25.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Filantropikapitalisme dan Zakatnomics

THE Economist pada 2006 mengenalkan konsep bernama filantropikapitalisme (philanthrocapitalism) kali pertama. Istilah tersebut merujuk sebagai suatu strategi atau konsep di mana aktivitas sosial diselaraskan dengan tujuan ekonomi dan bisnis. Secara garis besar, filantropikapitalisme dapat diartikan sebagai filantropi yang dilakukan berdasar paradigma kapitalisme.

Kapitalisme adalah corak produksi (mode of production) yang berdiri berdasar asumsi bahwa manusia adalah makhluk yang terus berusaha untuk memenuhi hasrat ekonomi dengan memaksimalkan apa pun yang dapat memuaskan kepentingan pribadi. Adam Smith mengklaim bahwa jika setiap orang berusaha memuaskan kepentingannya, masyarakat akan memiliki kesejahteraan yang optimal secara kolektif. Asumsi mengenai makhluk ekonomi yang berlandas keserakahan dengan dalih rasionalitas ini disebut dengan homoeconomicus.

Tentu ini secara definisi bertentangan dengan nilai filantropi. Yaitu, altruisme yang berdasar KBBI adalah sifat mengutamakan kepentingan orang lain. Untuk menjelaskan justifikasi nilai kapitalisme pada filantropi, James Andreoni mengenalkan teori ”warm glow”, di mana manusia melakukan aktivitas sosial didorong altruisme yang tidak murni, seperti citra yang baik dan ketenaran. Dengan kata lain, manusia selaku homoeconomicus hanya melakukan aktivitas sosial yang dapat memberikan insentif atau ”warm glow” karena bukan menilai filantropi sebagai tanggung jawab manusia terhadap makhluk lainnya.

Sifat pamrih yang dinormalisasi ini akhirnya membentuk mindset seseorang dalam memberi. Seseorang juga dikenal sebagai altruistik karena berdonasi dengan sebagian kekayaannya meski untuk meningkatkan elektabilitasnya. Perusahaan dinilai sebagai filantropis jika membuat program kesehatan publik meski di sisi lain mereka terus mendapatkan keuntungan sebagai industri yang mendorong obesitas.

Nafsu manusia dalam bentuk serakah dan egois yang menjadi landasan kapitalisme membuat beberapa karakteristiknya lebih mudah dirasakan dan diakui. Akan tetapi, ajaran Islam menekankan pengikutnya untuk mengendalikan hawa nafsu. Bukan sebaliknya.

Pandangan Islam mengenai altruisme dapat dipahami pada konsep zakatnomics sebagai bagian dari disiplin ekonomi Islam pada sisi keuangan sosial atau filantropi. Zakatnomics dapat didefinisikan sebagai kesadaran untuk membangun tatanan ekonomi baru untuk mencapai kebahagiaan, kesetimbangan kehidupan, dan kemuliaan hakiki manusia yang didasari dari semangat dan nilai-nilai luhur syariat zakat.

Baca Juga :  Mempertanyakan Dana Aspirasi

Zakat adalah rukun Islam yang disebut dalam Alquran bersama salat sebanyak 30 kali. Ini menunjukkan betapa pentingnya bagi seorang muslim untuk dapat menunaikan dan mengartikulasikan nilai yang dikandung oleh zakat. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa zakatnomics mengartikulasikan dua dimensi altruisme, yaitu duniawi dan spiritual. Pada dimensi duniawi, kegiatan amal yang dilakukan seperti zakat, infak, sedekah, dan wakaf semestinya dapat berdampak secara signifikan dan luas terhadap masyarakat yang membutuhkan.

Komunitas muslim diharapkan dapat mengelola dana umat dengan profesional sehingga aspirasi zakatnomics, yaitu kesejahteraan dan akses ekonomi yang merata, dapat dinikmati oleh setiap golongan. Hal ini telah dicontohkan sejak zaman Rasulullah, di mana Madinah memiliki amil yang ditugaskan untuk memastikan warga yang kaya membayar zakat dan dana zakatnya dikelola dengan baik agar penyalurannya dapat tepat sasaran.

Pada dimensi spiritual, seorang muslim yang berdonasi atau berzakat dituntut untuk memahami bahwa tiap harta yang dimiliki hanyalah titipan dan masyarakat memiliki sebagian hak atas harta tersebut. Berdasar perspektif tersebut, terdapat nilai egaliter antara muzaki dan mustahik bahwa keduanya dinilai setara di hadapan Allah SWT.

Dengan kata lain, seorang donatur didorong untuk tidak jemawa dengan donasinya karena itu adalah tanggung jawab sosial dan kebutuhannya untuk membersihkan harta. Hal tersebut semestinya dapat terefleksikan dengan pendekatan yang humanis. Tidak hanya dalam kegiatan amal, namun juga dalam setiap interaksi dan keputusan yang berkaitan dengan setiap pemangku kepentingan.

 

Kedua dimensi ini seperti dua sisi pada koin yang semestinya tidak dipisahkan. Jika dimensi spiritual saja yang diperhatikan, donasi dikelola secara tidak profesional dan berdampak tidak maksimal. Kegiatan amal yang tidak efektif dan efisien akan berat untuk memecahkan permasalahan, seperti kemiskinan struktural di masyarakat. Jika dimensi duniawi saja yang difokuskan, akan ada kecenderungan untuk jatuh pada pandangan filantropikapitalisme yang materialistis. Ini berimplikasi bahwa kesuksesan suatu hal, termasuk kegiatan amal, hanya dinilai dari sesuatu yang dapat memberi hasil untung.

Baca Juga :  Bulan Suci, Sedentari, dan Ironi Pola Konsumsi

 

Aktivis ekonomi Islam memiliki peran agar zakatnomics ini bisa terartikulasikan pada keuangan sosial Islam. Pertama, para pemangku kepentingan yang bergerak pada ekonomi Islam dan pengentasan kemiskinan harus membumikan pandangan yang sama mengenai aktivitas filantropi. Jangan sampai nilai-nilai Islam mengenai berbagi ke sesama hanya menjadi pemanis lidah atau gimmick. Para amil dan nazir, misalnya, harus dapat membuktikan bahwa pengelolaan keuangan sosial Islam tidak hanya patuh terhadap syariah, namun juga dapat merealisasikan aspirasi syariah, yaitu rahmatan lil alamin.

 

Kedua, penguatan literasi ekonomi Islam tidak hanya berkutat pada sesuatu yang berkaitan dengan sektor fikih. Halal dan haram serta teknis akad adalah hal penting, namun pemahaman mengenai moralitas dan nilai keislaman juga perlu dipahamkan kepada masyarakat. Zakatnomics memerlukan gerakan cinta zakat dan keuangan sosial lainnya di mana masyarakat tidak lagi melihat filantropi hanya sebagai kegiatan berbagi, namun juga sebagai tanggung jawab sosial.

 

Baca Juga:

Pertahankan Smelter Freeport Tetap di Gresik

 

The Economist pada 2006 juga mengklaim bahwa dunia telah masuk pada masa ”golden age of giving”. Akan tetapi, ketidakseimbangan ekonomi belum membaik dan seluruh dunia menghadapi ancaman perubahan iklim yang semakin serius. Ini karena konsep altruisme hanya direduksi dalam kegiatan memberi yang dapat memberikan keuntungan, bukan sebagai nilai tanggung jawab sosial yang semestinya juga diadopsi dalam perencanaan dan pembuatan keputusan. Zakatnomics perlu hadir sebagai suatu pandangan moral yang menjadi mainstream pada altruisme dan filantropi. (*)

 

Ali Chamani Al Anshory, Peneliti senior Pusat Kajian Strategis Baznas

THE Economist pada 2006 mengenalkan konsep bernama filantropikapitalisme (philanthrocapitalism) kali pertama. Istilah tersebut merujuk sebagai suatu strategi atau konsep di mana aktivitas sosial diselaraskan dengan tujuan ekonomi dan bisnis. Secara garis besar, filantropikapitalisme dapat diartikan sebagai filantropi yang dilakukan berdasar paradigma kapitalisme.

Kapitalisme adalah corak produksi (mode of production) yang berdiri berdasar asumsi bahwa manusia adalah makhluk yang terus berusaha untuk memenuhi hasrat ekonomi dengan memaksimalkan apa pun yang dapat memuaskan kepentingan pribadi. Adam Smith mengklaim bahwa jika setiap orang berusaha memuaskan kepentingannya, masyarakat akan memiliki kesejahteraan yang optimal secara kolektif. Asumsi mengenai makhluk ekonomi yang berlandas keserakahan dengan dalih rasionalitas ini disebut dengan homoeconomicus.

Tentu ini secara definisi bertentangan dengan nilai filantropi. Yaitu, altruisme yang berdasar KBBI adalah sifat mengutamakan kepentingan orang lain. Untuk menjelaskan justifikasi nilai kapitalisme pada filantropi, James Andreoni mengenalkan teori ”warm glow”, di mana manusia melakukan aktivitas sosial didorong altruisme yang tidak murni, seperti citra yang baik dan ketenaran. Dengan kata lain, manusia selaku homoeconomicus hanya melakukan aktivitas sosial yang dapat memberikan insentif atau ”warm glow” karena bukan menilai filantropi sebagai tanggung jawab manusia terhadap makhluk lainnya.

Sifat pamrih yang dinormalisasi ini akhirnya membentuk mindset seseorang dalam memberi. Seseorang juga dikenal sebagai altruistik karena berdonasi dengan sebagian kekayaannya meski untuk meningkatkan elektabilitasnya. Perusahaan dinilai sebagai filantropis jika membuat program kesehatan publik meski di sisi lain mereka terus mendapatkan keuntungan sebagai industri yang mendorong obesitas.

Nafsu manusia dalam bentuk serakah dan egois yang menjadi landasan kapitalisme membuat beberapa karakteristiknya lebih mudah dirasakan dan diakui. Akan tetapi, ajaran Islam menekankan pengikutnya untuk mengendalikan hawa nafsu. Bukan sebaliknya.

Pandangan Islam mengenai altruisme dapat dipahami pada konsep zakatnomics sebagai bagian dari disiplin ekonomi Islam pada sisi keuangan sosial atau filantropi. Zakatnomics dapat didefinisikan sebagai kesadaran untuk membangun tatanan ekonomi baru untuk mencapai kebahagiaan, kesetimbangan kehidupan, dan kemuliaan hakiki manusia yang didasari dari semangat dan nilai-nilai luhur syariat zakat.

Baca Juga :  Mempertanyakan Dana Aspirasi

Zakat adalah rukun Islam yang disebut dalam Alquran bersama salat sebanyak 30 kali. Ini menunjukkan betapa pentingnya bagi seorang muslim untuk dapat menunaikan dan mengartikulasikan nilai yang dikandung oleh zakat. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa zakatnomics mengartikulasikan dua dimensi altruisme, yaitu duniawi dan spiritual. Pada dimensi duniawi, kegiatan amal yang dilakukan seperti zakat, infak, sedekah, dan wakaf semestinya dapat berdampak secara signifikan dan luas terhadap masyarakat yang membutuhkan.

Komunitas muslim diharapkan dapat mengelola dana umat dengan profesional sehingga aspirasi zakatnomics, yaitu kesejahteraan dan akses ekonomi yang merata, dapat dinikmati oleh setiap golongan. Hal ini telah dicontohkan sejak zaman Rasulullah, di mana Madinah memiliki amil yang ditugaskan untuk memastikan warga yang kaya membayar zakat dan dana zakatnya dikelola dengan baik agar penyalurannya dapat tepat sasaran.

Pada dimensi spiritual, seorang muslim yang berdonasi atau berzakat dituntut untuk memahami bahwa tiap harta yang dimiliki hanyalah titipan dan masyarakat memiliki sebagian hak atas harta tersebut. Berdasar perspektif tersebut, terdapat nilai egaliter antara muzaki dan mustahik bahwa keduanya dinilai setara di hadapan Allah SWT.

Dengan kata lain, seorang donatur didorong untuk tidak jemawa dengan donasinya karena itu adalah tanggung jawab sosial dan kebutuhannya untuk membersihkan harta. Hal tersebut semestinya dapat terefleksikan dengan pendekatan yang humanis. Tidak hanya dalam kegiatan amal, namun juga dalam setiap interaksi dan keputusan yang berkaitan dengan setiap pemangku kepentingan.

 

Kedua dimensi ini seperti dua sisi pada koin yang semestinya tidak dipisahkan. Jika dimensi spiritual saja yang diperhatikan, donasi dikelola secara tidak profesional dan berdampak tidak maksimal. Kegiatan amal yang tidak efektif dan efisien akan berat untuk memecahkan permasalahan, seperti kemiskinan struktural di masyarakat. Jika dimensi duniawi saja yang difokuskan, akan ada kecenderungan untuk jatuh pada pandangan filantropikapitalisme yang materialistis. Ini berimplikasi bahwa kesuksesan suatu hal, termasuk kegiatan amal, hanya dinilai dari sesuatu yang dapat memberi hasil untung.

Baca Juga :  Bulan Suci, Sedentari, dan Ironi Pola Konsumsi

 

Aktivis ekonomi Islam memiliki peran agar zakatnomics ini bisa terartikulasikan pada keuangan sosial Islam. Pertama, para pemangku kepentingan yang bergerak pada ekonomi Islam dan pengentasan kemiskinan harus membumikan pandangan yang sama mengenai aktivitas filantropi. Jangan sampai nilai-nilai Islam mengenai berbagi ke sesama hanya menjadi pemanis lidah atau gimmick. Para amil dan nazir, misalnya, harus dapat membuktikan bahwa pengelolaan keuangan sosial Islam tidak hanya patuh terhadap syariah, namun juga dapat merealisasikan aspirasi syariah, yaitu rahmatan lil alamin.

 

Kedua, penguatan literasi ekonomi Islam tidak hanya berkutat pada sesuatu yang berkaitan dengan sektor fikih. Halal dan haram serta teknis akad adalah hal penting, namun pemahaman mengenai moralitas dan nilai keislaman juga perlu dipahamkan kepada masyarakat. Zakatnomics memerlukan gerakan cinta zakat dan keuangan sosial lainnya di mana masyarakat tidak lagi melihat filantropi hanya sebagai kegiatan berbagi, namun juga sebagai tanggung jawab sosial.

 

Baca Juga:

Pertahankan Smelter Freeport Tetap di Gresik

 

The Economist pada 2006 juga mengklaim bahwa dunia telah masuk pada masa ”golden age of giving”. Akan tetapi, ketidakseimbangan ekonomi belum membaik dan seluruh dunia menghadapi ancaman perubahan iklim yang semakin serius. Ini karena konsep altruisme hanya direduksi dalam kegiatan memberi yang dapat memberikan keuntungan, bukan sebagai nilai tanggung jawab sosial yang semestinya juga diadopsi dalam perencanaan dan pembuatan keputusan. Zakatnomics perlu hadir sebagai suatu pandangan moral yang menjadi mainstream pada altruisme dan filantropi. (*)

 

Ali Chamani Al Anshory, Peneliti senior Pusat Kajian Strategis Baznas

Terpopuler

Artikel Terbaru