28.4 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Bulan Suci, Sedentari, dan Ironi Pola Konsumsi

SUDAH lebih dari
sepekan umat Islam menjalankan ibadah puasa Ramadan 1442 H. Banyak ritual yang
selalu dilakukan selama bulan puasa ini. Mulai sahur, tadarus Alquran, Tarawih,
hingga ibadah-ibadah lainnya. Banyak pula nilai mulia yang bisa diambil selama
pelaksanaan ibadah puasa. Di antaranya, nilai tentang kesabaran, kejujuran,
kerja keras, kerja produktif, tidak makan berlebihan, dan rasa syukur terhadap
nikmat sehat dan waktu luang. ”Ada dua kenikmatan di mana banyak manusia
tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang (HR Bukhari dari Ibnu Abbas).”

Namun, tidak semua
orang yang menjalankan ibadah puasa mampu menuai nilai-nilai mulia tersebut.
Bahkan, sebagian justru menunjukkan perilaku dengan nilai yang berkebalikan.
Paling tidak ada dua perilaku sebagai paradoks bulan suci Ramadan yang bahkan
bisa merusak nilai-nilai ibadah puasa.

Pertama, perilaku
sedentari. Perilaku ini mengacu pada kebiasaan orang-orang yang
bermalas-malasan, termasuk malas gerak atau lebih populer disebut mager. Wujud
lain perilaku ini banyak sekali. Misalnya, saat kita sedang rebahan,
bersosialisasi, menonton televisi, bermain video game, dan menggunakan gawai
atau komputer hampir sepanjang hari. Kebanyakan dari perilaku seperti ini tentu
sangat tidak produktif dan tidak sehat.

Sedentari juga sangat
lazim terjadi saat pandemi, di mana kerja dilakukan dari rumah atau WFH (work
from home). Kegiatan seperti jalan kaki atau bahkan berlari menjadi relatif
sangat sedikit. Maka, tidak mengherankan bila kita mendapati orang-orang yang
naik berat badannya bahkan setelah sebulan penuh berpuasa. Hal ini salah
satunya disebabkan penumpukan kalori karena perilaku sedentari dengan alasan
sedang berpuasa.

Disebut dengan
perilaku sedentari jika mengacu pada segala jenis aktivitas yang dilakukan di
luar waktu istirahat atau tidur saat pengeluaran energinya sangat rendah. Hal
ini dapat dinilai dari tingkat MET’s (metabolic equivalents), yaitu kurang dari
1,5 MET’s, sebuah angka yang berada di bawah intensitas aktivitas fisik yang
rendah.

Baca Juga :  Tersandera Sistem yang Korup

Data yang ada
mengonfirmasi kondisi perilaku sedentari di atas. Misalnya, hasil Survei Sosial
Ekonomi Nasional (Susenas) 2018. Modul sosial, budaya, dan pendidikan
menyebutkan bahwa sangat sedikit penduduk Indonesia yang melakukan olahraga
lebih dari 120 menit per minggu, yaitu hanya 2,59 persen. Hal ini juga yang
diduga menjadi salah satu penyebab meningkatnya prevalensi penyakit tidak
menular (PTM) di Indonesia sesuai hasil Riset Kesehatan Dasar 2018. Bahkan,
saat ini PTM juga mulai menjangkiti usia 15–24 tahun atau usia remaja. WHO pada
2020 merilis data bahwa 80 persen remaja kurang dalam melakukan aktivitas
fisik.

Sejatinya, selama
melaksanakan ibadah puasa, kita tetap bisa melakukan aktivitas fisik yang
termasuk kategori NEAT (non-exercise activity thermogenesis) movement.
Misalnya, menyapu, membersihkan lantai, jalan santai, berkebun, dan memasak.
Olahraga saat puasa juga boleh dilakukan. Hanya, waktu dan intensitasnya harus
diatur agar tidak mengakibatkan dehidrasi dan membahayakan kesehatan.

Menjelang waktu
berbuka puasa, kita boleh melakukan LISS (low intensity steady state) movement.
Yaitu, olahraga intensitas rendah dengan durasi cukup panjang (45–60 menit).
Misalnya, joging, jalan cepat, atau gowes santai. Sementara itu, olahraga
dengan intensitas tinggi atau HIIT (high intensity interval training)
dianjurkan hanya dilakukan setelah aktivitas berbuka puasa. Misalnya, lari,
lompat tali, squat jump, atau angkat beban dengan durasi 10–30 menit. Meskipun
durasi HIIT lebih pendek, manfaatnya dua kali LISS.

Perilaku kedua yang
menjadi paradoks Ramadan adalah ironi pola konsumsi di kala berbuka puasa atau
sahur yang berlebihan. Akibatnya, terjadi surplus kalori dan orang menjadi
terlalu kenyang. Paling sering terjadi saat berbuka puasa, di mana hormon
grelin sedang tinggi-tingginya di dalam tubuh kita.

Baca Juga :  BTS Meal dan Diplomasi Budaya Korea

Saat berpuasa, orang
memang dikondisikan untuk melupakan makan. Saat itu tubuh akan menciptakan
mekanisme alami untuk meningkatkan rasa lapar. Saat inilah tubuh meningkatkan
produksi hormon grelin, sebuah hormon yang digunakan tubuh untuk mengirim
sinyal ke otak untuk menaikkan nafsu makan.

Saat buka puasa tiba
dan makanan mulai masuk ke tubuh, zat dopamin dilepaskan ke bagian otak sistem
limbik yang bernama striatum. Yaitu, bagian otak khusus untuk merasakan
kenikmatan dari makanan. Dopamin yang memberikan rasa nikmat pada otak
mengakibatkan kegiatan makan menjadi sangat menyenangkan.

Ironi pola makan
berlebihan bisa disembuhkan dengan mempraktikkan mindful eating. Yaitu,
perilaku konsumsi yang penuh kesadaran guna meningkatkan kemampuan untuk
merasakan sinyal kenyang. Makanlah dengan pelan. Kunyah lebih lama karena otak
manusia memerlukan waktu hingga 20 menit untuk mendapat sinyal tubuh bahwa kita
sudah makan.

Pola makan sehat saat
puasa dengan tinggi serat, banyak makan buah dan sayuran, juga bisa diterapkan
di luar Ramadan. Sebab, sebenarnya kebutuhan nutrisi seperti ini adalah
kebutuhan yang normal sepanjang waktu, baik saat berpuasa maupun tidak. Justru
momen puasa adalah saat yang tepat untuk memperbaiki pola makan. Ingatlah,
salah satu ciri amalan puasa yang diterima Allah SWT adalah jika setelah bulan
suci Ramadan berlalu perilaku kita akan menjadi lebih baik, termasuk perilaku
makan kita.

Selamat menjalankan
puasa Ramadan tanpa paradoks. Tetap semangat menjalani hidup sehat dengan menjauhi
perilaku sedentari. Tetap konsisten dengan pola makan yang sehat, nutrisi
lengkap seimbang, dan tidak berlebihan. (*)


Sunardi Siswodiharjo,
Food engineer, alumnus Teknologi Pangan UGM, finisher half marathon 21K,
pemerhati masalah nutrisi dan kesehatan

SUDAH lebih dari
sepekan umat Islam menjalankan ibadah puasa Ramadan 1442 H. Banyak ritual yang
selalu dilakukan selama bulan puasa ini. Mulai sahur, tadarus Alquran, Tarawih,
hingga ibadah-ibadah lainnya. Banyak pula nilai mulia yang bisa diambil selama
pelaksanaan ibadah puasa. Di antaranya, nilai tentang kesabaran, kejujuran,
kerja keras, kerja produktif, tidak makan berlebihan, dan rasa syukur terhadap
nikmat sehat dan waktu luang. ”Ada dua kenikmatan di mana banyak manusia
tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang (HR Bukhari dari Ibnu Abbas).”

Namun, tidak semua
orang yang menjalankan ibadah puasa mampu menuai nilai-nilai mulia tersebut.
Bahkan, sebagian justru menunjukkan perilaku dengan nilai yang berkebalikan.
Paling tidak ada dua perilaku sebagai paradoks bulan suci Ramadan yang bahkan
bisa merusak nilai-nilai ibadah puasa.

Pertama, perilaku
sedentari. Perilaku ini mengacu pada kebiasaan orang-orang yang
bermalas-malasan, termasuk malas gerak atau lebih populer disebut mager. Wujud
lain perilaku ini banyak sekali. Misalnya, saat kita sedang rebahan,
bersosialisasi, menonton televisi, bermain video game, dan menggunakan gawai
atau komputer hampir sepanjang hari. Kebanyakan dari perilaku seperti ini tentu
sangat tidak produktif dan tidak sehat.

Sedentari juga sangat
lazim terjadi saat pandemi, di mana kerja dilakukan dari rumah atau WFH (work
from home). Kegiatan seperti jalan kaki atau bahkan berlari menjadi relatif
sangat sedikit. Maka, tidak mengherankan bila kita mendapati orang-orang yang
naik berat badannya bahkan setelah sebulan penuh berpuasa. Hal ini salah
satunya disebabkan penumpukan kalori karena perilaku sedentari dengan alasan
sedang berpuasa.

Disebut dengan
perilaku sedentari jika mengacu pada segala jenis aktivitas yang dilakukan di
luar waktu istirahat atau tidur saat pengeluaran energinya sangat rendah. Hal
ini dapat dinilai dari tingkat MET’s (metabolic equivalents), yaitu kurang dari
1,5 MET’s, sebuah angka yang berada di bawah intensitas aktivitas fisik yang
rendah.

Baca Juga :  Tersandera Sistem yang Korup

Data yang ada
mengonfirmasi kondisi perilaku sedentari di atas. Misalnya, hasil Survei Sosial
Ekonomi Nasional (Susenas) 2018. Modul sosial, budaya, dan pendidikan
menyebutkan bahwa sangat sedikit penduduk Indonesia yang melakukan olahraga
lebih dari 120 menit per minggu, yaitu hanya 2,59 persen. Hal ini juga yang
diduga menjadi salah satu penyebab meningkatnya prevalensi penyakit tidak
menular (PTM) di Indonesia sesuai hasil Riset Kesehatan Dasar 2018. Bahkan,
saat ini PTM juga mulai menjangkiti usia 15–24 tahun atau usia remaja. WHO pada
2020 merilis data bahwa 80 persen remaja kurang dalam melakukan aktivitas
fisik.

Sejatinya, selama
melaksanakan ibadah puasa, kita tetap bisa melakukan aktivitas fisik yang
termasuk kategori NEAT (non-exercise activity thermogenesis) movement.
Misalnya, menyapu, membersihkan lantai, jalan santai, berkebun, dan memasak.
Olahraga saat puasa juga boleh dilakukan. Hanya, waktu dan intensitasnya harus
diatur agar tidak mengakibatkan dehidrasi dan membahayakan kesehatan.

Menjelang waktu
berbuka puasa, kita boleh melakukan LISS (low intensity steady state) movement.
Yaitu, olahraga intensitas rendah dengan durasi cukup panjang (45–60 menit).
Misalnya, joging, jalan cepat, atau gowes santai. Sementara itu, olahraga
dengan intensitas tinggi atau HIIT (high intensity interval training)
dianjurkan hanya dilakukan setelah aktivitas berbuka puasa. Misalnya, lari,
lompat tali, squat jump, atau angkat beban dengan durasi 10–30 menit. Meskipun
durasi HIIT lebih pendek, manfaatnya dua kali LISS.

Perilaku kedua yang
menjadi paradoks Ramadan adalah ironi pola konsumsi di kala berbuka puasa atau
sahur yang berlebihan. Akibatnya, terjadi surplus kalori dan orang menjadi
terlalu kenyang. Paling sering terjadi saat berbuka puasa, di mana hormon
grelin sedang tinggi-tingginya di dalam tubuh kita.

Baca Juga :  BTS Meal dan Diplomasi Budaya Korea

Saat berpuasa, orang
memang dikondisikan untuk melupakan makan. Saat itu tubuh akan menciptakan
mekanisme alami untuk meningkatkan rasa lapar. Saat inilah tubuh meningkatkan
produksi hormon grelin, sebuah hormon yang digunakan tubuh untuk mengirim
sinyal ke otak untuk menaikkan nafsu makan.

Saat buka puasa tiba
dan makanan mulai masuk ke tubuh, zat dopamin dilepaskan ke bagian otak sistem
limbik yang bernama striatum. Yaitu, bagian otak khusus untuk merasakan
kenikmatan dari makanan. Dopamin yang memberikan rasa nikmat pada otak
mengakibatkan kegiatan makan menjadi sangat menyenangkan.

Ironi pola makan
berlebihan bisa disembuhkan dengan mempraktikkan mindful eating. Yaitu,
perilaku konsumsi yang penuh kesadaran guna meningkatkan kemampuan untuk
merasakan sinyal kenyang. Makanlah dengan pelan. Kunyah lebih lama karena otak
manusia memerlukan waktu hingga 20 menit untuk mendapat sinyal tubuh bahwa kita
sudah makan.

Pola makan sehat saat
puasa dengan tinggi serat, banyak makan buah dan sayuran, juga bisa diterapkan
di luar Ramadan. Sebab, sebenarnya kebutuhan nutrisi seperti ini adalah
kebutuhan yang normal sepanjang waktu, baik saat berpuasa maupun tidak. Justru
momen puasa adalah saat yang tepat untuk memperbaiki pola makan. Ingatlah,
salah satu ciri amalan puasa yang diterima Allah SWT adalah jika setelah bulan
suci Ramadan berlalu perilaku kita akan menjadi lebih baik, termasuk perilaku
makan kita.

Selamat menjalankan
puasa Ramadan tanpa paradoks. Tetap semangat menjalani hidup sehat dengan menjauhi
perilaku sedentari. Tetap konsisten dengan pola makan yang sehat, nutrisi
lengkap seimbang, dan tidak berlebihan. (*)


Sunardi Siswodiharjo,
Food engineer, alumnus Teknologi Pangan UGM, finisher half marathon 21K,
pemerhati masalah nutrisi dan kesehatan

Terpopuler

Artikel Terbaru