25.6 C
Jakarta
Saturday, November 23, 2024

Sarah Gilbert dan Nilai Kemanusiaan Vaksin

SUNGGUH mulia keputusan Dame Sarah Gilbert, profesor Universitas Oxford (Inggris) sekaligus pengembang vaksin AstraZeneca (AZ). Dia membebaskan akses hak paten atas teknologi vaksin temuannya lewat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Artinya, Gilbert tidak mendapat bayaran royalti dari setiap penjualan vaksin AZ. Vaksin AZ memang bukan yang terbaik dari vaksin lainnya. Namun, kemurahan hati ilmuwan ini telah berdampak terhadap harga vaksin AZ.

Menurut Gilbert, vaksin itu untuk dunia, diproduksi dan didistribuikan secara luas, bahkan disublisensi ke berbagai produsen di berbagai belahan dunia. Dia berharap faktor struktural tidak menjadi penghambat peluncuran vaksin Covid-19 yang lebih cepat dan adil. Karena jiwa kemanusiaannya itu, Gilbert diundang khusus dalam ajang Wimbledon 2021 (28 Juni 2021) sebagai tokoh inspiratif. Gilbert mendapat standing ovation dari penonton sebagai apresiasi atas perjuangannya mengatasi pandemi Covid-19.

Memang benar, harga vaksin AZ tergolong paling murah di dunia. Sekadar perbandingan: vaksin AZ dijual USD 4 per dosis (data Observer), vaksin Moderna seharga USD 50, dan Pfizer seharga USD 19,5 per dosis (data Forbes). Kemudian vaksin Johnson & Johnson dijual USD 10 per dosis (data CNBC) dan Sinovac dijual USD 60 untuk dua suntikan (data Financial Times). Itu berarti kemurahan hati Gilbert telah menolong banyak manusia dalam menghadapi virus Covid-19.

Sebenarnya, jauh sebelum Gilbert, sudah ada ilmuwan yang memiliki jiwa mulia bagi kemanusiaan, yaitu penemu vaksin polio Jonas Edward Salk (warga AS). Jonas pernah ditanya mengenai hak milik atas paten vaksin yang ditemukannya. Jawaban mulia Jonas ialah: tidak ada paten. Dapatkah kalian mematenkan matahari? Jonas melihat temuannya yang sudah menolong umat manusia belum sebanding dengan ragam karya Sang Pencipta yang tidak pernah meminta royalti dari manusia.

Gilbert dan Jonas telah menunjukkan rasa cinta kasihnya kepada sesama dengan menolak mematenkan temuan vaksin. Dua ilmuwan itu justru berharap vaksin temuannya dapat diperbanyak secepatnya, seluas-luasnya, dan sebanyak mungkin ke masyarakat. Pematenan karya riset vaksin hanyalah penghambat proses produksi dan penyebarannya ke seluruh dunia.

Baca Juga :  Merdeka dari Sindrom Inferiority Complex

Virus seperti Covid-19 merupakan ancaman besar dalam dunia kesehatan masyarakat, bahkan dianggap sebagai penyakit yang paling menakutkan di zaman ini. Wabah korona telah memakan 4 jutaan lebih korban, termasuk anak-anak. Kondisi itulah yang seharusnya menimbulkan rasa empati dari para ilmuwan kesehatan. Secara moral, rasa empati atau belas kasihan terhadap korban pandemi seharusnya menjadi sumber inspirasi dan motivasi mulia bagi ilmuwan untuk menemukan suatu karya yang bermanfaat besar bagi umat manusia.

Riset tanpa empati atau jiwa altruistis akan membuat ilmuwan hanya mau serius melakukan riset jika didorong bayaran yang mahal (driven by money). Namun, paradigma riset Gilbert menjadi inspirasi bagi seluruh ilmuwan dunia untuk tidak terjebak pada kepentingan politik dan ekonomi suatu negara. Hegemoni politik dan ekonomi tidak seharusnya menghambat rantai pasokan vaksin. Keputusan Gilbert menjadi teladan bagi ilmuwan di seluruh dunia bahwa riset dan teknologi itu sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan.

 

Problem Rantai Pasok Vaksin

 

Riset dan proses produksi vaksin bukan sekadar persoalan bisnis dan ekonomi. Sebagai kebutuhan darurat bagi kehidupan umat manusia, hasil riset vaksin sepatutnya bisa diakses semua negara. Seperti halnya jurnal-jurnal internasional, riset vaksin bersifat terbuka bagi umum atau bagi semua ilmuwan di berbagai negara. Riset demi kepentingan nyawa banyak manusia tidak perlu menjadi rahasia suatu negara. Di saat pandemi terus mengancam nyawa umat manusia, riset vaksin Covid-19 butuh kolaborasi riset antarnegara untuk mencegah terjadinya monopoli paten, produksi, dan pemasaran.

Baca Juga :  Pekik (Belum) Merdeka Guru Honorer

Sayangnya, para ilmuwan altruis seperti Gilbert dan Jonas tidak bisa terlibat langsung dalam sistem mata rantai pasok vaksin (kebijakan bahan baku, proses produksi, distribusi, dan pemasaran). Itu sudah wilayah industri farmasi. Pembebasan hak paten atas teknologi paten ternyata belum menyelesaikan problem rantai pasok vaksin.

Tantangan dari hasil teknologi farmasi dan medis adalah proses di ranah industri yang berhadapan dengan pasar bahan baku (termasuk kemasan), bank sel, pengujian, dan reagen (unsur pembuatan) untuk proses produksi vaksin. Banyak stakeholder yang terlibat serta sumber daya yang dibutuhkan dalam proses ini. Selain problem produksi yang timpang, kualitas layanan vaksin di negara-negara miskin juga mengalami kesenjangan atau ketidaksetaraan, termasuk problem antre dan sulitnya mendapatkan akses terhadap penjual vaksin.

 

Di negara-negara maju vaksin sudah tersedia lengkap dengan teknologi terbaru yang membuat pasien terlayani dengan cepat dan nyaman. Terkait produksi dan distribusi, ketegangan sering terjadi antara pemerintah dan dunia industri farmasi yang akhirnya belum bisa memecahkan persoalan akses dan harga vaksin. Bahkan, kompetisi vaksin antarnegara pun menimbulkan ketidakseimbangan dalam produksi dan pemasaran vaksin. Kepentingan ekonomi produsen vaksin acap menjadi penghambat sisi kemanusiaan vaksin.

Kepentingan ekonomi juga membawa industri farmasi ke perilaku monopolistis di kala ilmuwan, seperti Gilbert, sudah melepas hak monopolinya terhadap paten vaksin. Ironis memang jika di tahap industrialisasi dan komersialisasi vaksin justru terjadi monopoli rantai pasok. Untuk itulah riset, pengembangan, dan produksi vaksin seharusnya diambil alih oleh WHO sebagai lembaga publik internasional dan departemen kesehatan tiap negara supaya riset vaksin tetap mengabdi bagi kemanusiaan. Rantai pasok vaksin seharusnya berada dalam koridor kepentingan publik. (*)

AUGUSTINUS SIMANJUNTAK, Dosen Program Manajemen Bisnis FBE Universitas Kristen Petra Surabaya

SUNGGUH mulia keputusan Dame Sarah Gilbert, profesor Universitas Oxford (Inggris) sekaligus pengembang vaksin AstraZeneca (AZ). Dia membebaskan akses hak paten atas teknologi vaksin temuannya lewat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Artinya, Gilbert tidak mendapat bayaran royalti dari setiap penjualan vaksin AZ. Vaksin AZ memang bukan yang terbaik dari vaksin lainnya. Namun, kemurahan hati ilmuwan ini telah berdampak terhadap harga vaksin AZ.

Menurut Gilbert, vaksin itu untuk dunia, diproduksi dan didistribuikan secara luas, bahkan disublisensi ke berbagai produsen di berbagai belahan dunia. Dia berharap faktor struktural tidak menjadi penghambat peluncuran vaksin Covid-19 yang lebih cepat dan adil. Karena jiwa kemanusiaannya itu, Gilbert diundang khusus dalam ajang Wimbledon 2021 (28 Juni 2021) sebagai tokoh inspiratif. Gilbert mendapat standing ovation dari penonton sebagai apresiasi atas perjuangannya mengatasi pandemi Covid-19.

Memang benar, harga vaksin AZ tergolong paling murah di dunia. Sekadar perbandingan: vaksin AZ dijual USD 4 per dosis (data Observer), vaksin Moderna seharga USD 50, dan Pfizer seharga USD 19,5 per dosis (data Forbes). Kemudian vaksin Johnson & Johnson dijual USD 10 per dosis (data CNBC) dan Sinovac dijual USD 60 untuk dua suntikan (data Financial Times). Itu berarti kemurahan hati Gilbert telah menolong banyak manusia dalam menghadapi virus Covid-19.

Sebenarnya, jauh sebelum Gilbert, sudah ada ilmuwan yang memiliki jiwa mulia bagi kemanusiaan, yaitu penemu vaksin polio Jonas Edward Salk (warga AS). Jonas pernah ditanya mengenai hak milik atas paten vaksin yang ditemukannya. Jawaban mulia Jonas ialah: tidak ada paten. Dapatkah kalian mematenkan matahari? Jonas melihat temuannya yang sudah menolong umat manusia belum sebanding dengan ragam karya Sang Pencipta yang tidak pernah meminta royalti dari manusia.

Gilbert dan Jonas telah menunjukkan rasa cinta kasihnya kepada sesama dengan menolak mematenkan temuan vaksin. Dua ilmuwan itu justru berharap vaksin temuannya dapat diperbanyak secepatnya, seluas-luasnya, dan sebanyak mungkin ke masyarakat. Pematenan karya riset vaksin hanyalah penghambat proses produksi dan penyebarannya ke seluruh dunia.

Baca Juga :  Merdeka dari Sindrom Inferiority Complex

Virus seperti Covid-19 merupakan ancaman besar dalam dunia kesehatan masyarakat, bahkan dianggap sebagai penyakit yang paling menakutkan di zaman ini. Wabah korona telah memakan 4 jutaan lebih korban, termasuk anak-anak. Kondisi itulah yang seharusnya menimbulkan rasa empati dari para ilmuwan kesehatan. Secara moral, rasa empati atau belas kasihan terhadap korban pandemi seharusnya menjadi sumber inspirasi dan motivasi mulia bagi ilmuwan untuk menemukan suatu karya yang bermanfaat besar bagi umat manusia.

Riset tanpa empati atau jiwa altruistis akan membuat ilmuwan hanya mau serius melakukan riset jika didorong bayaran yang mahal (driven by money). Namun, paradigma riset Gilbert menjadi inspirasi bagi seluruh ilmuwan dunia untuk tidak terjebak pada kepentingan politik dan ekonomi suatu negara. Hegemoni politik dan ekonomi tidak seharusnya menghambat rantai pasokan vaksin. Keputusan Gilbert menjadi teladan bagi ilmuwan di seluruh dunia bahwa riset dan teknologi itu sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan.

 

Problem Rantai Pasok Vaksin

 

Riset dan proses produksi vaksin bukan sekadar persoalan bisnis dan ekonomi. Sebagai kebutuhan darurat bagi kehidupan umat manusia, hasil riset vaksin sepatutnya bisa diakses semua negara. Seperti halnya jurnal-jurnal internasional, riset vaksin bersifat terbuka bagi umum atau bagi semua ilmuwan di berbagai negara. Riset demi kepentingan nyawa banyak manusia tidak perlu menjadi rahasia suatu negara. Di saat pandemi terus mengancam nyawa umat manusia, riset vaksin Covid-19 butuh kolaborasi riset antarnegara untuk mencegah terjadinya monopoli paten, produksi, dan pemasaran.

Baca Juga :  Pekik (Belum) Merdeka Guru Honorer

Sayangnya, para ilmuwan altruis seperti Gilbert dan Jonas tidak bisa terlibat langsung dalam sistem mata rantai pasok vaksin (kebijakan bahan baku, proses produksi, distribusi, dan pemasaran). Itu sudah wilayah industri farmasi. Pembebasan hak paten atas teknologi paten ternyata belum menyelesaikan problem rantai pasok vaksin.

Tantangan dari hasil teknologi farmasi dan medis adalah proses di ranah industri yang berhadapan dengan pasar bahan baku (termasuk kemasan), bank sel, pengujian, dan reagen (unsur pembuatan) untuk proses produksi vaksin. Banyak stakeholder yang terlibat serta sumber daya yang dibutuhkan dalam proses ini. Selain problem produksi yang timpang, kualitas layanan vaksin di negara-negara miskin juga mengalami kesenjangan atau ketidaksetaraan, termasuk problem antre dan sulitnya mendapatkan akses terhadap penjual vaksin.

 

Di negara-negara maju vaksin sudah tersedia lengkap dengan teknologi terbaru yang membuat pasien terlayani dengan cepat dan nyaman. Terkait produksi dan distribusi, ketegangan sering terjadi antara pemerintah dan dunia industri farmasi yang akhirnya belum bisa memecahkan persoalan akses dan harga vaksin. Bahkan, kompetisi vaksin antarnegara pun menimbulkan ketidakseimbangan dalam produksi dan pemasaran vaksin. Kepentingan ekonomi produsen vaksin acap menjadi penghambat sisi kemanusiaan vaksin.

Kepentingan ekonomi juga membawa industri farmasi ke perilaku monopolistis di kala ilmuwan, seperti Gilbert, sudah melepas hak monopolinya terhadap paten vaksin. Ironis memang jika di tahap industrialisasi dan komersialisasi vaksin justru terjadi monopoli rantai pasok. Untuk itulah riset, pengembangan, dan produksi vaksin seharusnya diambil alih oleh WHO sebagai lembaga publik internasional dan departemen kesehatan tiap negara supaya riset vaksin tetap mengabdi bagi kemanusiaan. Rantai pasok vaksin seharusnya berada dalam koridor kepentingan publik. (*)

AUGUSTINUS SIMANJUNTAK, Dosen Program Manajemen Bisnis FBE Universitas Kristen Petra Surabaya

Terpopuler

Artikel Terbaru