33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Akhir Kuasa Politik Dinasti

SEJAK reformasi, kita melihat banyak orang baik (pintar) yang menjadi kepala daerah, baik sebagai gubernur, bupati, maupun wali kota. Namun, di saat yang sama, kita juga melihat ada orang biasa yang mampu mengakses kekuasaan, lalu menjadi orang kuat lokal.

Hebatnya, orang kuat lokal itu bermetamorfosis menjadi semacam raja kecil. Mereka mampu membangun imperium kekuasaan dengan jejaring keluarga dan orang dekat yang kuat serta berjejaring secara vertikal dan horizontal. Berjejaring vertikal seperti menteri, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan sebagainya. Berjejaring horizontal seperti dengan pengusaha lokal, keluarga, serta kepala desa dan preman sebagai penyangga kekuasaan. Sehingga kekuasaannya nyaris paripurna dan menjadi ”superpower”.

Di Jawa Timur kita dapat melihat beberapa orang kuat lokal itu tumbuh dan mampu mengakses kekuasaan hingga menjabat puluhan tahun. Mereka berhasil menggapai puncak kekuasaan melalui proses demokrasi dan keterbukaan politik. Seperti Fuad Amin Imron (mantan bupati Bangkalan), Mustofa Kamal Pasa (mantan bupati Mojokerto), dan Hasan Aminuddin (mantan bupati Probolinggo).

Untuk yang terakhir itu, mungkin tidak banyak yang tahu bahwa Hasan Aminuddin adalah orang kuat lokal yang sulit digoyahkan. Sebaliknya, orang mungkin mengira bahwa Hasan adalah politikus sukses, keturunan kiai yang mampu menjabat bupati dua periode, anggota DPR RI dua periode dengan perolehan suara yang fantastis, dan sosok yang mampu mengantarkan istrinya, Puput Tantriana Sari (Tantri), menjadi bupati dua periode.

Namun, dalam pandangan aktivis dan masyarakat Probolinggo, Hasan adalah politikus biasa yang tumbuh dan bermetamorfosis menjadi raja kecil yang kuat. Dia mampu membangun dinasti politik yang kukuh di Probolinggo dengan menguasai jejaring kultural dan struktural. Secara kultural, dia menguasai jejaring kiai dan pesantren yang sangat berpengaruh di Probolinggo. Sementara secara struktural dia memegang kendali birokrasi, mulai tingkat kabupaten hingga tingkat desa.

Baca Juga :  Babak Belur KPK

Dalam perspektif dramaturgis ala Goffman, Hasan dapat disebut sebagai politikus yang berdarah dingin, pembawaannya tenang dan berkopiah. Namun, di balik itu semua, Hasan juga dianggap pandai memainkan tangan-tangan besinya yang tidak tampak (invisible hand). Tangan-tangan besi ini sengaja dibuat dan difungsikan dengan senyap, seperti menggerakkan birokrasi, mengintervensi kebijakan politik, dan memproteksi kritik dari luar.

Alhasil, dengan keberhasilan itu, Hasan kian leluasa melakukan apa saja. Dia dengan mudah menempatkan istri keduanya sebagai bupati Probolinggo dua periode (2013–2018 dan 2018–2023). Sementara dia sendiri dengan mulus terpilih sebagai anggota DPR RI periode 2014–2019 dan periode 2019–2024 dengan perolehan suara yang signifikan, yakni 190.226 suara.

 

Lebih jauh, Hasan juga sangat mudah menempatkan kerabat-kerabatnya sebagai anggota DPRD. Mampu menempatkan orang-orangnya di lingkungan birokrasi pemerintahan dan bisa menentukan pejabat sementara (Pjs) kepala desa di hampir semua kecamatan. Sehingga, dengan kuasanya itu, di Probolinggo sejak dinasti politik Hasan ditancapkan, nyaris tak ada pengawasan yang ketat dari DPRD, tak ada kritik dari masyarakat, dan semuanya tampak berjalan normal.

Namun, di balik itu semua, Hasan lupa bahwa kuasa politik itu ada batas dan akhirnya, dinasti politik itu ada ujungnya. Hasan justru diduga melakukan banyak transaksi liar dalam jual beli jabatan. Melalui istri dan kroni-kroninya, Hasan dianggap menjadi otak jual beli tersebut. Dugaan itu bukan tanpa alasan. Oleh masyarakat Probolinggo, Hasan sering disebut the real bupati. Sebab, banyak keputusan penting Bupati Tantri yang dibuat dan dikendalikan Hasan. Benar atau tidak dugaan seperti itu tentu harus dibuktikan terlebih dulu.

Sebagian orang mungkin bertanya-tanya bagaimana Hasan bisa menjadi sangat kuat dan sulit digoyahkan di Probolinggo. Ada beberapa tesis yang dapat menjelaskan hal itu. Salah satunya adalah tesis Abdur Rozaki (2004). Menurut dia, jika ”rezim kembar” yang memiliki pengaruh sangat kuat di Probolinggo, seperti kiai dan kepala desa (dalam istilah Madura disebut blater), mampu dipadupadankan dengan baik, pemegang kekuasaan itu akan menjadi sulit ditumbangkan.

Baca Juga :  Mencari Alternatif Sumber Pertumbuhan Ekonomi

Tesis tersebut mungkin ada benarnya. Sebab, Hasan sering memanfaatkan dua ”rezim kembar” itu untuk mempertahankan kuasanya. Dia menyinergikan keduanya menjadi alat politik yang efektif sehingga kursi kekuasaan di Probolinggo menjadi sangat kuat dan sulit digoyahkan dan digantikan.

Namun, selain tesis tersebut, tesis Martien Herna Susanti (2017) juga sangat perlu dipertimbangkan. Menurut dia, dinasti politik yang kukuh di atas terjadi karena peran partai politik dan regulasi tentang pilkada. Selama ini hajatan pemilihan kepala daerah melalui pencalonan kandidat oleh partai politik lebih cenderung didasarkan atas keinginan elite partai. Bukan berdasar rasionalitas dengan mempertimbangkan kapasitas dan integritas calon.

Sejalan dengan itu, regulasi untuk memangkas politik dinasti justru masih sangat lemah. Padahal, ini turut menjadi penyebab meluasnya politik dinasti dalam pilkada. Sehingga tidak mengagetkan jika praktik politik dinasti selama ini, termasuk yang terjadi di Probolinggo, telah menjadikan fungsi checks and balances lemah. Hingga berdampak pada tindakan korupsi yang dilakukan si aktor, kepala daerah beserta kroni-kroninya.

Akhirnya, ini menjadi pelajaran politik bagi kita semua. Sekuat-kuatnya dinasti politik akhirnya bisa jatuh juga. Apa yang yang terjadi pada Hasan Aminuddin beserta istrinya selaku bupati Probolinggo yang menjadi pasien KPK melalui operasi tangkap tangan (OTT) adalah pertanda bahwa dinasti politik itu tidak kekal. Kejadian tersebut juga bisa menjadi lonceng peringatan bagi kepala daerah lain yang memiliki pola yang sama. Berhentilah memimpin dengan cara seenaknya, apalagi memupuk politik dinasti dengan siasat licik, penuh intrik, dan transaksional. (*)

ABDUS SAIR, Mahasiswa Doktoral FISIP Universitas Airlangga, Dosen Sosiologi FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

SEJAK reformasi, kita melihat banyak orang baik (pintar) yang menjadi kepala daerah, baik sebagai gubernur, bupati, maupun wali kota. Namun, di saat yang sama, kita juga melihat ada orang biasa yang mampu mengakses kekuasaan, lalu menjadi orang kuat lokal.

Hebatnya, orang kuat lokal itu bermetamorfosis menjadi semacam raja kecil. Mereka mampu membangun imperium kekuasaan dengan jejaring keluarga dan orang dekat yang kuat serta berjejaring secara vertikal dan horizontal. Berjejaring vertikal seperti menteri, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan sebagainya. Berjejaring horizontal seperti dengan pengusaha lokal, keluarga, serta kepala desa dan preman sebagai penyangga kekuasaan. Sehingga kekuasaannya nyaris paripurna dan menjadi ”superpower”.

Di Jawa Timur kita dapat melihat beberapa orang kuat lokal itu tumbuh dan mampu mengakses kekuasaan hingga menjabat puluhan tahun. Mereka berhasil menggapai puncak kekuasaan melalui proses demokrasi dan keterbukaan politik. Seperti Fuad Amin Imron (mantan bupati Bangkalan), Mustofa Kamal Pasa (mantan bupati Mojokerto), dan Hasan Aminuddin (mantan bupati Probolinggo).

Untuk yang terakhir itu, mungkin tidak banyak yang tahu bahwa Hasan Aminuddin adalah orang kuat lokal yang sulit digoyahkan. Sebaliknya, orang mungkin mengira bahwa Hasan adalah politikus sukses, keturunan kiai yang mampu menjabat bupati dua periode, anggota DPR RI dua periode dengan perolehan suara yang fantastis, dan sosok yang mampu mengantarkan istrinya, Puput Tantriana Sari (Tantri), menjadi bupati dua periode.

Namun, dalam pandangan aktivis dan masyarakat Probolinggo, Hasan adalah politikus biasa yang tumbuh dan bermetamorfosis menjadi raja kecil yang kuat. Dia mampu membangun dinasti politik yang kukuh di Probolinggo dengan menguasai jejaring kultural dan struktural. Secara kultural, dia menguasai jejaring kiai dan pesantren yang sangat berpengaruh di Probolinggo. Sementara secara struktural dia memegang kendali birokrasi, mulai tingkat kabupaten hingga tingkat desa.

Baca Juga :  Babak Belur KPK

Dalam perspektif dramaturgis ala Goffman, Hasan dapat disebut sebagai politikus yang berdarah dingin, pembawaannya tenang dan berkopiah. Namun, di balik itu semua, Hasan juga dianggap pandai memainkan tangan-tangan besinya yang tidak tampak (invisible hand). Tangan-tangan besi ini sengaja dibuat dan difungsikan dengan senyap, seperti menggerakkan birokrasi, mengintervensi kebijakan politik, dan memproteksi kritik dari luar.

Alhasil, dengan keberhasilan itu, Hasan kian leluasa melakukan apa saja. Dia dengan mudah menempatkan istri keduanya sebagai bupati Probolinggo dua periode (2013–2018 dan 2018–2023). Sementara dia sendiri dengan mulus terpilih sebagai anggota DPR RI periode 2014–2019 dan periode 2019–2024 dengan perolehan suara yang signifikan, yakni 190.226 suara.

 

Lebih jauh, Hasan juga sangat mudah menempatkan kerabat-kerabatnya sebagai anggota DPRD. Mampu menempatkan orang-orangnya di lingkungan birokrasi pemerintahan dan bisa menentukan pejabat sementara (Pjs) kepala desa di hampir semua kecamatan. Sehingga, dengan kuasanya itu, di Probolinggo sejak dinasti politik Hasan ditancapkan, nyaris tak ada pengawasan yang ketat dari DPRD, tak ada kritik dari masyarakat, dan semuanya tampak berjalan normal.

Namun, di balik itu semua, Hasan lupa bahwa kuasa politik itu ada batas dan akhirnya, dinasti politik itu ada ujungnya. Hasan justru diduga melakukan banyak transaksi liar dalam jual beli jabatan. Melalui istri dan kroni-kroninya, Hasan dianggap menjadi otak jual beli tersebut. Dugaan itu bukan tanpa alasan. Oleh masyarakat Probolinggo, Hasan sering disebut the real bupati. Sebab, banyak keputusan penting Bupati Tantri yang dibuat dan dikendalikan Hasan. Benar atau tidak dugaan seperti itu tentu harus dibuktikan terlebih dulu.

Sebagian orang mungkin bertanya-tanya bagaimana Hasan bisa menjadi sangat kuat dan sulit digoyahkan di Probolinggo. Ada beberapa tesis yang dapat menjelaskan hal itu. Salah satunya adalah tesis Abdur Rozaki (2004). Menurut dia, jika ”rezim kembar” yang memiliki pengaruh sangat kuat di Probolinggo, seperti kiai dan kepala desa (dalam istilah Madura disebut blater), mampu dipadupadankan dengan baik, pemegang kekuasaan itu akan menjadi sulit ditumbangkan.

Baca Juga :  Mencari Alternatif Sumber Pertumbuhan Ekonomi

Tesis tersebut mungkin ada benarnya. Sebab, Hasan sering memanfaatkan dua ”rezim kembar” itu untuk mempertahankan kuasanya. Dia menyinergikan keduanya menjadi alat politik yang efektif sehingga kursi kekuasaan di Probolinggo menjadi sangat kuat dan sulit digoyahkan dan digantikan.

Namun, selain tesis tersebut, tesis Martien Herna Susanti (2017) juga sangat perlu dipertimbangkan. Menurut dia, dinasti politik yang kukuh di atas terjadi karena peran partai politik dan regulasi tentang pilkada. Selama ini hajatan pemilihan kepala daerah melalui pencalonan kandidat oleh partai politik lebih cenderung didasarkan atas keinginan elite partai. Bukan berdasar rasionalitas dengan mempertimbangkan kapasitas dan integritas calon.

Sejalan dengan itu, regulasi untuk memangkas politik dinasti justru masih sangat lemah. Padahal, ini turut menjadi penyebab meluasnya politik dinasti dalam pilkada. Sehingga tidak mengagetkan jika praktik politik dinasti selama ini, termasuk yang terjadi di Probolinggo, telah menjadikan fungsi checks and balances lemah. Hingga berdampak pada tindakan korupsi yang dilakukan si aktor, kepala daerah beserta kroni-kroninya.

Akhirnya, ini menjadi pelajaran politik bagi kita semua. Sekuat-kuatnya dinasti politik akhirnya bisa jatuh juga. Apa yang yang terjadi pada Hasan Aminuddin beserta istrinya selaku bupati Probolinggo yang menjadi pasien KPK melalui operasi tangkap tangan (OTT) adalah pertanda bahwa dinasti politik itu tidak kekal. Kejadian tersebut juga bisa menjadi lonceng peringatan bagi kepala daerah lain yang memiliki pola yang sama. Berhentilah memimpin dengan cara seenaknya, apalagi memupuk politik dinasti dengan siasat licik, penuh intrik, dan transaksional. (*)

ABDUS SAIR, Mahasiswa Doktoral FISIP Universitas Airlangga, Dosen Sosiologi FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Terpopuler

Artikel Terbaru