27.1 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Membacakan Buku di Cangkruk Literasi

ANAK saya yang masih berumur 4 (empat) tahun, saat ikut saya keluar rumah, senang memperhatikan sekeliling saat berkendara. Dia belum bisa membaca. Namun dia bisa membedakan antara Indomaret dan Alfamart ketika kami singgah untuk belanja di minimarket tersebut. Dia telah memahami bentuk-bentuk huruf sebagai tanda bahwa keaksaraan awal telah dimiliki anak bahkan sejak usia satu atau dua tahun. Saya menstimulasi dia agar tertarik dan mencintai membaca dengan membiasakan membacakan buku cerita sebelum tidur lalu keesokan harinya memintanya untuk menceritakan kembali cerita yang telah didengarnya semalam.

Sementara itu sekitar 25 (dua puluh lima) tahun lalu saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar (SD), saya sering dimintai tolong orang-orang tua di desa yang baru menerima surat dari sanak keluarga mereka di luar pulau untuk membacakan surat yang telah mereka terima. Memang ada 30 – 35 persen orang yang telah menyelesaiakan pendidikan dasar 5 (lima) tahun akan menjadi buta aksara kembali pada 4 hingga 5 tahun berikutnya apabila tidak memanfaatkan kemampuan membaca dan menulisnya (Sakya:1986). Pada dua kasus diatas saya mengenalkan bahwa literasi bukan bakat tetapi sebagai keterampilan yang perlu dilatih. Membacakan buku kepada para penyandang buta aksara adalah salah satu strategi yang efektif untuk merangsang minat membaca mereka.

Membaca adalah kunci belajar. Jika warga Indonesia dapat membaca atau melek aksara fungsional, mereka akan menjadi pembelajar sepanjang hayat yang otonom. Menghadapi era society 5.0 memiliki kemampuan membaca (melek huruf) saja memang tidak cukup. Oleh karena itu, perlu dikembangkan pula program literasi (melek informasi). Program keaksaraan atau melek huruf perlu disinergikan dengan program literasi atau melek informasi agar lebih bertuah.  Gerakan pendidikan keaksaraan yang telah berjalan lebih dari 6 (enam) tahun juga mengalami perkembangan mulai dari konsep pemberantasan buta huruf sampai pengembangan literasi. Hal ini bertujuan agar program keaksaraan bukan hanya sekadar menuntaskan buta huruf tetapi juga memberantas buta informasi.

Pengembangan literasi dalam upaya memerangi buta informasi dapat dilaksakan dari level individu. Pegiat literasi dapat memulai dari tingkat rukun tetangga (RT), rukun warga (RW) dan desa. Terinspirasi dari budaya cangkrukan (budaya di Jawa Timur) yaitu duduk santai dengan kawan, tetua atau siapa saja tanpa memandang kasta dan hirarki, duduk sama rendah berdiri sama tinggi sambil membincangkan hal-hal santai tentang hal-hal remeh temeh, rasan-rasan atau malah debat kusir mencetuskan ide saya agar cangkrukan dapat menjadi lebih berdampak positif. Inisiasi  cangkruk literasi lahir dan bisa memberi wadah pengembangan literasi dari tingkat desa. Kegiatan cangkruk literasi dapat diisi dengan membacakan buku kepada para penyandang buta aksara, penduduk berusia 45 tahun ke atas yang memiliki kendala fisik dan daya ingat untuk belajar membaca atau anak-anak yang masih duduk di bangku pendidikan anak usia dini (PAUD), bedah buku, mengapresiasi karya sastra, menelaah gambar, mendiskusikan isu-isu hangat, coaching, atau berbagi pendapat tentang permasalahan bersama bagi semua warga desa maupun anak usia sekolah lainnya.  Pendidikan keaksaraan juga diharapkan dapat mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi (high order thinking skills) atau berpikir kritis.  Memberaksarakan warga berarti memberikan “mata” bagi warga agar dapat membaca dunia kehidupan dan memainkan perannya yang berguna bagi sesama di dunia.

Baca Juga :  Ancaman Varian Baru Korupsi

Lewat cangkruk literasi yang dikembangkan di setiap desa, satu desa satu cangkruk literas,  dapat dilanjutkan dengan pembentukan komunitas literasi atau bahkan komunitas praktisi sehingga menjadi referensi dan menginspirasi regulasi pemerintah daerah dan pembuatan kebijakan yang berpihak pada pendidikan keaksaraan dan pengembangan literasi. Skema piramida terbalik yang bergerak dari bottom up line juga sukses dipakai dalam program sekolah penggerak dan guru penggerak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbud Ristek RI). Cangkruk literasi di setiap desa dapat didampingi oleh minimal satu pendamping atau ketua dari kalangan pendidik, mahasiswa, pegiat literasi, praktisi pendidikan, mahasiswa, pakar literasi, tokoh literasi, sastrawan, atau kaum profesional atau masyarakat umum yang ingin berdedikasi bagi pendidikan keaksaraan dan pengembangan literasi.

Cangkruk literasi menggerakkan warga dari desa-desa atau wilayah 3T (Terdepan Terpencil dan Tertinggal) untuk mengenyam pendidikan pertama bagi masyarakat Indonesia yaitu pendidikan keaksaraan. Sejalan dengan pendidikan keaksaraan yang dikembangkan oleh The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) yaitu pendidikan keaksaraan untuk pemberdayaan masyarakat (literacy initiative for empowerment).  Gerakan internasional ini menegaskan bahwa setiap orang memiliki hak asasi untuk mendapatkan pendidikan keaksaraan. Setali tiga uang dengan langkah Kemendikbud Ristek RI dalam upaya mensukseskan pendidikan keaksaraan sebagai medium pengembang literasi dan pemberdayaan masyarakat seperti melakukan inovasi pada pendidikan untuk buta aksara dan berfokus pada daerah yang buta aksaranya masih tinggi.

Baca Juga :  Filantropikapitalisme dan Zakatnomics

Daerah terpencil dan sulit dijangkau menjadi kendala pemerintah dalam memberantas buta aksara. Oleh karena itu cangkruk literasi di setiap desa dapat dikembangkan untuk mengatasi kendala geografis seperti desa-desa di keenam provinsi prioritas penangan buta huruf  yaitu Papua, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Kalimantan Barat serta desa-desa lain di Indonesia.  Cangkruk literasi dengan kegiatan utamanya membacakan buku bagi penyandang buta aksara berperan signifikan dalam program multiaksara yang mendorong penderita buta huruf tersebut agar mereka mau belajar dan tergerak mencintai membaca.

Target Kemendikbud Ristek RI akan menuai sukses dalam menuntaskan buta aksara jika masyarakat mau bergerak dari level bawah mengusung skema piramida terbalik. Setidaknya pada 2023 sudah tidak ada lagi wilayah dengan tingkat buta aksara yang masih tinggi. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2020 menunjukkan bahwa tingkat buta huruf di Indonesia saat ini sebanyak 1,93 persen. Artinya porsentase penduduk yang sudah tidak buta huruf sebesar 98,07 persen. Saiyeg saeka praya, saiyeg saeka kapti (kebulatan tekad dengan semangat gotong-royong dan kolaborasi) setiap kita adalah pemimpin pembelajaran yang dapat mengajarkan orang-orang terdekat di sekeliling kita agar mereka bisa membaca atau kita dapat membacakan buku untuk mereka lewat kegiatan yang berdampak positif yaitu cangkruk literasi yang dihidupkan menjadi taman-taman pendidikan layaknya Taman Siswa. ***

(YOGYANTORO. Guru SMPN 4 Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara, Provinsi Kalimantan Tengah)

ANAK saya yang masih berumur 4 (empat) tahun, saat ikut saya keluar rumah, senang memperhatikan sekeliling saat berkendara. Dia belum bisa membaca. Namun dia bisa membedakan antara Indomaret dan Alfamart ketika kami singgah untuk belanja di minimarket tersebut. Dia telah memahami bentuk-bentuk huruf sebagai tanda bahwa keaksaraan awal telah dimiliki anak bahkan sejak usia satu atau dua tahun. Saya menstimulasi dia agar tertarik dan mencintai membaca dengan membiasakan membacakan buku cerita sebelum tidur lalu keesokan harinya memintanya untuk menceritakan kembali cerita yang telah didengarnya semalam.

Sementara itu sekitar 25 (dua puluh lima) tahun lalu saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar (SD), saya sering dimintai tolong orang-orang tua di desa yang baru menerima surat dari sanak keluarga mereka di luar pulau untuk membacakan surat yang telah mereka terima. Memang ada 30 – 35 persen orang yang telah menyelesaiakan pendidikan dasar 5 (lima) tahun akan menjadi buta aksara kembali pada 4 hingga 5 tahun berikutnya apabila tidak memanfaatkan kemampuan membaca dan menulisnya (Sakya:1986). Pada dua kasus diatas saya mengenalkan bahwa literasi bukan bakat tetapi sebagai keterampilan yang perlu dilatih. Membacakan buku kepada para penyandang buta aksara adalah salah satu strategi yang efektif untuk merangsang minat membaca mereka.

Membaca adalah kunci belajar. Jika warga Indonesia dapat membaca atau melek aksara fungsional, mereka akan menjadi pembelajar sepanjang hayat yang otonom. Menghadapi era society 5.0 memiliki kemampuan membaca (melek huruf) saja memang tidak cukup. Oleh karena itu, perlu dikembangkan pula program literasi (melek informasi). Program keaksaraan atau melek huruf perlu disinergikan dengan program literasi atau melek informasi agar lebih bertuah.  Gerakan pendidikan keaksaraan yang telah berjalan lebih dari 6 (enam) tahun juga mengalami perkembangan mulai dari konsep pemberantasan buta huruf sampai pengembangan literasi. Hal ini bertujuan agar program keaksaraan bukan hanya sekadar menuntaskan buta huruf tetapi juga memberantas buta informasi.

Pengembangan literasi dalam upaya memerangi buta informasi dapat dilaksakan dari level individu. Pegiat literasi dapat memulai dari tingkat rukun tetangga (RT), rukun warga (RW) dan desa. Terinspirasi dari budaya cangkrukan (budaya di Jawa Timur) yaitu duduk santai dengan kawan, tetua atau siapa saja tanpa memandang kasta dan hirarki, duduk sama rendah berdiri sama tinggi sambil membincangkan hal-hal santai tentang hal-hal remeh temeh, rasan-rasan atau malah debat kusir mencetuskan ide saya agar cangkrukan dapat menjadi lebih berdampak positif. Inisiasi  cangkruk literasi lahir dan bisa memberi wadah pengembangan literasi dari tingkat desa. Kegiatan cangkruk literasi dapat diisi dengan membacakan buku kepada para penyandang buta aksara, penduduk berusia 45 tahun ke atas yang memiliki kendala fisik dan daya ingat untuk belajar membaca atau anak-anak yang masih duduk di bangku pendidikan anak usia dini (PAUD), bedah buku, mengapresiasi karya sastra, menelaah gambar, mendiskusikan isu-isu hangat, coaching, atau berbagi pendapat tentang permasalahan bersama bagi semua warga desa maupun anak usia sekolah lainnya.  Pendidikan keaksaraan juga diharapkan dapat mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi (high order thinking skills) atau berpikir kritis.  Memberaksarakan warga berarti memberikan “mata” bagi warga agar dapat membaca dunia kehidupan dan memainkan perannya yang berguna bagi sesama di dunia.

Baca Juga :  Ancaman Varian Baru Korupsi

Lewat cangkruk literasi yang dikembangkan di setiap desa, satu desa satu cangkruk literas,  dapat dilanjutkan dengan pembentukan komunitas literasi atau bahkan komunitas praktisi sehingga menjadi referensi dan menginspirasi regulasi pemerintah daerah dan pembuatan kebijakan yang berpihak pada pendidikan keaksaraan dan pengembangan literasi. Skema piramida terbalik yang bergerak dari bottom up line juga sukses dipakai dalam program sekolah penggerak dan guru penggerak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbud Ristek RI). Cangkruk literasi di setiap desa dapat didampingi oleh minimal satu pendamping atau ketua dari kalangan pendidik, mahasiswa, pegiat literasi, praktisi pendidikan, mahasiswa, pakar literasi, tokoh literasi, sastrawan, atau kaum profesional atau masyarakat umum yang ingin berdedikasi bagi pendidikan keaksaraan dan pengembangan literasi.

Cangkruk literasi menggerakkan warga dari desa-desa atau wilayah 3T (Terdepan Terpencil dan Tertinggal) untuk mengenyam pendidikan pertama bagi masyarakat Indonesia yaitu pendidikan keaksaraan. Sejalan dengan pendidikan keaksaraan yang dikembangkan oleh The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) yaitu pendidikan keaksaraan untuk pemberdayaan masyarakat (literacy initiative for empowerment).  Gerakan internasional ini menegaskan bahwa setiap orang memiliki hak asasi untuk mendapatkan pendidikan keaksaraan. Setali tiga uang dengan langkah Kemendikbud Ristek RI dalam upaya mensukseskan pendidikan keaksaraan sebagai medium pengembang literasi dan pemberdayaan masyarakat seperti melakukan inovasi pada pendidikan untuk buta aksara dan berfokus pada daerah yang buta aksaranya masih tinggi.

Baca Juga :  Filantropikapitalisme dan Zakatnomics

Daerah terpencil dan sulit dijangkau menjadi kendala pemerintah dalam memberantas buta aksara. Oleh karena itu cangkruk literasi di setiap desa dapat dikembangkan untuk mengatasi kendala geografis seperti desa-desa di keenam provinsi prioritas penangan buta huruf  yaitu Papua, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Kalimantan Barat serta desa-desa lain di Indonesia.  Cangkruk literasi dengan kegiatan utamanya membacakan buku bagi penyandang buta aksara berperan signifikan dalam program multiaksara yang mendorong penderita buta huruf tersebut agar mereka mau belajar dan tergerak mencintai membaca.

Target Kemendikbud Ristek RI akan menuai sukses dalam menuntaskan buta aksara jika masyarakat mau bergerak dari level bawah mengusung skema piramida terbalik. Setidaknya pada 2023 sudah tidak ada lagi wilayah dengan tingkat buta aksara yang masih tinggi. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2020 menunjukkan bahwa tingkat buta huruf di Indonesia saat ini sebanyak 1,93 persen. Artinya porsentase penduduk yang sudah tidak buta huruf sebesar 98,07 persen. Saiyeg saeka praya, saiyeg saeka kapti (kebulatan tekad dengan semangat gotong-royong dan kolaborasi) setiap kita adalah pemimpin pembelajaran yang dapat mengajarkan orang-orang terdekat di sekeliling kita agar mereka bisa membaca atau kita dapat membacakan buku untuk mereka lewat kegiatan yang berdampak positif yaitu cangkruk literasi yang dihidupkan menjadi taman-taman pendidikan layaknya Taman Siswa. ***

(YOGYANTORO. Guru SMPN 4 Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara, Provinsi Kalimantan Tengah)

Terpopuler

Artikel Terbaru