26.3 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Urgensi Perlindungan Hak-Hak Petani

NASIB petani di negeri ini masih sangat menyedihkan. Harga hasil pertanian sering anjlok pada saat panen, sementara impor produk pertanian makin meningkat. Padahal, saat pandemi seperti ini, ketika sebagian besar sektor lumpuh, BPS mencatat sektor pertanian tumbuh 1,71 persen. Hal itu berarti ekonomi Indonesia juga ditopang petani yang miskin.

Namun, perlindungan dan penghormatan hak-hak petani belum mendapatkan perhatian yang serius di negeri ini. Padahal, petani merupakan stakeholder utama di bidang pertanian dalam rangka menopang ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. Jumlah petani di Indonesia sebesar 33,4 juta dengan luas baku lahan sawah 7.463.948 hektare. Upah buruh tani, misalnya, masih sangat rendah jika dibandingkan dengan upah minimum regional dan nilai tukar petani pun kian menurun.

Liberalisasi perdagangan di bidang pertanian yang dipromosikan WTO membuat eksistensi petani makin termarginalisasi, terutama dengan keberadaan Konvensi UPOV 1991. Hal itu sangat berpengaruh terhadap ketahanan pangan, masa depan pertanian, dan petani di negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Tulisan ini membahas bagaimana hukum internasional mengatur perlindungan hak-hak petani secara berkeadilan dan fair serta hukum nasional perlu mengimplementasikannya.

Konvensi UPOV 1991

 

Konvensi UPOV 1991 memberikan perlindungan yang kuat terhadap hak-hak pemulia tanaman (breeders rights). Namun, petani tidak dimasukkan dalam kategori pemulia tanaman. Konvensi tersebut membatasi hak-hak petani yang telah diakui masyarakat internasional sebelumnya. Konsekuensinya, petani tidak bebas dari rasa takut, ancaman dalam berkreasi dan inovasi, terutama dalam menjaga kearifan lokal untuk menyimpan, menjual, membeli, menukar, dan membagi benih.

Biasanya konvensi itu diimplementasikan ke dalam hukum nasional dalam bentuk perlindungan varietas tanaman (PVT). Tetapi, ketentuan dan syarat perlindungan yang ditetapkan konvensi tersebut cenderung menguatkan posisi negara-negara bioteknologi industri modern dengan teknologi pertanian yang sangat maju. Negara-negara itu cenderung mengeksploitasi sumber daya biologi yang dimiliki negara-negara berkembang dan kemudian diproteksi dalam rezim PVT. Sulit sekali benih hasil inovasi petani memenuhi kriteria untuk dilindungi.

Baca Juga :  Membacakan Buku di Cangkruk Literasi

Hal itulah yang menjadi akar ketidakadilan dan penyebab munculnya perang benih (seed war) pada level international, yang memunculkan istilah hak-hak petani sebagai konsep politik. Sehingga konsep perlindungan hak-hak petani ini tidak bisa dipisahkan dari perlindungan kekayaan intelektual (KI) di sektor pertanian. Di banyak negara, perlindungan KI yang sangat ketat di sektor ini membuat petani tidak dapat lagi menjalankan budaya dan tradisi pertanian yang mengedepankan kearifan lokal, seperti tradisi menyimpan dan berbagi benih. Akibatnya, ketergantungan petani terhadap industri benih makin tinggi karena harus selalu membeli benih untuk setiap masa tanam.

 

Indonesia belum mengimplementasikan secara penuh Konvensi UPOV 1991 ini. Implementasi konvensi ini perlu dilakukan secara hati-hati dengan mempertimbangkan kondisi pertanian di negeri ini sehingga tidak mengancam ketahanan pangan.

 

Treaty tentang Hak-Hak Petani

Berangkat dari keprihatinan dan perang benih di atas, gerakan perlindungan hak-hak petani berkembang pesat sebagai respons perlindungan yang ketat varietas tanaman berbasis Konvensi UPOV 1991. Gerakan tersebut berhasil menetapkan hukum internasional yang bersifat mengikat dalam bentuk Treaty Internasional Mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian. Treaty itu menjadi instrumen hukum utama terkait dengan perlindungan hak-hak petani.

Meskipun treaty tersebut tidak mendefinisikan hak-hak petani, pasal 9 (1) treaty itu menegaskan dan mengakui bahwa petani, masyarakat lokal dan adat di seluruh dunia, memiliki kontribusi yang signifikan bagi konservasi sumber daya genetik tanaman dunia. Pasal 9 (2) juga menegaskan bahwa pemerintah pusat bertanggung jawab mewujudkan hak-hak petani sesuai dengan prioritas negaranya.

Treaty itu memberikan mandat kepada negara pihak untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna melindungi dan memajukan hak-hak petani dan tidak boleh diinterpretasikan membatasi hak yang dimiliki petani untuk menggunakan, mempertukarkan, dan menjual benih di antara para petani.

Cakupan hak-hak petani ini meliputi: (1) hak adat untuk menyimpan, menggunakan, menukar, dan menjual benih serta bahan perbanyakan yang disimpan di lahan pertanian; (2) hak untuk diakui, dihargai, dan didukung atas kontribusi petani terhadap sumber daya genetik global serta untuk pengembangan varietas tanaman komersial; dan (3) hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan tentang isu-isu yang terkait dengan sumber daya genetik tanaman.

Baca Juga :  Paket Ekonomi Syariah

Hak-Hak Petani di Indonesia

 

Meskipun treaty tersebut telah disepakati lebih dari 20 tahun dan Indonesia menjadi negara pihak, serta telah meratifikasi treaty itu, perlindungan hak-hak petani di Indonesia masih belum cukup memadai. Belum ada ketentuan yang secara khusus mengatur tentang hak-hak petani di Indonesia. Ketentuan yang mengatur tentang hak-hak petani hanya ditemukan dalam UU tentang PVT, tetapi sangat terbatas. Hal itu berarti UU tentang PVT mempromosikan perlindungan yang tidak seimbang antara kepentingan publik dan pemegang hak varietas tanaman baru.

Luasnya cakupan perlindungan hak-hak pemulia berdasar UU tentang PVT dengan menawarkan sedikit perkecualian terhadap petani merefleksikan nilai komersial dan orientasi pasar dari sistem ini. Sistem ini kurang sesuai dengan tradisi pertanian yang dikembangkan kebanyakan petani di Indonesia, terutama petani di pedesaan.

Penting untuk dicatat bahwa selama beberapa generasi petani di Indonesia telah melakukan tukar-menukar benih di antara komunitas petani yang lebih besar. Pertukaran benih ini merupakan bagian dari kearifan pertanian tradisional. Keterlibatan petani dalam kegiatan pertukaran benih bukan untuk tujuan komersial, melainkan karena persahabatan dan solidaritas untuk menjaga kerukunan atau harmoni sosial.

Akankah sikap mulia tersebut sirna dari bumi Nusantara? Memperingati Hari Tani Nasional tahun ini, adalah sangat urgen memikirkan kembali nasib petani agar tidak terampas oleh kapitalisme global dengan memberikan perlindungan hukum yang adil dan layak. Bukankah dengan memberikan perlindungan terhadap hak-hak petani akan memampukan Indonesia menjadi negara yang berdaulat pangan? (*)

NURUL BARIZAH, Profesor Hukum Internasional dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga 2019–2020

NASIB petani di negeri ini masih sangat menyedihkan. Harga hasil pertanian sering anjlok pada saat panen, sementara impor produk pertanian makin meningkat. Padahal, saat pandemi seperti ini, ketika sebagian besar sektor lumpuh, BPS mencatat sektor pertanian tumbuh 1,71 persen. Hal itu berarti ekonomi Indonesia juga ditopang petani yang miskin.

Namun, perlindungan dan penghormatan hak-hak petani belum mendapatkan perhatian yang serius di negeri ini. Padahal, petani merupakan stakeholder utama di bidang pertanian dalam rangka menopang ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. Jumlah petani di Indonesia sebesar 33,4 juta dengan luas baku lahan sawah 7.463.948 hektare. Upah buruh tani, misalnya, masih sangat rendah jika dibandingkan dengan upah minimum regional dan nilai tukar petani pun kian menurun.

Liberalisasi perdagangan di bidang pertanian yang dipromosikan WTO membuat eksistensi petani makin termarginalisasi, terutama dengan keberadaan Konvensi UPOV 1991. Hal itu sangat berpengaruh terhadap ketahanan pangan, masa depan pertanian, dan petani di negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Tulisan ini membahas bagaimana hukum internasional mengatur perlindungan hak-hak petani secara berkeadilan dan fair serta hukum nasional perlu mengimplementasikannya.

Konvensi UPOV 1991

 

Konvensi UPOV 1991 memberikan perlindungan yang kuat terhadap hak-hak pemulia tanaman (breeders rights). Namun, petani tidak dimasukkan dalam kategori pemulia tanaman. Konvensi tersebut membatasi hak-hak petani yang telah diakui masyarakat internasional sebelumnya. Konsekuensinya, petani tidak bebas dari rasa takut, ancaman dalam berkreasi dan inovasi, terutama dalam menjaga kearifan lokal untuk menyimpan, menjual, membeli, menukar, dan membagi benih.

Biasanya konvensi itu diimplementasikan ke dalam hukum nasional dalam bentuk perlindungan varietas tanaman (PVT). Tetapi, ketentuan dan syarat perlindungan yang ditetapkan konvensi tersebut cenderung menguatkan posisi negara-negara bioteknologi industri modern dengan teknologi pertanian yang sangat maju. Negara-negara itu cenderung mengeksploitasi sumber daya biologi yang dimiliki negara-negara berkembang dan kemudian diproteksi dalam rezim PVT. Sulit sekali benih hasil inovasi petani memenuhi kriteria untuk dilindungi.

Baca Juga :  Membacakan Buku di Cangkruk Literasi

Hal itulah yang menjadi akar ketidakadilan dan penyebab munculnya perang benih (seed war) pada level international, yang memunculkan istilah hak-hak petani sebagai konsep politik. Sehingga konsep perlindungan hak-hak petani ini tidak bisa dipisahkan dari perlindungan kekayaan intelektual (KI) di sektor pertanian. Di banyak negara, perlindungan KI yang sangat ketat di sektor ini membuat petani tidak dapat lagi menjalankan budaya dan tradisi pertanian yang mengedepankan kearifan lokal, seperti tradisi menyimpan dan berbagi benih. Akibatnya, ketergantungan petani terhadap industri benih makin tinggi karena harus selalu membeli benih untuk setiap masa tanam.

 

Indonesia belum mengimplementasikan secara penuh Konvensi UPOV 1991 ini. Implementasi konvensi ini perlu dilakukan secara hati-hati dengan mempertimbangkan kondisi pertanian di negeri ini sehingga tidak mengancam ketahanan pangan.

 

Treaty tentang Hak-Hak Petani

Berangkat dari keprihatinan dan perang benih di atas, gerakan perlindungan hak-hak petani berkembang pesat sebagai respons perlindungan yang ketat varietas tanaman berbasis Konvensi UPOV 1991. Gerakan tersebut berhasil menetapkan hukum internasional yang bersifat mengikat dalam bentuk Treaty Internasional Mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian. Treaty itu menjadi instrumen hukum utama terkait dengan perlindungan hak-hak petani.

Meskipun treaty tersebut tidak mendefinisikan hak-hak petani, pasal 9 (1) treaty itu menegaskan dan mengakui bahwa petani, masyarakat lokal dan adat di seluruh dunia, memiliki kontribusi yang signifikan bagi konservasi sumber daya genetik tanaman dunia. Pasal 9 (2) juga menegaskan bahwa pemerintah pusat bertanggung jawab mewujudkan hak-hak petani sesuai dengan prioritas negaranya.

Treaty itu memberikan mandat kepada negara pihak untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna melindungi dan memajukan hak-hak petani dan tidak boleh diinterpretasikan membatasi hak yang dimiliki petani untuk menggunakan, mempertukarkan, dan menjual benih di antara para petani.

Cakupan hak-hak petani ini meliputi: (1) hak adat untuk menyimpan, menggunakan, menukar, dan menjual benih serta bahan perbanyakan yang disimpan di lahan pertanian; (2) hak untuk diakui, dihargai, dan didukung atas kontribusi petani terhadap sumber daya genetik global serta untuk pengembangan varietas tanaman komersial; dan (3) hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan tentang isu-isu yang terkait dengan sumber daya genetik tanaman.

Baca Juga :  Paket Ekonomi Syariah

Hak-Hak Petani di Indonesia

 

Meskipun treaty tersebut telah disepakati lebih dari 20 tahun dan Indonesia menjadi negara pihak, serta telah meratifikasi treaty itu, perlindungan hak-hak petani di Indonesia masih belum cukup memadai. Belum ada ketentuan yang secara khusus mengatur tentang hak-hak petani di Indonesia. Ketentuan yang mengatur tentang hak-hak petani hanya ditemukan dalam UU tentang PVT, tetapi sangat terbatas. Hal itu berarti UU tentang PVT mempromosikan perlindungan yang tidak seimbang antara kepentingan publik dan pemegang hak varietas tanaman baru.

Luasnya cakupan perlindungan hak-hak pemulia berdasar UU tentang PVT dengan menawarkan sedikit perkecualian terhadap petani merefleksikan nilai komersial dan orientasi pasar dari sistem ini. Sistem ini kurang sesuai dengan tradisi pertanian yang dikembangkan kebanyakan petani di Indonesia, terutama petani di pedesaan.

Penting untuk dicatat bahwa selama beberapa generasi petani di Indonesia telah melakukan tukar-menukar benih di antara komunitas petani yang lebih besar. Pertukaran benih ini merupakan bagian dari kearifan pertanian tradisional. Keterlibatan petani dalam kegiatan pertukaran benih bukan untuk tujuan komersial, melainkan karena persahabatan dan solidaritas untuk menjaga kerukunan atau harmoni sosial.

Akankah sikap mulia tersebut sirna dari bumi Nusantara? Memperingati Hari Tani Nasional tahun ini, adalah sangat urgen memikirkan kembali nasib petani agar tidak terampas oleh kapitalisme global dengan memberikan perlindungan hukum yang adil dan layak. Bukankah dengan memberikan perlindungan terhadap hak-hak petani akan memampukan Indonesia menjadi negara yang berdaulat pangan? (*)

NURUL BARIZAH, Profesor Hukum Internasional dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga 2019–2020

Terpopuler

Artikel Terbaru