26.6 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Merdeka dari Sindrom Inferiority Complex

HARI Ulang Tahun (HUT) Ke-76 Kemerdekaan RI kembali dirayakan di tengah masa pandemi Covid-19. Jika melihat persebaran pandemi yang cenderung melandai, terdapat secercah harapan di benak masyarakat akan kemampuan bangsa ini keluar dari kubangan pandemi. Tentu optimisme ini menjadi modalitas psikososial yang dapat dikonversi menjadi komitmen, tekad bersama, dan ikhtiar nyata untuk menanggulangi Covid-19 secara lebih serius lagi.

Namun, optimisme jangan sampai membuat bangsa ini lengah. Kasus ”bobolnya” gerbang negara dari serbuan pertama Covid-19 terbukti belum mampu memberikan pelajaran bagi kita untuk mengantisipasi datangnya serangan kedua varian Delta. Ketika India dihantam varian baru Covid-19, banyak pihak menyangsikan kemampuan bangsa ini untuk membendung masuknya virus tersebut. Benar saja, akhirnya gerbang terluar negara jebol kembali oleh serbuan varian Delta yang datangnya bak gelombang tsunami.

Apa yang menimpa bangsa ini terkait pandemi Covid-19 mengingatkan saya pada pernyataan Aimé Césaire (1913–2008), seorang ilmuwan pascakolonial dari Martinique, sebagaimana dikutip di awal tulisan ini: ”sebuah peradaban yang terbukti tidak mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang dia hadapi merupakan peradaban yang dekaden”. Dengan ungkapan lain, peradaban yang dekaden adalah peradaban yang medioker atau inferior.

 

Sindrom Superiority Complex

Di sisi lain, keberhasilan sejumlah negara menekan persebaran Covid-19 melalui vaksinasi yang diproduksi sendiri memberikan rasa percaya diri yang memuncak dalam bentuk sindrom superiority complex. Fenomena semacam ini ditandai oleh menguatnya kebanggaan diri yang berlebihan dalam bentuk sikap merendahkan bangsa lain. Sindrom superiority complex biasanya banyak terjadi di kalangan negara maju yang tidak mau tunduk pada protokol kesehatan sebagaimana direkomendasikan oleh WHO.

 

Sindrom superiority complex hendak meneguhkan superioritas mereka di atas bangsa-bangsa lainnya. Mentalitas semacam ini bisa dilihat dari sikap mantan Presiden AS Donald Trump yang menyebut Covid-19 sebagai the Chinese viruses (virus Tiongkok). Olok-olok politik tersebut dimaksudkan sebagai strategi glorifikasi diri atas supremasi dan superioritas mereka di atas bangsa-bangsa lain. Stigmatisasi tersebut sempat menimbulkan sentimen anti-Asia dan anti-Tiongkok di kalangan warga AS, terutama di kalangan para pendukung Donald Trump.

Baca Juga :  Urgensi Perlindungan Hak-Hak Petani

Untuk menjadi besar, sebuah bangsa memang membutuhkan mentalitas superiority complex dalam kadar yang tepat. Berkaca dari banyak peradaban besar di panggung sejarah dunia yang datang silih berganti, kunci menuju kebesaran dan kejayaan tentu saja adalah mentalitas superior yang dimiliki oleh warganya. Mentalitas superior tergambar dari karakter yang mereka miliki, seperti berpikir dan bertindak rasional, disiplin, kerja keras, menghargai proses, dan semacamnya.

 

Namun, kadar superiority complex yang overdosis dapat menyebabkan kehancuran sebuah bangsa. Hal demikian terjadi ketika sebuah bangsa mengalami gejala ”intoksikasi” atas kebesaran dirinya yang cenderung disertai sikap merendahkan bangsa lain. Oleh karena itu, mentalitas superior dibutuhkan dalam dosis yang tepat.

 

Revitalisasi Kemerdekaan

Memasuki HUT Ke-76 RI, kemampuan kita keluar dari berbagai persoalan akibat pandemi Covid-19 menjadi isu sentral yang relevan untuk direfleksikan bersama. Jika tidak ingin menjadi bangsa yang dekaden seperti ditegaskan Césaire di atas, kita harus mampu mengatasi berbagai persoalan yang membelit bangsa ini. Dalam konteks ini, merevitalisasi makna merdeka menjadi sebuah keniscayaan.

Istilah merdeka memiliki dua konotasi makna. Pertama, merdeka dalam pengertiannya yang negatif seperti ditunjukkan dalam ungkapan ”merdeka dari” (freedom from) dan makna positif atau ”merdeka untuk” (freedom to). Dalam pengertiannya yang negatif, Hayek (2006) mendefinisikan merdeka sebagai ”the state in which a man is not subject to coercion by the arbitrary will of another”. Kemerdekaan adalah sebuah kondisi ketika seorang individu tidak tunduk pada paksaan kehendak orang lain yang sewenang-wenang. Dengan demikian, sumber dari ketidakmerdekaan seseorang adalah pemaksaan personal yang mengungkung kebebasan orang lain.

Baca Juga :  Mencermati Investasi Aset Kripto

Konotasi makna merdeka yang kedua adalah dalam pengertiannya yang positif. T.H. Green (1986) mendefinisikan kemerdekaan yang positif sebagai ”the positive power or capacity of doing or enjoying something worth doing…and something that we…enjoy in common with others”. Konsep merdeka dalam konteks ini didefinisikan sebagai determinasi rasional yang bersifat otonom dari seorang individu serta tidak mengebiri kemerdekaan orang lain. Kemerdekaan secara positif melibatkan unsur kesadaran diri atau kemampuan membuat keputusan.

PPKM Level 4 Diberlakukan, Jokowi: Pasar Rakyat Boleh Tetap Buka

Untuk menuju kemerdekaan dalam pengertian positif, bangsa ini harus mampu melampaui kemerdekaan dalam pengertiannya yang negatif terlebih dahulu. Logikanya, bagaimana mungkin sebuah bangsa bisa menjadi besar jika ia tidak mampu mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi? Harus diakui, salah satu kendala terbesar bagi bangsa ini untuk meraih kehebatannya adalah sindrom inferiority complex. Yakni kondisi psikososial yang menempatkan warga bangsa ini dalam posisi lebih rendah dan inferior dibanding bangsa-bangsa lain.

 

Sindrom semacam ini telah lama menjadi ”penghalang mental” bagi bangsa ini untuk berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain. Penghalang mental ini pula yang membuat kita selalu merasa puas sebagai bangsa medioker alias biasa-biasa saja. Padahal, Presiden Soekarno (1964) telah memformulasikan konsep Trisakti dalam rangka mengatasi sindrom inferiority complex ini, yakni berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Kenyataannya, mengatasi sindrom inferiority complex tidak semudah membalik telapak tangan. Dibutuhkan pengerahan total segenap energi bangsa untuk melangkah bersama meraih kejayaan NKRI. (*)

MASDAR HILMY, Guru Besar dan RektorUIN Sunan Ampel Surabaya

 

HARI Ulang Tahun (HUT) Ke-76 Kemerdekaan RI kembali dirayakan di tengah masa pandemi Covid-19. Jika melihat persebaran pandemi yang cenderung melandai, terdapat secercah harapan di benak masyarakat akan kemampuan bangsa ini keluar dari kubangan pandemi. Tentu optimisme ini menjadi modalitas psikososial yang dapat dikonversi menjadi komitmen, tekad bersama, dan ikhtiar nyata untuk menanggulangi Covid-19 secara lebih serius lagi.

Namun, optimisme jangan sampai membuat bangsa ini lengah. Kasus ”bobolnya” gerbang negara dari serbuan pertama Covid-19 terbukti belum mampu memberikan pelajaran bagi kita untuk mengantisipasi datangnya serangan kedua varian Delta. Ketika India dihantam varian baru Covid-19, banyak pihak menyangsikan kemampuan bangsa ini untuk membendung masuknya virus tersebut. Benar saja, akhirnya gerbang terluar negara jebol kembali oleh serbuan varian Delta yang datangnya bak gelombang tsunami.

Apa yang menimpa bangsa ini terkait pandemi Covid-19 mengingatkan saya pada pernyataan Aimé Césaire (1913–2008), seorang ilmuwan pascakolonial dari Martinique, sebagaimana dikutip di awal tulisan ini: ”sebuah peradaban yang terbukti tidak mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang dia hadapi merupakan peradaban yang dekaden”. Dengan ungkapan lain, peradaban yang dekaden adalah peradaban yang medioker atau inferior.

 

Sindrom Superiority Complex

Di sisi lain, keberhasilan sejumlah negara menekan persebaran Covid-19 melalui vaksinasi yang diproduksi sendiri memberikan rasa percaya diri yang memuncak dalam bentuk sindrom superiority complex. Fenomena semacam ini ditandai oleh menguatnya kebanggaan diri yang berlebihan dalam bentuk sikap merendahkan bangsa lain. Sindrom superiority complex biasanya banyak terjadi di kalangan negara maju yang tidak mau tunduk pada protokol kesehatan sebagaimana direkomendasikan oleh WHO.

 

Sindrom superiority complex hendak meneguhkan superioritas mereka di atas bangsa-bangsa lainnya. Mentalitas semacam ini bisa dilihat dari sikap mantan Presiden AS Donald Trump yang menyebut Covid-19 sebagai the Chinese viruses (virus Tiongkok). Olok-olok politik tersebut dimaksudkan sebagai strategi glorifikasi diri atas supremasi dan superioritas mereka di atas bangsa-bangsa lain. Stigmatisasi tersebut sempat menimbulkan sentimen anti-Asia dan anti-Tiongkok di kalangan warga AS, terutama di kalangan para pendukung Donald Trump.

Baca Juga :  Urgensi Perlindungan Hak-Hak Petani

Untuk menjadi besar, sebuah bangsa memang membutuhkan mentalitas superiority complex dalam kadar yang tepat. Berkaca dari banyak peradaban besar di panggung sejarah dunia yang datang silih berganti, kunci menuju kebesaran dan kejayaan tentu saja adalah mentalitas superior yang dimiliki oleh warganya. Mentalitas superior tergambar dari karakter yang mereka miliki, seperti berpikir dan bertindak rasional, disiplin, kerja keras, menghargai proses, dan semacamnya.

 

Namun, kadar superiority complex yang overdosis dapat menyebabkan kehancuran sebuah bangsa. Hal demikian terjadi ketika sebuah bangsa mengalami gejala ”intoksikasi” atas kebesaran dirinya yang cenderung disertai sikap merendahkan bangsa lain. Oleh karena itu, mentalitas superior dibutuhkan dalam dosis yang tepat.

 

Revitalisasi Kemerdekaan

Memasuki HUT Ke-76 RI, kemampuan kita keluar dari berbagai persoalan akibat pandemi Covid-19 menjadi isu sentral yang relevan untuk direfleksikan bersama. Jika tidak ingin menjadi bangsa yang dekaden seperti ditegaskan Césaire di atas, kita harus mampu mengatasi berbagai persoalan yang membelit bangsa ini. Dalam konteks ini, merevitalisasi makna merdeka menjadi sebuah keniscayaan.

Istilah merdeka memiliki dua konotasi makna. Pertama, merdeka dalam pengertiannya yang negatif seperti ditunjukkan dalam ungkapan ”merdeka dari” (freedom from) dan makna positif atau ”merdeka untuk” (freedom to). Dalam pengertiannya yang negatif, Hayek (2006) mendefinisikan merdeka sebagai ”the state in which a man is not subject to coercion by the arbitrary will of another”. Kemerdekaan adalah sebuah kondisi ketika seorang individu tidak tunduk pada paksaan kehendak orang lain yang sewenang-wenang. Dengan demikian, sumber dari ketidakmerdekaan seseorang adalah pemaksaan personal yang mengungkung kebebasan orang lain.

Baca Juga :  Mencermati Investasi Aset Kripto

Konotasi makna merdeka yang kedua adalah dalam pengertiannya yang positif. T.H. Green (1986) mendefinisikan kemerdekaan yang positif sebagai ”the positive power or capacity of doing or enjoying something worth doing…and something that we…enjoy in common with others”. Konsep merdeka dalam konteks ini didefinisikan sebagai determinasi rasional yang bersifat otonom dari seorang individu serta tidak mengebiri kemerdekaan orang lain. Kemerdekaan secara positif melibatkan unsur kesadaran diri atau kemampuan membuat keputusan.

PPKM Level 4 Diberlakukan, Jokowi: Pasar Rakyat Boleh Tetap Buka

Untuk menuju kemerdekaan dalam pengertian positif, bangsa ini harus mampu melampaui kemerdekaan dalam pengertiannya yang negatif terlebih dahulu. Logikanya, bagaimana mungkin sebuah bangsa bisa menjadi besar jika ia tidak mampu mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi? Harus diakui, salah satu kendala terbesar bagi bangsa ini untuk meraih kehebatannya adalah sindrom inferiority complex. Yakni kondisi psikososial yang menempatkan warga bangsa ini dalam posisi lebih rendah dan inferior dibanding bangsa-bangsa lain.

 

Sindrom semacam ini telah lama menjadi ”penghalang mental” bagi bangsa ini untuk berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain. Penghalang mental ini pula yang membuat kita selalu merasa puas sebagai bangsa medioker alias biasa-biasa saja. Padahal, Presiden Soekarno (1964) telah memformulasikan konsep Trisakti dalam rangka mengatasi sindrom inferiority complex ini, yakni berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Kenyataannya, mengatasi sindrom inferiority complex tidak semudah membalik telapak tangan. Dibutuhkan pengerahan total segenap energi bangsa untuk melangkah bersama meraih kejayaan NKRI. (*)

MASDAR HILMY, Guru Besar dan RektorUIN Sunan Ampel Surabaya

 

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Terpopuler

Artikel Terbaru