. Jangan dibayangkan, setelah ‘’menang’’, akan Bondowoso langsung bisa mengelola TW Kawah Ijen.

Tidak seperti itu. sekadar informasi, kawasan hutan pegunungan Ijen ditunjuk sebagai cagar Alam berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No.46, 9 Oktober 1920 Stbl No.736. Dengan  luas 2.560 ha. Pada perkembangan selanjutnya, pada 10 Desember 1981, melalui Surat Keputusan pengawasan cagar alam Kawah Ijen (seluas 92 ha) menjadi taman wisata Alam Kawah Ijen, sedangkan sisanya seluas 2.468 ha tetap sebagai cagar alam.

Baca Juga :  TikTok dan Potensi Disinformasi Politik 2024

Jelas sekali. TW Kawah Ijen masuk kawasan cagar alam. Yang tidak semua pihak bisa mengelolanya. Dan, pengelola tunggal TW Kawah Ijen adalah Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA). Bukan pemkab Banyuwangi atau Bondowoso.

Tapi, selama ini, Banyuwangi tidak mati akal. Untuk ikut menikmati ‘’berkah’’ dari TW Kawah Ijen. Meski tidak ikut memilikinya. Caranya, sangat kreatif. Menggelar event-event yang bau-bau Ijen. Misal, Jazz Ijen dan Banyuwangi Tour de Ijen, Yang salah satu lokasi finishnya di Paltuding, Kawah Ijen.

Pergelaran event itu cukup berhasil. Banyak wisatawan datang ke TW Kawah Ijen. Melalui Banyuwangi. Yang infrastrukturnya jauh lebih bagus dari Bondowoso.

Wa ba’du. Meski tidak ikut mengelola TW Kawah Ijen, dan mendapat sharing tiket masuk ke TW Kawah Ijen, pemkab Banyuwangi tidak protes. Sebaliknya, Banyuwangi merasa bersyukur. Karena perputaran uang pengunjuang TW Ijen terjadi di Banyuwangi. Bukan di Bondowoso. yakni, pengunjung menginap di hotel-hotel di Bumi Blambangan. Mereka belanja di kota The Sunrise of Java.

Bondowoso ngotot memperjuangkan batas lebih luas di TW Kawah Ijen. Mungkin membayangkan akan bisa mengelola TW Kawah Ijen. Opo tumon. Atau, mungkin juga ingin mendapatkan proyek jalan menuju TW Kawah Ijen. Tidak semudah itu. sekarang politik anggaran nasional berbasis program. Dan, bukan sembarang program. Tapi, program yang jelas. Dan, terjaga suistanable-nya. Bukan program abal-abal. Tidak konsiten dalam memajukan pariwisata. (**)

(SAMSUDIN ADLAWI. Budayawan, Penulis Banyuwangi)

MINGGU lalu, saya pergi ke Kawah Wurung. Melalui batas Kabupaten Banyuwangi dan Bondowoso. Kelihatan sekali perbedaannya. Begitu masuk Bondowoso, jalannya mengecil dan tidak terawat. Mugo-mugo, dengan jelasnya pembagian ini, Bondowoso makin mantab merasa memiliki serta memelihara fasilitas umumnya.

Itu kutipan WA dari Wowok Meirianto. Owner rumah makan Kemarang. Yang lagi agresif mengembangkan bisnis restoran + destinasi. Pesan itu ia unggah di grup pengurus  DKB (Dewan Kesenian Blambangan). Beberapa waktu lalu.

Ya, memang. Tema Taman Wisata (TW) Kawah Ijen kini lagi hits. Semua orang berlomba untuk komentar. Di berbagai forum. Mulai dari grup WA sampai Facebook. Bahkan, di warung-warung cangkrukan juga tidak ketinggalan.

Isu TW Kawah Ijen menggelinding begitu cepat. Setelah penandatangan surat Bondowoso. Plt Sekda Provinsi Jatim dan perwakilan Kemendagri. Konon, acara digelar pada 3 Juni 2021. Dengan suasana tidak menyenangkan. Bagi Banyuwangi.

Suasana tidak menguntungkan itu tergambar dalam surat Bupati Ipuk Festiandani. Berisi pencabutan tanda tangan berita acara kesepakatan batas daerah Banyuwangi dan Bondowoso. Yang ia kirim kepada Mendagri. Tertanggal 3 Juni 2021. ‘’Terjadi pemaksaan dan penekanan penandatangan berita acara, dengan mengaburkan alat bukti,’’ bunyi poin 5 surat Ipuk.

Berhasilkah upaya itu. Layak ditunggu bersama. Kira-kira peluang seperti apa. Besar atau kecil. Ditunggu saja. Pastinya, Mendagri akan minta klarifikasi. Kepada para pihak yang hadir. Juga panitia. Acara yang digelar di ruang rapat Sekdaprov Jatim. Bukan di ruang rapat Brawijaya. Seperti tertera dalam surat undangan.

Bila menilik pada berita acara penetapan, peluang pembatalan kesepakatan terbuka lebar. Yakni, pada poin 3: Bupati Banyuwangi dan Bupati Bondowoso sepakat. Untuk melanjutkan ke tahap penetapan Permendagri. Soal batas kedua kabupaten. Di atas Kawah Ijen. Nah, sebelum terbit Permendagri, semua kemungkinan bisa terjadi. Sekali lagi, sebaiknya para pihak bersabar. Menunggu tanggapan Kemendagri. Soal surat pencabutan tanda tangan oleh Bupati Ipuk.

Baca Juga :  Akhir Kuasa Politik Dinasti

Pembahasan wilayah Banyuwangi dan Bondowoso di puncak Ijen sudah lama digelar. Sejak saya aktif jadi wartawan dulu. Sesekali saya memberitakan pertemuan. Membahas batas Banyuwangi dan Bondowoso. Yang menurut saya, dilakukan tidak serius.

Seingat saya, pertemuan para pihak dilakukan pada 2007. Lalu lama menghilang. Tanpa kejelasan. Setelah ‘’diam’’ lama, tiba-tiba dimulai lagi pembahasan. Secara maraton. Tiga hari: 26 – 28 November 2018. Tanpaknya kali ini agak serius. Ada kemajuan. Hasilnya, ada beberapa subsegmen batas yang disepakati. Diadakan pertemuan lagi. Pada 20 Juni 2019. Menghasilkan berita acara  berisi 5 subsegmen batas kesepakatan.

Pertemuan berikutnya diselenggarakan lagi ada 16 Juli 2019. Kali ini lebih fokus. Membahas  subsegmen batas di atas perairan Kawah Ijen. Dan akhirnya terjadi pertemuan 3 Juni 2021. Dengan hasil poin kesepakatan: sisi tepi bibir Kawah Ijen barat masuk Bondowoso. Sedangkan sisi timurnya masuk Banyuwangi.

Pembahasan batas wialyah Banyuwangi – Bondowoso di TW Kawah Ijen terbukti menguras energi. Bahkan, cenderung membuang-buang waktu. Menggangu fokus.

Penetapan batas wilayah di TW Kawah Ijen, bukan soal memang dan kalah. Tapi, soal kreativitas. Yang lebih kreatif, akan mendapat keuntungan dari TW Kawah Ijen.

Katakanlah, Bondowoso yang memang. Tidak serta merta kabupaten pensiunan itu bisa menguasai TW Kawah Ijen. Bondowoso tetap tidak bisa berbuat apa-apa. Karena, baik Bondowoso maupun Banyuwangi hanya memiliki Kawah Ijen secara administrasi. Tidak lebih dan tidak kurang. Hanya seperti itu. Jangan dibayangkan, setelah ‘’menang’’, akan Bondowoso langsung bisa mengelola TW Kawah Ijen.

Tidak seperti itu. sekadar informasi, kawasan hutan pegunungan Ijen ditunjuk sebagai cagar Alam berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No.46, 9 Oktober 1920 Stbl No.736. Dengan  luas 2.560 ha. Pada perkembangan selanjutnya, pada 10 Desember 1981, melalui Surat Keputusan pengawasan cagar alam Kawah Ijen (seluas 92 ha) menjadi taman wisata Alam Kawah Ijen, sedangkan sisanya seluas 2.468 ha tetap sebagai cagar alam.

Baca Juga :  TikTok dan Potensi Disinformasi Politik 2024

Jelas sekali. TW Kawah Ijen masuk kawasan cagar alam. Yang tidak semua pihak bisa mengelolanya. Dan, pengelola tunggal TW Kawah Ijen adalah Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA). Bukan pemkab Banyuwangi atau Bondowoso.

Tapi, selama ini, Banyuwangi tidak mati akal. Untuk ikut menikmati ‘’berkah’’ dari TW Kawah Ijen. Meski tidak ikut memilikinya. Caranya, sangat kreatif. Menggelar event-event yang bau-bau Ijen. Misal, Jazz Ijen dan Banyuwangi Tour de Ijen, Yang salah satu lokasi finishnya di Paltuding, Kawah Ijen.

Pergelaran event itu cukup berhasil. Banyak wisatawan datang ke TW Kawah Ijen. Melalui Banyuwangi. Yang infrastrukturnya jauh lebih bagus dari Bondowoso.

Wa ba’du. Meski tidak ikut mengelola TW Kawah Ijen, dan mendapat sharing tiket masuk ke TW Kawah Ijen, pemkab Banyuwangi tidak protes. Sebaliknya, Banyuwangi merasa bersyukur. Karena perputaran uang pengunjuang TW Ijen terjadi di Banyuwangi. Bukan di Bondowoso. yakni, pengunjung menginap di hotel-hotel di Bumi Blambangan. Mereka belanja di kota The Sunrise of Java.

Bondowoso ngotot memperjuangkan batas lebih luas di TW Kawah Ijen. Mungkin membayangkan akan bisa mengelola TW Kawah Ijen. Opo tumon. Atau, mungkin juga ingin mendapatkan proyek jalan menuju TW Kawah Ijen. Tidak semudah itu. sekarang politik anggaran nasional berbasis program. Dan, bukan sembarang program. Tapi, program yang jelas. Dan, terjaga suistanable-nya. Bukan program abal-abal. Tidak konsiten dalam memajukan pariwisata. (**)

(SAMSUDIN ADLAWI. Budayawan, Penulis Banyuwangi)

Terpopuler

Artikel Terbaru