27.3 C
Jakarta
Monday, December 2, 2024

Malapetaka Lapas I Tangerang, Kelalaian?

POLRI berancang-ancang menerapkan tiga pasal KUHP sekaligus guna memerkarakan kasus kebakaran dan jatuh korban jiwa di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Tangerang. Peristiwa tersebut jelas bukan kebakaran ”biasa”, melainkan kebakaran yang memakan korban puluhan orang dengan riwayat kejahatan (termasuk kejahatan bersindikasi). Maka sesungguhnya tersedia alasan bagi Polri untuk mencari tahu seberapa jauh kemungkinan adanya pihak-pihak yang ingin menghabisi narapidana (napi) sebagai cara untuk menghalangi pengungkapan mata rantai kejahatan yang barangkali juga bersangkut paut dengan napi di dalam lapas tersebut.

Andaikan niat (mens rea) membunuh para napi itu memang ada, pasal pembunuhan, bahkan pembunuhan berencana, menjadi relevan untuk digunakan. Namun, jika niat jahat membunuh tersebut tidak ada, kejadian di Lapas I Tangerang memang sebatas bisa diproses hukum dengan menerapkan pasal 188 dan 359 KUHP.

Inti dua pasal tersebut dapat disetarakan dengan pembantaian (manslaughter). Begitu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata pembantaian memang mengerikan. Tapi, istilah manslaughter sebenarnya justru menunjuk pada perbuatan atau peristiwa yang lebih lunak ketimbang pembunuhan (murder). Padanannya adalah kelalaian dan sejenisnya.

Ketika kasus Lapas I Tangerang dibingkai sebagai manslaughter, lantas apa tipenya? Pertama, bayangkan seseorang melakukan perbuatan yang pada dasarnya berisiko terhadap orang lain, namun dia tidak punya niat untuk menyakiti orang tersebut. Namun, terjadi kelalaian yang berakibat orang lain itu tewas. Ini disebut unlawful and dangerous act manslaughter.

Contohnya adalah orang yang bermain tembak-tembakan dengan memakai pistol sungguhan dan menyangka pistol itu tak berpeluru. Begitu pelatuk ditarik, ternyata keluar peluru dan mengenai jantung orang lain.

Tipe kedua. Setiap orang diikat pada kewajiban atau tugas tertentu sesuai jabatan atau kedudukannya. Dokter terikat pada tugas merawat pasien. Guru terikat pada tugas menjaga siswa selama berada di sekolah. Petugas lapas terikat pada tugas membina napi dan mengevakuasi mereka pada situasi darurat. Jika petugas itu lalai melaksanakan tugasnya dan mengakibatkan tewasnya napi, itu tergolong gross negligence manslaughter.

Baca Juga :  Pendekatan Vaksin Sinovac pada Masyarakat Palangka Raya

Begitu pula halnya ketika petugas tahu bahwa lapas pada dasarnya berada dalam kondisi dapat sewaktu-waktu meledak, namun napi tetap ditempatkan di lingkungan yang rentan tersebut. Maka, penempatan yang kemudian menewaskan napi itu juga masuk dalam kategori gross negligence manslaughter (terjemahan bebas: kealpaan ekstrem terhadap risiko bahaya yang mengakibatkan orang meninggal dunia).

Persoalan belum selesai. Otoritas kepolisian patut mengecek apakah kelalaian itu bersifat individual ataukah sistemis. Apabila kealpaan tersebut sepenuhnya datang dari petugas yang berjaga pada saat berlangsungnya peristiwa kebakaran, merekalah yang bertanggung jawab. Sebaliknya, mengingat petugas lapas merupakan elemen resmi dari institusi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM) dan peristiwa kebakaran plus jatuh korban terjadi di instalasi Kemenkum HAM, proses investigasi sepatutnya menyasar lebih dari sekadar petugas yang berjaga pada saat kejadian. Dengan kata lain, terbuka kemungkinan bahwa ada pihak lain yang juga semestinya dipidana.

Atau, jika petugas yang bekerja pada malam kejadian itu sudah berupaya melakukan langkah koreksi, misalnya melaporkan adanya jaringan listrik yang berbahaya atau keterbatasan peralatan evakuasi dalam situasi kritis, namun laporan itu tidak ditindaklanjuti atasan, petugas jaga tersebut tidak bisa dikenai gross negligence manslaughter. Dia (mereka) sesungguhnya tidak lalai akan adanya situasi yang bisa mendatangkan risiko maut tersebut. Justru atasan dari para petugas itulah yang mungkin dikenai pasal kelalaian. Begitu terus proses pengusutan dilakukan hingga dari satu jenjang jabatan ke jenjang yang lebih tinggi lagi.

Dalam konteks negligence yang sistemis, tipe contributory negligence menjadi kemungkinan yang sangat relevan untuk didalami. Yakni, jatuhnya korban disebabkan kelalaian yang tidak hanya datang dari satu pihak (misalnya petugas yang saat itu berjaga), tapi juga mendapat kontribusi dari pihak-pihak lain yang juga melakukan kelalaian. Dengan kata lain, contributory negligence adalah istilah untuk gross negligence yang datang dari kealpaan oleh sekian banyak pihak sekaligus.

Baca Juga :  Pesan Isra Mikraj dalam Hikmah Pandemi Covid-19

Pihak-pihak dimaksud melalaikan tugas atau tanggung jawab mereka dalam bentuk kelalaian yang beragam satu sama lain. Sehingga situasi berbahaya sesungguhnya makin dimapankan oleh pihak-pihak di dalam sistem (institusi) tersebut. Kemungkinan bahwa kebakaran dan jatuh korban di Lapas I Tangerang disebabkan contributory negligence inilah yang perlu diurai secara terstruktur oleh kepolisian. Dimulai dari level petugas lapas selaku pihak di titik terbawah dalam sistem organisasi Kemenkum HAM itu sendiri.

Penjelasan menteri hukum dan hak asasi manusia bahwa tragedi di Lapas I Tangerang (diduga) bersumber dari instalasi listrik yang tidak dibenahi selama berpuluh-puluh tahun sudah memberikan indikasi kuat bahwa malapetaka di lapas tersebut merupakan contributory negligence. Akibatnya, pertanggungjawaban pidana dan organisasi –bahkan konsekuensi pada level pemerintahan (kabinet)– semestinya dimintakan tidak kepada satu pihak saja, yakni petugas lapas yang saat itu tengah bertugas.

Dari uraian di atas, bisa dipahami jika rumusan pasal-pasal KUHP yang digunakan kepolisian memang relatif sederhana. Kelalaian dan kesalahan atau kealpaan (pasal 188 dan 359) serta kesengajaan (pasal 187), itu saja. Hitam putih. Sedangkan dalam perspektif psikologi forensik, kelalaian dilihat sebagai sesuatu yang berjenjang, mulai yang ”ringan” hingga yang berat, serta kemungkinan adanya lebih dari satu pihak yang sama-sama melakukan kelalaian (dengan perilaku lalai yang bervariasi) yang mengakibatkan kebahayaan maupun kerusakan. (*)

REZA INDRAGIRI AMRIEL, Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne

                

POLRI berancang-ancang menerapkan tiga pasal KUHP sekaligus guna memerkarakan kasus kebakaran dan jatuh korban jiwa di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Tangerang. Peristiwa tersebut jelas bukan kebakaran ”biasa”, melainkan kebakaran yang memakan korban puluhan orang dengan riwayat kejahatan (termasuk kejahatan bersindikasi). Maka sesungguhnya tersedia alasan bagi Polri untuk mencari tahu seberapa jauh kemungkinan adanya pihak-pihak yang ingin menghabisi narapidana (napi) sebagai cara untuk menghalangi pengungkapan mata rantai kejahatan yang barangkali juga bersangkut paut dengan napi di dalam lapas tersebut.

Andaikan niat (mens rea) membunuh para napi itu memang ada, pasal pembunuhan, bahkan pembunuhan berencana, menjadi relevan untuk digunakan. Namun, jika niat jahat membunuh tersebut tidak ada, kejadian di Lapas I Tangerang memang sebatas bisa diproses hukum dengan menerapkan pasal 188 dan 359 KUHP.

Inti dua pasal tersebut dapat disetarakan dengan pembantaian (manslaughter). Begitu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata pembantaian memang mengerikan. Tapi, istilah manslaughter sebenarnya justru menunjuk pada perbuatan atau peristiwa yang lebih lunak ketimbang pembunuhan (murder). Padanannya adalah kelalaian dan sejenisnya.

Ketika kasus Lapas I Tangerang dibingkai sebagai manslaughter, lantas apa tipenya? Pertama, bayangkan seseorang melakukan perbuatan yang pada dasarnya berisiko terhadap orang lain, namun dia tidak punya niat untuk menyakiti orang tersebut. Namun, terjadi kelalaian yang berakibat orang lain itu tewas. Ini disebut unlawful and dangerous act manslaughter.

Contohnya adalah orang yang bermain tembak-tembakan dengan memakai pistol sungguhan dan menyangka pistol itu tak berpeluru. Begitu pelatuk ditarik, ternyata keluar peluru dan mengenai jantung orang lain.

Tipe kedua. Setiap orang diikat pada kewajiban atau tugas tertentu sesuai jabatan atau kedudukannya. Dokter terikat pada tugas merawat pasien. Guru terikat pada tugas menjaga siswa selama berada di sekolah. Petugas lapas terikat pada tugas membina napi dan mengevakuasi mereka pada situasi darurat. Jika petugas itu lalai melaksanakan tugasnya dan mengakibatkan tewasnya napi, itu tergolong gross negligence manslaughter.

Baca Juga :  Pendekatan Vaksin Sinovac pada Masyarakat Palangka Raya

Begitu pula halnya ketika petugas tahu bahwa lapas pada dasarnya berada dalam kondisi dapat sewaktu-waktu meledak, namun napi tetap ditempatkan di lingkungan yang rentan tersebut. Maka, penempatan yang kemudian menewaskan napi itu juga masuk dalam kategori gross negligence manslaughter (terjemahan bebas: kealpaan ekstrem terhadap risiko bahaya yang mengakibatkan orang meninggal dunia).

Persoalan belum selesai. Otoritas kepolisian patut mengecek apakah kelalaian itu bersifat individual ataukah sistemis. Apabila kealpaan tersebut sepenuhnya datang dari petugas yang berjaga pada saat berlangsungnya peristiwa kebakaran, merekalah yang bertanggung jawab. Sebaliknya, mengingat petugas lapas merupakan elemen resmi dari institusi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM) dan peristiwa kebakaran plus jatuh korban terjadi di instalasi Kemenkum HAM, proses investigasi sepatutnya menyasar lebih dari sekadar petugas yang berjaga pada saat kejadian. Dengan kata lain, terbuka kemungkinan bahwa ada pihak lain yang juga semestinya dipidana.

Atau, jika petugas yang bekerja pada malam kejadian itu sudah berupaya melakukan langkah koreksi, misalnya melaporkan adanya jaringan listrik yang berbahaya atau keterbatasan peralatan evakuasi dalam situasi kritis, namun laporan itu tidak ditindaklanjuti atasan, petugas jaga tersebut tidak bisa dikenai gross negligence manslaughter. Dia (mereka) sesungguhnya tidak lalai akan adanya situasi yang bisa mendatangkan risiko maut tersebut. Justru atasan dari para petugas itulah yang mungkin dikenai pasal kelalaian. Begitu terus proses pengusutan dilakukan hingga dari satu jenjang jabatan ke jenjang yang lebih tinggi lagi.

Dalam konteks negligence yang sistemis, tipe contributory negligence menjadi kemungkinan yang sangat relevan untuk didalami. Yakni, jatuhnya korban disebabkan kelalaian yang tidak hanya datang dari satu pihak (misalnya petugas yang saat itu berjaga), tapi juga mendapat kontribusi dari pihak-pihak lain yang juga melakukan kelalaian. Dengan kata lain, contributory negligence adalah istilah untuk gross negligence yang datang dari kealpaan oleh sekian banyak pihak sekaligus.

Baca Juga :  Pesan Isra Mikraj dalam Hikmah Pandemi Covid-19

Pihak-pihak dimaksud melalaikan tugas atau tanggung jawab mereka dalam bentuk kelalaian yang beragam satu sama lain. Sehingga situasi berbahaya sesungguhnya makin dimapankan oleh pihak-pihak di dalam sistem (institusi) tersebut. Kemungkinan bahwa kebakaran dan jatuh korban di Lapas I Tangerang disebabkan contributory negligence inilah yang perlu diurai secara terstruktur oleh kepolisian. Dimulai dari level petugas lapas selaku pihak di titik terbawah dalam sistem organisasi Kemenkum HAM itu sendiri.

Penjelasan menteri hukum dan hak asasi manusia bahwa tragedi di Lapas I Tangerang (diduga) bersumber dari instalasi listrik yang tidak dibenahi selama berpuluh-puluh tahun sudah memberikan indikasi kuat bahwa malapetaka di lapas tersebut merupakan contributory negligence. Akibatnya, pertanggungjawaban pidana dan organisasi –bahkan konsekuensi pada level pemerintahan (kabinet)– semestinya dimintakan tidak kepada satu pihak saja, yakni petugas lapas yang saat itu tengah bertugas.

Dari uraian di atas, bisa dipahami jika rumusan pasal-pasal KUHP yang digunakan kepolisian memang relatif sederhana. Kelalaian dan kesalahan atau kealpaan (pasal 188 dan 359) serta kesengajaan (pasal 187), itu saja. Hitam putih. Sedangkan dalam perspektif psikologi forensik, kelalaian dilihat sebagai sesuatu yang berjenjang, mulai yang ”ringan” hingga yang berat, serta kemungkinan adanya lebih dari satu pihak yang sama-sama melakukan kelalaian (dengan perilaku lalai yang bervariasi) yang mengakibatkan kebahayaan maupun kerusakan. (*)

REZA INDRAGIRI AMRIEL, Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne

                

Terpopuler

Artikel Terbaru