HARI ini, 18 November 2020, usia Muhammadiyah genap 108 tahun.
Suatu rentang perjalanan panjang dan konsisten dari organisasi pembaru yang
didirikan KH Ahmad Dahlan dalam berkiprah memajukan umat dan bangsa.
Kenapa organisasi Islam ini mampu
bertahan lama dan tetap memberikan kontribusi untuk kemajuan umat dan bangsa?.
Mengutip ujaran Kiai Dahlan, “awit miturut paugeraning agama kito Islam
sarta cocok kaliyan pikajenganipun jaman kemajengan†(SM No 2, 1915).
Karena mengikuti kaidah agama Islam serta sesuai dengan harapan zaman kemajuan.
Para ahli ternama seperti
Peacock, Van Niel, Benda, Wertheim, Geertz, Kahin, Nakamura, Alfian, Deliar,
Sheppard, dan lain-lain menyebut Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modern
sekaligus moderat. Kemodernan dan kemoderatan yang menghasilkan jejak kemajuan
yang dirasakan langsung oleh masyarakat luas. Dan, itulah yang membuat
Muhammadiyah mampu bertahan dan berkembang lebih dari satu abad.
Watak Moderat
Sejak berdiri Kiai Dahlan dan
generasi awal Muhammadiyah menampilkan wajah Islam yang moderat. Kiai menggagas
tajdid (pembaruan) dengan selalu
menekankan pentingnya penggunaan akal pikiran (akal suci) dan ijtihad disertai langkah amaliah
berkemajuan.
Dalam pidato bersejarah “Tali
Pengikat Hidup†(1921) Kiai Dahlan membahas tentang akal, pendidikan akal,
kesempurnaan akal, kebutuhan manusia, orang yang mempunyai akal, serta
perbedaan antara pintar dan bodoh.
Kiai menulis, kenapa orang
mengabaikan atau menolak kebenaran, hal itu karena lima sebab, yaitu: (1)
bodoh, ini yang banyak sekali; (2) tidak setuju kepada orang yang ketempatan
(membawa) kebenaran; (3) sudah mempunyai kebiasaan sendiri dari nenek
moyangnya; (4) khawatir tercerai dengan sanak saudara dan teman-temannya; dan
(5) khawatir kalau berkurang atau kehilangan kemuliaan, pangkat, kebesaran,
kesenangan, dan sebagainya.
Kiai lantas memberikan tawaran
lima hal: (1) orang itu perlu dan harus beragama; (2) agama itu pada mulanya
bercahaya, berkilau-kilauan, akan tetapi makin lama makin suram, padahal yang
suram bukan agamanya, akan tetapi manusianya yang memakai agama; (3) orang itu
harus menurut aturan dari syarat yang sah dan yang sudah sesuai dengan pikiran
yang suci, jangan sampai membuat keputusan sendiri; (4) orang itu harus dan
wajib mencari tambahan pengetahuan, jangan sekali-kali merasa cukup dengan
pengetahuannya sendiri, apalagi menolak pengetahuan orang lain; dan (5) orang
itu perlu dan wajib menjalankan pengetahuannya yang utama, jangan sampai hanya
tinggal pengetahuan (Syukriyanto & Mulkhan, 1985).
Namun, pendiri Muhammadiyah itu
juga sangat mementingkan akhlak dan spiritual. Menurut KH Hadjid, sahabat dan
murid terdekatnya, kiai merujuk pada praktik akhlak-tasawuf Al Ghazali. Hingga
Ahmad Dahlan sering mengutip khazanah berikut ini, “Manusia itu semuanya mati
(mati perasaannya) kecuali orang yang berilmu, dan orang yang berilmu mengalami
kebingungan kecuali yang beramal, dan mereka yang beramal juga mengalami
kekhawatiran kecuali yang ikhlas.â€
Kiai Dahlan dikenal zuhud dan
warak. Beliau juga inklusif, bersedia bergaul dengan siapa saja, termasuk
dengan para dokter Belanda, pendeta, dan tokoh Boedi Oetomo yang juga menjadi
penasihat organisasi pergerakan nasional tersebut. Kata Nurcholish Madjid,
Dahlan pencari kebenaran sejati, yang pembaruannya bersifat “breakthroughâ€.
Kiai jauh dari garang, apalagi
ekstrem-keras. Pembawaannya tenang dan sederhana. Meskipun gagasan pembaruannya
berbenturan dengan kaum tradisional, Kiai Dahlan membawanya dengan cara damai,
lembut, dan dialogis. Kiai sosok pemikir dan pengamal Islam yang inklusif.
Watak Modern
Muhammadiyah menonjol watak
kemodernannya. Para pengkaji Islam Indonesia menyebutnya gerakan modernis dan
reformis. Bila disebut modernisme dan reformisme Islam, julukan itu ditujukan
pada Muhammadiyah.
Deliar Noer menyebut Muhammadiyah
sebagai gerakan Islam modern yang moderat. Adapun misi Muhammadiyah menurut
Mukti Ali ialah: (1) membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan
kebiasaan yang bukan Islam; (2) reformulasi doktrin Islam dengan pandangan alam
pikiran modern; (3) reformulasi ajaran dan pendidikan Islam; serta (4)
mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan luar (Ali, 1958).
James Peacock (1986) memberikan
kesaksian ilmiah tentang kuatnya Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modern: “Dalam
setengah abad sejak berkembangnya pembaruan di Asia Tenggara, pergerakan itu
tumbuh dengan cara yang berbeda di bermacam-macam daerah. Hanya di Indonesia
gerakan pembaruan muslimin itu menjadi kekuatan yang besar dan teratur. Pada
permulaan abad ke-20 terdapat sejumlah pergerakan kecil-kecil, pembaruan di
Indonesia bergabung menjadi beberapa gerakan kedaerahan dan sebuah pergerakan
nasional yang tangguh, Muhammadiyah.â€
Selanjutnya, “Dengan
beratus-ratus cabang di seluruh kepulauan dan berjuta-juta anggota yang
tersebar di seluruh negeri, Muhammadiyah memang merupakan pergerakan Islam yang
terkuat yang pernah ada di Asia Tenggara. Sebagai pergerakan yang memajukan
ajaran Islam yang murni, Muhammadiyah juga telah memberikan sumbangan yang
besar di bidang kemasyarakatan dan pendidikan. Klinik-klinik perawatan kesehatan,
rumah-rumah piatu, panti asuhan, di samping beberapa ribu sekolah, menjadikan
Muhammadiyah sebagai lembaga non-Kristen dalam bidang kemasyarakatan,
pendidikan, dan keagamaan swasta yang utama di Indonesia.â€
Secara khusus Peacock menulis, “Aisyiyah,
organisasi wanitanya, mungkin merupakan pergerakan wanita Islam yang terbesar
di dunia. Pendek kata Muhammadiyah merupakan suatu organisasi yang utama dan
terkuat di negara terbesar kelima di dunia.â€
Kini telah 108 tahun Muhammadiyah
bergerak menghadirkan Islam berkemajuan bagi semua. Menjadi kewajiban para
anggota, kader, dan pimpinan persyarikatan saat ini untuk merawat dan
mengembangkan nilai-nilai Islam moderat dan modern di tubuh gerakan Islam ini.
Seraya menyebarluaskan dan mewujudkan kemoderatan dan kemodernan Islam itu
dalam kehidupan umat, bangsa, dan kemanusiaan semesta dengan sketsa besar misi
dakwah dan tajdid rahmatan lil alamin
di alaf baru! (*)
(Penulis adalah Ketua Umum PP
Muhammadiyah)