27.3 C
Jakarta
Saturday, December 14, 2024

Ancaman Varian Baru Korupsi

HARI Lahir Pancasila 1 Juni 2021 diperingati di tengah pemaknaan nilai kebangsaan kita yang terdegradasi oleh tafsir politik yang koruptif. Tidak lulusnya 51 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam asesmen pengalihan status menjadi ASN dengan sederet metodologi tes wawasan kebangsaan (TWK) sarat polemik sungguh sebuah gugatan moral terhadap konsistensi bangsa ini dalam menjaga nilai-nilai Pancasila sekaligus antikorupsi. Inti Pancasila adalah penghormatan absolut terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sebagai fundamen membangun bangsa yang bermaslahat dan praktik korupsi menggerogoti nilai-nilai tersebut.

Ke-51 pegawai dianggap tak bisa lagi dibina sehingga harus diberhentikan. Artinya, mereka telah dianggap melakukan dosa profesi yang bertentangan dengan nilai kebangsaan. Pertanyaannya, seburuk dan sebejat apakah dosa mereka? Benarkah ketidaklulusan mereka dikaitkan dengan radikalisme, Talibanisme? Walaupun kita tahu, cap radikalisme terhadap KPK yang berkembang belakangan ini tak lebih dari upaya mencicil pengerdilan tubuh KPK.

 

Propaganda Buzzer

 

Sekelompok orang yang menstigmatisasi kerja progresif KPK dengan cap Taliban dan sejenisnya semula ditujukan untuk para penyidik KPK yang gigih dan militan menangkap koruptor (Muqodas, 2019). Namun, kemudian para kelompok pendengung (buzzer) bayaran yang mengabdi pada politik recehan memolitisasi istilah tersebut untuk menggiring opini publik agar menyetujui bahwa sebagian penyidik KPK telah mengidap paham radikalisme. Sebuah penyematan politis-sektarian yang mau mendegradasi KPK sebagai institusi yang menjauh dari reputasi nasionalistisnya.

Itu kian terasa saat pembahasan RUU KPK pada 2019 yang sarat kontroversi. Narasi KPK disusupi paham Taliban sedemikian agresif menggempur media sosial. Tidak sedikit masyarakat yang kemudian percaya dan akhirnya berbalik mencurigai KPK dan mem-bully para pengkritik revisi UU KPK. Mereka pun apriori terhadap integritas KPK dalam memberantas korupsi. Padahal, menurut survei Lembaga Survei Indonesia (4-5 Oktober 2019), 60,7 persen masyarakat saat itu mendukung aksi mahasiswa menolak revisi UU KPK.

Baca Juga :  Sudahkah Lima Sila Itu Terimplementasi dengan Benar?

Ironisnya, sebagian kekuatan sipil masyarakat seperti tak sungguh-sungguh membangun narasi tandingan melawan stigma tersebut. Sebagiannya lagi malah menyingkir dari medan kontestasi pro-kontra revisi UU KPK, dan sebagiannya lagi berbalik menjustifikasi urgensi revisi UU KPK dan menganggap KPK perlu ”dibersihkan”. Sedangkan elite politisi menikmati propaganda buzzer tersebut sebagai lem politik (political glue) untuk kian merapatkan elite KPK pro-revisi UU KPK dengan (kepentingan) parsial mereka.

Kini buah pahit dan kengerian dari preseden tersebut mulai dimakan oleh publik. Politisi dan kelompok sempalannya bertempik sorak melabuhkan harapan busuknya pada institusi KPK yang dipereteli sebagai institusi yang dicita-citakan akan memproteksi habituasi para elite korup dan kerja oligarki. DPR yang diharapkan menjadi corong populis, penyuara nurani rakyat untuk mengusung kehendak anti pelemahan KPK, justru menjadi bagian dari anakronisme politik pemberantasan korupsi tersebut.

TWK yang melumat nasib 75 pegawai KPK, yang 51 di antaranya kemudian diberhentikan dan 24-nya diberi pembinaan wawasan kebangsaan, sesungguhnya bukanlah ejawantah Pancasilais. Melainkan sebuah aksi kolektif untuk menghancurkan pertahanan integritas antikorupsi bangsa ini. Sebuah tendangan dan pukulan untuk memecah belah organ KPK dari kaki tangan kotor elitarisme oligarkis yang memang sudah lama menginginkan kerja sakral pemberantasan korupsi dibubarkan demi tetap subur dan makmurnya para koruptor.

Pelantikan 1.271 pegawai KPK sebagai ASN di Gedung Merah Putih KPK kemarin boleh dibilang menjadi hari kelam yang dipenuhi jelaga ketidakadilan menyakitkan. Di momentum itulah, simbolisasi pereduksian makna kebangsaan diinaugurasi. Tak heran jika 600 pegawai yang lulus TWK sempat meminta pelantikan mereka ditunda sebagai wujud solidaritas dan empati terhadap kolega seperjuangan mereka sekaligus terhadap sinyal kian melempemnya jihad melawan korupsi, terutama dari kaum elite (bdk Hehamahua, dkk, 2018). Sebuah pembangkangan moral pegawai KPK dan publik luas atas infiltrasi ideologi korupsi.

Baca Juga :  Blunder Pencitraan Politikus Menumpang Kemenangan Greysia-Apriyani

 

Tagih Komitmen

Kita mungkin masih ingat, ketika di momen perayaan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2020 lalu, dengan lantang dan tegas Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, ”hanya dengan mengamalkan sila-sila Pancasila, hunusan bilah pedang antikorupsi mampu melesak cepat, tertuju, menusuk, dan mematikan detak jantung laten korupsi”. Namun, pernyataan heroik itu seketika lenyap tak berbekas disapu angin hipokrisi sekaligus mematikan detak jantung pemberantasan korupsi di republik ini. Para elite KPK seperti kehilangan kesadaran moral otentik berhadapan dengan polemik TWK yang ingin menusuk jantung kredibilitas KPK.

Linz & Stephan (1978) mengatakan, kejatuhan demokrasi bukan terletak pada konflik kelas dan persoalan ekonomi. Tetapi lebih disebabkan oleh perilaku aktor/elite. Sistem dan struktur yang tidak menguntungkan bagi perkembangan demokrasi dipengaruhi oleh minimnya kemampuan elite di dalam menciptakan inovasi sikap dan kebijakan yang melembagakan nilai dan perilaku demokrasi. Tidak berlebihan jika masyarakat Indonesia untuk kali kesekian menagih sikap Pancasilais para elite (KPK dan pemerintah) dalam menyikapi nasib pegawai KPK yang dirapormerahkan tersebut.

Sikap protektif terhadap para pegawai KPK sebenarnya sangat dibutuhkan untuk memastikan bangsa ini mampu keluar dari jaring laba-laba cengkeraman para penjahat kleptokrasi yang sudah lama hendak menguasai kekayaan bangsa. Kalau tidak, cepat atau lambat, kita akan tenggelam dalam varian baru korupsi: merayakan peristiwa kebangsaan sebagai sebuah pencitraan penuh dusta dan hambar demi mereguk simpati. Dan pada saat bersamaan membuka tenda perayaan dan pesta pora bagi koruptor merampas hak-hak rakyat.

Perjuangan para pegawai KPK yang tak lolos TWK untuk mendapatkan kebenaran saat ini akan selalu didukung oleh rakyat dan peradaban bangsa yang masih menginginkan korupsi dihancurkan di republik ini. (*)

Umbu T.W Pariangu, Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang

HARI Lahir Pancasila 1 Juni 2021 diperingati di tengah pemaknaan nilai kebangsaan kita yang terdegradasi oleh tafsir politik yang koruptif. Tidak lulusnya 51 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam asesmen pengalihan status menjadi ASN dengan sederet metodologi tes wawasan kebangsaan (TWK) sarat polemik sungguh sebuah gugatan moral terhadap konsistensi bangsa ini dalam menjaga nilai-nilai Pancasila sekaligus antikorupsi. Inti Pancasila adalah penghormatan absolut terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sebagai fundamen membangun bangsa yang bermaslahat dan praktik korupsi menggerogoti nilai-nilai tersebut.

Ke-51 pegawai dianggap tak bisa lagi dibina sehingga harus diberhentikan. Artinya, mereka telah dianggap melakukan dosa profesi yang bertentangan dengan nilai kebangsaan. Pertanyaannya, seburuk dan sebejat apakah dosa mereka? Benarkah ketidaklulusan mereka dikaitkan dengan radikalisme, Talibanisme? Walaupun kita tahu, cap radikalisme terhadap KPK yang berkembang belakangan ini tak lebih dari upaya mencicil pengerdilan tubuh KPK.

 

Propaganda Buzzer

 

Sekelompok orang yang menstigmatisasi kerja progresif KPK dengan cap Taliban dan sejenisnya semula ditujukan untuk para penyidik KPK yang gigih dan militan menangkap koruptor (Muqodas, 2019). Namun, kemudian para kelompok pendengung (buzzer) bayaran yang mengabdi pada politik recehan memolitisasi istilah tersebut untuk menggiring opini publik agar menyetujui bahwa sebagian penyidik KPK telah mengidap paham radikalisme. Sebuah penyematan politis-sektarian yang mau mendegradasi KPK sebagai institusi yang menjauh dari reputasi nasionalistisnya.

Itu kian terasa saat pembahasan RUU KPK pada 2019 yang sarat kontroversi. Narasi KPK disusupi paham Taliban sedemikian agresif menggempur media sosial. Tidak sedikit masyarakat yang kemudian percaya dan akhirnya berbalik mencurigai KPK dan mem-bully para pengkritik revisi UU KPK. Mereka pun apriori terhadap integritas KPK dalam memberantas korupsi. Padahal, menurut survei Lembaga Survei Indonesia (4-5 Oktober 2019), 60,7 persen masyarakat saat itu mendukung aksi mahasiswa menolak revisi UU KPK.

Baca Juga :  Sudahkah Lima Sila Itu Terimplementasi dengan Benar?

Ironisnya, sebagian kekuatan sipil masyarakat seperti tak sungguh-sungguh membangun narasi tandingan melawan stigma tersebut. Sebagiannya lagi malah menyingkir dari medan kontestasi pro-kontra revisi UU KPK, dan sebagiannya lagi berbalik menjustifikasi urgensi revisi UU KPK dan menganggap KPK perlu ”dibersihkan”. Sedangkan elite politisi menikmati propaganda buzzer tersebut sebagai lem politik (political glue) untuk kian merapatkan elite KPK pro-revisi UU KPK dengan (kepentingan) parsial mereka.

Kini buah pahit dan kengerian dari preseden tersebut mulai dimakan oleh publik. Politisi dan kelompok sempalannya bertempik sorak melabuhkan harapan busuknya pada institusi KPK yang dipereteli sebagai institusi yang dicita-citakan akan memproteksi habituasi para elite korup dan kerja oligarki. DPR yang diharapkan menjadi corong populis, penyuara nurani rakyat untuk mengusung kehendak anti pelemahan KPK, justru menjadi bagian dari anakronisme politik pemberantasan korupsi tersebut.

TWK yang melumat nasib 75 pegawai KPK, yang 51 di antaranya kemudian diberhentikan dan 24-nya diberi pembinaan wawasan kebangsaan, sesungguhnya bukanlah ejawantah Pancasilais. Melainkan sebuah aksi kolektif untuk menghancurkan pertahanan integritas antikorupsi bangsa ini. Sebuah tendangan dan pukulan untuk memecah belah organ KPK dari kaki tangan kotor elitarisme oligarkis yang memang sudah lama menginginkan kerja sakral pemberantasan korupsi dibubarkan demi tetap subur dan makmurnya para koruptor.

Pelantikan 1.271 pegawai KPK sebagai ASN di Gedung Merah Putih KPK kemarin boleh dibilang menjadi hari kelam yang dipenuhi jelaga ketidakadilan menyakitkan. Di momentum itulah, simbolisasi pereduksian makna kebangsaan diinaugurasi. Tak heran jika 600 pegawai yang lulus TWK sempat meminta pelantikan mereka ditunda sebagai wujud solidaritas dan empati terhadap kolega seperjuangan mereka sekaligus terhadap sinyal kian melempemnya jihad melawan korupsi, terutama dari kaum elite (bdk Hehamahua, dkk, 2018). Sebuah pembangkangan moral pegawai KPK dan publik luas atas infiltrasi ideologi korupsi.

Baca Juga :  Blunder Pencitraan Politikus Menumpang Kemenangan Greysia-Apriyani

 

Tagih Komitmen

Kita mungkin masih ingat, ketika di momen perayaan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2020 lalu, dengan lantang dan tegas Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, ”hanya dengan mengamalkan sila-sila Pancasila, hunusan bilah pedang antikorupsi mampu melesak cepat, tertuju, menusuk, dan mematikan detak jantung laten korupsi”. Namun, pernyataan heroik itu seketika lenyap tak berbekas disapu angin hipokrisi sekaligus mematikan detak jantung pemberantasan korupsi di republik ini. Para elite KPK seperti kehilangan kesadaran moral otentik berhadapan dengan polemik TWK yang ingin menusuk jantung kredibilitas KPK.

Linz & Stephan (1978) mengatakan, kejatuhan demokrasi bukan terletak pada konflik kelas dan persoalan ekonomi. Tetapi lebih disebabkan oleh perilaku aktor/elite. Sistem dan struktur yang tidak menguntungkan bagi perkembangan demokrasi dipengaruhi oleh minimnya kemampuan elite di dalam menciptakan inovasi sikap dan kebijakan yang melembagakan nilai dan perilaku demokrasi. Tidak berlebihan jika masyarakat Indonesia untuk kali kesekian menagih sikap Pancasilais para elite (KPK dan pemerintah) dalam menyikapi nasib pegawai KPK yang dirapormerahkan tersebut.

Sikap protektif terhadap para pegawai KPK sebenarnya sangat dibutuhkan untuk memastikan bangsa ini mampu keluar dari jaring laba-laba cengkeraman para penjahat kleptokrasi yang sudah lama hendak menguasai kekayaan bangsa. Kalau tidak, cepat atau lambat, kita akan tenggelam dalam varian baru korupsi: merayakan peristiwa kebangsaan sebagai sebuah pencitraan penuh dusta dan hambar demi mereguk simpati. Dan pada saat bersamaan membuka tenda perayaan dan pesta pora bagi koruptor merampas hak-hak rakyat.

Perjuangan para pegawai KPK yang tak lolos TWK untuk mendapatkan kebenaran saat ini akan selalu didukung oleh rakyat dan peradaban bangsa yang masih menginginkan korupsi dihancurkan di republik ini. (*)

Umbu T.W Pariangu, Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang

Terpopuler

Artikel Terbaru