28.4 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Kemerdekaan untuk Palestina

SENIN pagi, 10 Mei 2021 waktu Palestina,
dengan brutal tentara Israel menembaki jamaah yang akan beribadah di Masjid Al
Aqsa. Perilaku biadab tentara Israel ini telah kali kesekian mereka lakukan
terhadap warga Palestina. Mungkin sudah tak terhitung deret kejahatan
kemanusiaan yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina dan dunia seolah tak
kuasa menghentikan hal ini.

Ada dua hal kejahatan kemanusiaan yang
dilakukan Israel. Pertama, menyerbu tempat suci umat Islam di seluruh dunia,
yakni Masjid Al Aqsa. Kita juga mengetahui, di kompleks Baitulmaqdis itu
terdapat tembok ratapan, tempat suci kaum Yahudi, bahkan Bethlehem sebagai
tempat kelahiran Yesus. Artinya, kawasan Baitulmaqdis adalah kawasan suci
ketiga agama. Entah iblis dari mana yang merasuki para pemimpin Israel dengan
memerintahkan tentara menembaki warga Palestina di tempat suci ini.

Akar konflik dan kekerasan di wilayah
Palestina memang sangat panjang. Bahkan, konflik dan kekerasan ini adalah buah
dari kebijakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang ditunggangi negara
pemenang Perang Dunia I, dalam hal ini Inggris. Inggris yang dilegitimasi PBB
pada 1947 membentuk Negara Israel di tanah Palestina yang sejak tahun 638 Masehi
menjadi wilayah kekuasaan Islam di bawah Khalifah Umar bin Khattab setelah
berhasil menggeser Kekaisaran Byzantium.

Seiring perjalanan waktu, banyak dinasti
Islam silih berganti seperti Dinasti Umayyah, Abbasiyah, Fatimiyah, hingga
kekuasaan Ustmaniyah (Ottoman) di Turki menguasai Palestina. Pada masa
Kekaisaran Ottoman inilah, Inggris melihat klan-klan di Jazirah Arab, terutama
dari Bani Hasyim sebagai klan terbesar, mulai tidak nyaman di bawah kekuasaan
Ottoman. Kebangkitan nasionalisme Arab ini hanya dimanfaatkan Inggris dan
Prancis untuk memerangi Kekaisaran Ottoman.

Tulisan Gordon Martel bertajuk A Companion to
International History (2008) dengan gamblang menggambarkan, pada 1916 Inggris
dan Prancis membuat Perjanjian Sykes-Picot. Perjanjian itu menyepakati Jazirah
Arab akan dibagi dua. Inggris akan mendapatkan Iraq, Jordania, dan Heifa,
sementara Prancis mendapatkan wilayah Syria dan Lebanon. Palestina dikontrol
kedua negara.

Selain itu, Inggris mengeluarkan Deklarasi
Balfour 1917 oleh Menlu Arthur Balfour. Deklarasi ini secara khusus disampaikan
kepada Lord Rothschild, pemimpin kaum Yahudi di Inggris. Deklarasi ini
menyatakan dukungan pembentukan negara oleh komunitas Yahudi seluruh dunia di
kawasan Palestina. Deklarasi ini memotivasi komunitas Yahudi di seluruh dunia,
khususnya di Amerika Serikat, untuk melawan Jerman. Kita tahu bersama, Hitler
sangat anti terhadap bangsa Yahudi.

Baca Juga :  Malapetaka Lapas I Tangerang, Kelalaian?

Pasca menjadi pemenang Perang Dunia II,
sekutu berpengaruh besar terhadap segala keputusan PBB. Terlihat dalam keputusan
PBB tahun 1947 dalam Resolusi 181, PBB menyetujui pembagian wilayah Palestina
menjadi dua. Yakni, untuk orang Yahudi dengan berdirinya Israel dan untuk orang
Arab (Palestina), sedangkan kawasan Jerusalem sebagai zona internasional.

Deklarasi Balfour dan Resolusi PBB 181
menjadi cikal bakal kekerasan yang tak berkesudahan hingga kini, terutama
terhadap warga Palestina. Anehnya, meski PBB menyetujui Resolusi 181, hingga
kini PBB tidak pernah mengakui Palestina sebagai negara merdeka penuh dan
menjadi anggota PBB. Sebaliknya malah mengakui Israel. Bahkan, hingga keluarnya
Resolusi 6719 pada 2012 masih menempatkan Palestina sebagai observer.

 

Palestina Merdeka

Kita sangat berharap negara-negara OKI lebih
solid dan satu suara dalam diplomasi di Majelis Umum (MU) PBB. Hal paling
penting adalah mendorong dewan keamanan bertindak tegas dengan menghentikan
seluruh tindakan kekerasan oleh siapa pun. Guna memastikan jaminan keamanan
nyata adanya, OKI mendorong dewan keamanan membentuk international peacekeeping
di seluruh kawasan rawan konflik dan kekerasan di seluruh perbatasan Israel dan
Palestina.

Langkah selanjutnya, MU PBB memberikan
pengajuan kedaulatan penuh terhadap Palestina, dengan seluruh hak, kedudukan,
dan kewajibannya sebagai anggota penuh PBB. Bersamaan dengan itu, Indonesia
dapat menjadi motor komunitas internasional untuk memberikan bantuan
kemanusiaan guna keperluan rekonstruksi, rehabilitasi, dan pemenuhan hak-hak
rakyat Palestina atas rasa aman, hak berserikat, berkeyakinan, dan hak-hak
ekonomi, sosial, dan budayanya

Saya menyadari, di atas kertas,
merealisasikan usul di atas tidaklah mudah. Barat akan selalu melindungi Israel
sebagai sekutunya di Timur Tengah. Dibutuhkan ketangguhan diplomasi
internasional. Saya berharap Rusia dan Tiongkok dapat menjadi kekuatan
penyeimbang sekutu di kawasan ini. Pemerintah Palestina perlu menengok poros
aliansi selain Barat. Bukankah selama ini mereka cukup baik dengan Barat, namun
tidak mendapatkan perlakuan yang adil, bahkan untuk sekadar menghentikan
brutalitas Israel.

Baca Juga :  Menumbuhkan Minat Baca Daya Ungkit Literasi

 

Meminta Rusia dan Tiongkok terlibat jauh di
kawasan ini memang tidak gratisan. Kasarnya no free lunch. Namun, sejauh
konsesi yang bisa diproposalkan kepada Tiongkok dan Rusia masih ”moderat” bagi
rakyat dan pemerintah di Palestina, why not? Bukankah demikian dari hukum-hukum
aliansi itu, sebuah kerja sama strategis yang saling menguntungkan. Saya kira
ini pilihan logis. Sebab, berbaik-baik dengan Barat, rakyat Palestina bagaikan
pungguk merindukan bulan.

Jalan ini saya kira sebagai alternatif bagi
pemerintah di Palestina. Bukankah setelah sekian ratus purnama berlalu, PBB
juga tidak bertindak substansial. PBB sejauh ini masih sangat karikatif. Ada
dan tiadanya tidak ada bedanya. Israel masih bebas melakukan kekerasan,
memperluas wilayah penduduknya di Palestina. Sebenarnya bukan hanya kasus
terhadap warga Palestina. Pembiaran PBB terhadap aksi brutal Barat di Jazirah
Arab (Syria, Iraq, Lebanon, Yaman, Iran, Afghanistan, bahkan Libia) adalah
bukti nyata PBB tak lebih dari stempel negara adikuasa.

Saya tidak anti-Barat, bukan pula benci PBB,
dan tidak antek Tiongkok, apalagi Rusia. Sebagai pengikut ajaran Bung Karno,
kesetiaan saya kepada upaya penciptaan tata dunia yang damai, adil, dan setara.
Pada masa Perang Dingin, Bung Karno bisa memainkan bandul dan kekuatan dua blok
untuk kepentingan nasionalnya. Bahkan, Bung Karno bisa mengorganisasi poros
baru New Emerging Force untuk bargaining terhadap dua blok.

Saya berharap pemerintah Indonesia bersama
pemerintah Palestina dapat memainkan kartu-kartu diplomasi internasional lebih
menggigit. Isac Newton, melalui hukum Newton 2, mengajarkan, sebuah benda akan
mendapatkan kekuatan yang sangat besar bila mendapatkan gaya yang searah dari
laju benda tersebut. Semoga pesan ini dipahami rakyat Palestina dan Palestina
menjadi negara berdaulat penuh, merdeka jiwa dan raga. (*)

 

M.H Said Abdullah, Ketua Badan Anggaran DPR

SENIN pagi, 10 Mei 2021 waktu Palestina,
dengan brutal tentara Israel menembaki jamaah yang akan beribadah di Masjid Al
Aqsa. Perilaku biadab tentara Israel ini telah kali kesekian mereka lakukan
terhadap warga Palestina. Mungkin sudah tak terhitung deret kejahatan
kemanusiaan yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina dan dunia seolah tak
kuasa menghentikan hal ini.

Ada dua hal kejahatan kemanusiaan yang
dilakukan Israel. Pertama, menyerbu tempat suci umat Islam di seluruh dunia,
yakni Masjid Al Aqsa. Kita juga mengetahui, di kompleks Baitulmaqdis itu
terdapat tembok ratapan, tempat suci kaum Yahudi, bahkan Bethlehem sebagai
tempat kelahiran Yesus. Artinya, kawasan Baitulmaqdis adalah kawasan suci
ketiga agama. Entah iblis dari mana yang merasuki para pemimpin Israel dengan
memerintahkan tentara menembaki warga Palestina di tempat suci ini.

Akar konflik dan kekerasan di wilayah
Palestina memang sangat panjang. Bahkan, konflik dan kekerasan ini adalah buah
dari kebijakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang ditunggangi negara
pemenang Perang Dunia I, dalam hal ini Inggris. Inggris yang dilegitimasi PBB
pada 1947 membentuk Negara Israel di tanah Palestina yang sejak tahun 638 Masehi
menjadi wilayah kekuasaan Islam di bawah Khalifah Umar bin Khattab setelah
berhasil menggeser Kekaisaran Byzantium.

Seiring perjalanan waktu, banyak dinasti
Islam silih berganti seperti Dinasti Umayyah, Abbasiyah, Fatimiyah, hingga
kekuasaan Ustmaniyah (Ottoman) di Turki menguasai Palestina. Pada masa
Kekaisaran Ottoman inilah, Inggris melihat klan-klan di Jazirah Arab, terutama
dari Bani Hasyim sebagai klan terbesar, mulai tidak nyaman di bawah kekuasaan
Ottoman. Kebangkitan nasionalisme Arab ini hanya dimanfaatkan Inggris dan
Prancis untuk memerangi Kekaisaran Ottoman.

Tulisan Gordon Martel bertajuk A Companion to
International History (2008) dengan gamblang menggambarkan, pada 1916 Inggris
dan Prancis membuat Perjanjian Sykes-Picot. Perjanjian itu menyepakati Jazirah
Arab akan dibagi dua. Inggris akan mendapatkan Iraq, Jordania, dan Heifa,
sementara Prancis mendapatkan wilayah Syria dan Lebanon. Palestina dikontrol
kedua negara.

Selain itu, Inggris mengeluarkan Deklarasi
Balfour 1917 oleh Menlu Arthur Balfour. Deklarasi ini secara khusus disampaikan
kepada Lord Rothschild, pemimpin kaum Yahudi di Inggris. Deklarasi ini
menyatakan dukungan pembentukan negara oleh komunitas Yahudi seluruh dunia di
kawasan Palestina. Deklarasi ini memotivasi komunitas Yahudi di seluruh dunia,
khususnya di Amerika Serikat, untuk melawan Jerman. Kita tahu bersama, Hitler
sangat anti terhadap bangsa Yahudi.

Baca Juga :  Malapetaka Lapas I Tangerang, Kelalaian?

Pasca menjadi pemenang Perang Dunia II,
sekutu berpengaruh besar terhadap segala keputusan PBB. Terlihat dalam keputusan
PBB tahun 1947 dalam Resolusi 181, PBB menyetujui pembagian wilayah Palestina
menjadi dua. Yakni, untuk orang Yahudi dengan berdirinya Israel dan untuk orang
Arab (Palestina), sedangkan kawasan Jerusalem sebagai zona internasional.

Deklarasi Balfour dan Resolusi PBB 181
menjadi cikal bakal kekerasan yang tak berkesudahan hingga kini, terutama
terhadap warga Palestina. Anehnya, meski PBB menyetujui Resolusi 181, hingga
kini PBB tidak pernah mengakui Palestina sebagai negara merdeka penuh dan
menjadi anggota PBB. Sebaliknya malah mengakui Israel. Bahkan, hingga keluarnya
Resolusi 6719 pada 2012 masih menempatkan Palestina sebagai observer.

 

Palestina Merdeka

Kita sangat berharap negara-negara OKI lebih
solid dan satu suara dalam diplomasi di Majelis Umum (MU) PBB. Hal paling
penting adalah mendorong dewan keamanan bertindak tegas dengan menghentikan
seluruh tindakan kekerasan oleh siapa pun. Guna memastikan jaminan keamanan
nyata adanya, OKI mendorong dewan keamanan membentuk international peacekeeping
di seluruh kawasan rawan konflik dan kekerasan di seluruh perbatasan Israel dan
Palestina.

Langkah selanjutnya, MU PBB memberikan
pengajuan kedaulatan penuh terhadap Palestina, dengan seluruh hak, kedudukan,
dan kewajibannya sebagai anggota penuh PBB. Bersamaan dengan itu, Indonesia
dapat menjadi motor komunitas internasional untuk memberikan bantuan
kemanusiaan guna keperluan rekonstruksi, rehabilitasi, dan pemenuhan hak-hak
rakyat Palestina atas rasa aman, hak berserikat, berkeyakinan, dan hak-hak
ekonomi, sosial, dan budayanya

Saya menyadari, di atas kertas,
merealisasikan usul di atas tidaklah mudah. Barat akan selalu melindungi Israel
sebagai sekutunya di Timur Tengah. Dibutuhkan ketangguhan diplomasi
internasional. Saya berharap Rusia dan Tiongkok dapat menjadi kekuatan
penyeimbang sekutu di kawasan ini. Pemerintah Palestina perlu menengok poros
aliansi selain Barat. Bukankah selama ini mereka cukup baik dengan Barat, namun
tidak mendapatkan perlakuan yang adil, bahkan untuk sekadar menghentikan
brutalitas Israel.

Baca Juga :  Menumbuhkan Minat Baca Daya Ungkit Literasi

 

Meminta Rusia dan Tiongkok terlibat jauh di
kawasan ini memang tidak gratisan. Kasarnya no free lunch. Namun, sejauh
konsesi yang bisa diproposalkan kepada Tiongkok dan Rusia masih ”moderat” bagi
rakyat dan pemerintah di Palestina, why not? Bukankah demikian dari hukum-hukum
aliansi itu, sebuah kerja sama strategis yang saling menguntungkan. Saya kira
ini pilihan logis. Sebab, berbaik-baik dengan Barat, rakyat Palestina bagaikan
pungguk merindukan bulan.

Jalan ini saya kira sebagai alternatif bagi
pemerintah di Palestina. Bukankah setelah sekian ratus purnama berlalu, PBB
juga tidak bertindak substansial. PBB sejauh ini masih sangat karikatif. Ada
dan tiadanya tidak ada bedanya. Israel masih bebas melakukan kekerasan,
memperluas wilayah penduduknya di Palestina. Sebenarnya bukan hanya kasus
terhadap warga Palestina. Pembiaran PBB terhadap aksi brutal Barat di Jazirah
Arab (Syria, Iraq, Lebanon, Yaman, Iran, Afghanistan, bahkan Libia) adalah
bukti nyata PBB tak lebih dari stempel negara adikuasa.

Saya tidak anti-Barat, bukan pula benci PBB,
dan tidak antek Tiongkok, apalagi Rusia. Sebagai pengikut ajaran Bung Karno,
kesetiaan saya kepada upaya penciptaan tata dunia yang damai, adil, dan setara.
Pada masa Perang Dingin, Bung Karno bisa memainkan bandul dan kekuatan dua blok
untuk kepentingan nasionalnya. Bahkan, Bung Karno bisa mengorganisasi poros
baru New Emerging Force untuk bargaining terhadap dua blok.

Saya berharap pemerintah Indonesia bersama
pemerintah Palestina dapat memainkan kartu-kartu diplomasi internasional lebih
menggigit. Isac Newton, melalui hukum Newton 2, mengajarkan, sebuah benda akan
mendapatkan kekuatan yang sangat besar bila mendapatkan gaya yang searah dari
laju benda tersebut. Semoga pesan ini dipahami rakyat Palestina dan Palestina
menjadi negara berdaulat penuh, merdeka jiwa dan raga. (*)

 

M.H Said Abdullah, Ketua Badan Anggaran DPR

Terpopuler

Artikel Terbaru