31.6 C
Jakarta
Monday, April 14, 2025

Urgensi Pembentukan Ekosistem Ultramikro

INDIKATOR-INDIKATOR makroekonomi Indonesia masih tertekan sejak krisis akibat pandemi Covid-19. Pertumbuhan ekonomi, misalnya, tumbuh negatif untuk kali keempat sejak pandemi Covid-19 merebak. Triwulan I 2021 lalu, output nasional turun 0,74 persen (YoY) yang menyebabkan tekanan pengangguran dan kemiskinan.

Padahal, sebelum pandemi, angka pengangguran dan kemiskinan di Indonesia mencapai level. Sementara itu, angka inflasi cenderung menurun, tetapi lebih disebabkan penurunan konsumsi. Koreksi inflasi mengonfirmasi bagaimana dampak pandemi Covid-19 terhadap sektor tenaga kerja, baik pekerja formal maupun informal.

Tingkat keparahan dari pengaruh Covid-19 pada suatu perekonomian tidak hanya bergantung pada jumlah pasien positif, tetapi juga seberapa jauh virus tersebut meluluhlantakkan fondasi-fondasi ekonomi. Ketika yang terkena merupakan sektor-sektor ekonomi vital seperti usaha ultramikro serta mikro, kecil, dan menengah (UMKM), pemulihan ekonomi dari krisis Covid-19 diprediksi lama. Hal ini karena UMKM menjadi jantung perekonomian dunia, termasuk di Indonesia.

SME Finance Forum (2021) mencatat 9 dari 10 bisnis di dunia merupakan UMKM. UMKM berperan separo dari output global dan dua pertiga penyerapan tenaga kerja. Angka-angka tersebut tidak jauh berbeda dengan kondisi di Indonesia. Lebih dari 50 persen output nasional didonasikan sektor UMKM, sedangkan penyerapan tenaga kerja hingga 95 persen.

Pemerintah, otoritas moneter, hingga otoritas perbankan sebenarnya telah mengeluarkan berbagai kebijakan agar UMKM segera pulih. Dari sisi pemerintah, dukungan terhadap pemulihan UMKM diramu lewat kerangka pemulihan ekonomi nasional (PEN). Tahun lalu anggaran PEN mencapai Rp 695 triliun (realisasi 83 persen). Sedangkan pada 2021 mencapai Rp 699 triliun. Alokasi anggaran PEN UMKM 2020 mencapai Rp 116 triliun, sedangkan pada 2021 mencapai Rp 187 triliun (tergabung dalam pembiayaan korporasi dan penyertaan modal negara).

Dari otoritas moneter, Bank Indonesia membantu UMKM lewat digitalisasi ekonomi dan keuangan digital. Tahun ini BI menargetkan 12 juta UMKM dapat teregistrasi secara nasional dalam menggunakan quick response indonesia standard (QRIS). Sementara itu, stimulus dari sektor perbankan terekam dari program restrukturisasi kredit UMKM. Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga awal Maret 2021, restrukturisasi kredit perbankan mencapai Rp 999,7 triliun dari 7,97 juta debitur. Sebanyak 6,17 juta debitur merupakan kelompok UMKM dengan nilai restrukturisasi hingga Rp 392,2 triliun.

Baca Juga :  Malapetaka Lapas I Tangerang, Kelalaian?

 

Kekuatan dan Tantangan

Perlu ditegaskan kembali bahwa ketika pemerintah memacu agar ekonomi cepat pulih dari pandemi, fokus pada pemulihan UMKM tidak bisa ditawar lagi. Langkah pembentukan holding BUMN ultramikro untuk mendukung pelaku ekonomi ultramikro menjadi pilihan kebijakan strategis yang diambil pemerintah.

Hadirnya ekosistem ultramikro diharapkan dapat menumbuhkembangkan UMKM agar naik kelas dan semakin kontributif bagi perekonomian, baik dari sisi mikro maupun makro. Dari sisi ukuran mikro, UMKM menjadi sumber kehidupan pelaku usahanya/perajin. Usaha-usaha tersebut biasanya sudah berusia sangat lama karena warisan keluarga secara turun-temurun. Karena itu, kegiatan UMKM tidak hanya berkutat pada aspek ekonomi, tetapi juga aspek historis, sejarah, dan budaya.

Tentu, UMKM, khususnya usaha ultramikro, yang dimiliki Indonesia saat ini diharapkan tidak hanya hadir dalam skala rumahan, tetapi bisa naik kelas dan menjadi penopang ekonomi ke depan. Berpijak dari hal tersebut, UMKM menjadi bagian penting dalam pemulihan ekonomi lewat integrasinya dengan industri pariwisata.

Dari sisi makro, kontribusi UMKM sudah jamak disampaikan dalam berbagai kajian seperti peranannya terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB), penyerapan tenaga kerja, ekspor nonmigas, hingga investasi. Namun, manfaat makro tersebut dapat dirasakan jika sisi mikro kukuh dan berdaya saing sehingga tidak rentan terhadap goncangan. Pembentukan holding BUMN ultramikro harus dapat merawat pelaku usaha di sektor ultramikro sehingga peranan mikro dan makro bisa dimaksimalkan.

Meski demikian, upaya memaksimalkan peranan mikro dan makro lewat pembentukan ekosistem ultramikro masih menghadapi berbagai tantangan. Pertama, masalah regulasi dan birokrasi. Jamak terjadi bahwa regulasi yang dikeluarkan belum sepenuhnya dapat dijalankan di lapangan. Situasi tersebut semakin rumit karena regulasi bersifat top-bottom. Inisiasi holding ultramikro menjadi terobosan penting agar pelaku usaha ultramikro memiliki arah dan tujuan serta target usaha yang tentunya didukung sinergi holding BUMN. Yang terpenting dari hal tersebut adalah bagaimana pembentukan holding tidak terhambat regulasi dan birokrasi.

Baca Juga :  Dunia yang Terjeda

Kedua, tantangan berikutnya bersumber dari sisi internal BUMN, yang terlihat dalam holding ultramikro. Sebagaimana diketahui, holding tersebut mungkin saja menimbulkan kegelisahan bagi karyawan karena terkadang suatu holding diikuti dengan pengetatan tali pinggang lewat pengurangan karyawan. Hal itu semakin mengkhawatirkan di tengah-tengah pandemi Covid-19 yang belum berujung. Faktor inilah yang harus dijaga dan diperhatikan pemerintah dan stakeholder terkait agar semangat holding tersebut tidak mendapat penolakan dari internal. Tanpa kekuatan sumber daya manusia, program ini tidak akan berjalan.

Ketiga, langkah konkret memacu kinerja ultramikro, yang salah satunya lewat platform digital. Kementerian Koperasi dan UMKM (Kemenkop UMKM) menjelaskan hanya sekitar 9,4 juta UMKM (15 persen dari 60 juta) yang terintegrasi ke platform digital. Sementara itu, survei BPS (2020) menyimpulkan bahwa perusahaan yang sudah melakukan pemasaran online sebelum pandemi memiliki pendapatan lebih tinggi 1,14 kali dibanding yang baru online saat pandemi. Tanpa integrasi ke digital, permintaan terhadap produk UMKM sulit untuk meningkat pesat.

Pembentukan holding BUMN untuk mendukung penguatan ultramikro menjadi sangat penting di saat ekonomi terpuruk dan upaya untuk segera pulih dari pandemi Covid-19. Pada cakupan yang lebih jauh, holding BUMN dan ekosistem ultramikro ini menjadi prasyarat agar ekonomi nasional bisa mencapai pertumbuhan inklusif. Lewat pertumbuhan inklusif tersebut, persoalan sosial seperti pengangguran dan kemiskinan dapat ditekan. (*)

Eko Listiyanto, Wakil direktur Institute for Development of Economics and Finance

 

INDIKATOR-INDIKATOR makroekonomi Indonesia masih tertekan sejak krisis akibat pandemi Covid-19. Pertumbuhan ekonomi, misalnya, tumbuh negatif untuk kali keempat sejak pandemi Covid-19 merebak. Triwulan I 2021 lalu, output nasional turun 0,74 persen (YoY) yang menyebabkan tekanan pengangguran dan kemiskinan.

Padahal, sebelum pandemi, angka pengangguran dan kemiskinan di Indonesia mencapai level. Sementara itu, angka inflasi cenderung menurun, tetapi lebih disebabkan penurunan konsumsi. Koreksi inflasi mengonfirmasi bagaimana dampak pandemi Covid-19 terhadap sektor tenaga kerja, baik pekerja formal maupun informal.

Tingkat keparahan dari pengaruh Covid-19 pada suatu perekonomian tidak hanya bergantung pada jumlah pasien positif, tetapi juga seberapa jauh virus tersebut meluluhlantakkan fondasi-fondasi ekonomi. Ketika yang terkena merupakan sektor-sektor ekonomi vital seperti usaha ultramikro serta mikro, kecil, dan menengah (UMKM), pemulihan ekonomi dari krisis Covid-19 diprediksi lama. Hal ini karena UMKM menjadi jantung perekonomian dunia, termasuk di Indonesia.

SME Finance Forum (2021) mencatat 9 dari 10 bisnis di dunia merupakan UMKM. UMKM berperan separo dari output global dan dua pertiga penyerapan tenaga kerja. Angka-angka tersebut tidak jauh berbeda dengan kondisi di Indonesia. Lebih dari 50 persen output nasional didonasikan sektor UMKM, sedangkan penyerapan tenaga kerja hingga 95 persen.

Pemerintah, otoritas moneter, hingga otoritas perbankan sebenarnya telah mengeluarkan berbagai kebijakan agar UMKM segera pulih. Dari sisi pemerintah, dukungan terhadap pemulihan UMKM diramu lewat kerangka pemulihan ekonomi nasional (PEN). Tahun lalu anggaran PEN mencapai Rp 695 triliun (realisasi 83 persen). Sedangkan pada 2021 mencapai Rp 699 triliun. Alokasi anggaran PEN UMKM 2020 mencapai Rp 116 triliun, sedangkan pada 2021 mencapai Rp 187 triliun (tergabung dalam pembiayaan korporasi dan penyertaan modal negara).

Dari otoritas moneter, Bank Indonesia membantu UMKM lewat digitalisasi ekonomi dan keuangan digital. Tahun ini BI menargetkan 12 juta UMKM dapat teregistrasi secara nasional dalam menggunakan quick response indonesia standard (QRIS). Sementara itu, stimulus dari sektor perbankan terekam dari program restrukturisasi kredit UMKM. Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga awal Maret 2021, restrukturisasi kredit perbankan mencapai Rp 999,7 triliun dari 7,97 juta debitur. Sebanyak 6,17 juta debitur merupakan kelompok UMKM dengan nilai restrukturisasi hingga Rp 392,2 triliun.

Baca Juga :  Malapetaka Lapas I Tangerang, Kelalaian?

 

Kekuatan dan Tantangan

Perlu ditegaskan kembali bahwa ketika pemerintah memacu agar ekonomi cepat pulih dari pandemi, fokus pada pemulihan UMKM tidak bisa ditawar lagi. Langkah pembentukan holding BUMN ultramikro untuk mendukung pelaku ekonomi ultramikro menjadi pilihan kebijakan strategis yang diambil pemerintah.

Hadirnya ekosistem ultramikro diharapkan dapat menumbuhkembangkan UMKM agar naik kelas dan semakin kontributif bagi perekonomian, baik dari sisi mikro maupun makro. Dari sisi ukuran mikro, UMKM menjadi sumber kehidupan pelaku usahanya/perajin. Usaha-usaha tersebut biasanya sudah berusia sangat lama karena warisan keluarga secara turun-temurun. Karena itu, kegiatan UMKM tidak hanya berkutat pada aspek ekonomi, tetapi juga aspek historis, sejarah, dan budaya.

Tentu, UMKM, khususnya usaha ultramikro, yang dimiliki Indonesia saat ini diharapkan tidak hanya hadir dalam skala rumahan, tetapi bisa naik kelas dan menjadi penopang ekonomi ke depan. Berpijak dari hal tersebut, UMKM menjadi bagian penting dalam pemulihan ekonomi lewat integrasinya dengan industri pariwisata.

Dari sisi makro, kontribusi UMKM sudah jamak disampaikan dalam berbagai kajian seperti peranannya terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB), penyerapan tenaga kerja, ekspor nonmigas, hingga investasi. Namun, manfaat makro tersebut dapat dirasakan jika sisi mikro kukuh dan berdaya saing sehingga tidak rentan terhadap goncangan. Pembentukan holding BUMN ultramikro harus dapat merawat pelaku usaha di sektor ultramikro sehingga peranan mikro dan makro bisa dimaksimalkan.

Meski demikian, upaya memaksimalkan peranan mikro dan makro lewat pembentukan ekosistem ultramikro masih menghadapi berbagai tantangan. Pertama, masalah regulasi dan birokrasi. Jamak terjadi bahwa regulasi yang dikeluarkan belum sepenuhnya dapat dijalankan di lapangan. Situasi tersebut semakin rumit karena regulasi bersifat top-bottom. Inisiasi holding ultramikro menjadi terobosan penting agar pelaku usaha ultramikro memiliki arah dan tujuan serta target usaha yang tentunya didukung sinergi holding BUMN. Yang terpenting dari hal tersebut adalah bagaimana pembentukan holding tidak terhambat regulasi dan birokrasi.

Baca Juga :  Dunia yang Terjeda

Kedua, tantangan berikutnya bersumber dari sisi internal BUMN, yang terlihat dalam holding ultramikro. Sebagaimana diketahui, holding tersebut mungkin saja menimbulkan kegelisahan bagi karyawan karena terkadang suatu holding diikuti dengan pengetatan tali pinggang lewat pengurangan karyawan. Hal itu semakin mengkhawatirkan di tengah-tengah pandemi Covid-19 yang belum berujung. Faktor inilah yang harus dijaga dan diperhatikan pemerintah dan stakeholder terkait agar semangat holding tersebut tidak mendapat penolakan dari internal. Tanpa kekuatan sumber daya manusia, program ini tidak akan berjalan.

Ketiga, langkah konkret memacu kinerja ultramikro, yang salah satunya lewat platform digital. Kementerian Koperasi dan UMKM (Kemenkop UMKM) menjelaskan hanya sekitar 9,4 juta UMKM (15 persen dari 60 juta) yang terintegrasi ke platform digital. Sementara itu, survei BPS (2020) menyimpulkan bahwa perusahaan yang sudah melakukan pemasaran online sebelum pandemi memiliki pendapatan lebih tinggi 1,14 kali dibanding yang baru online saat pandemi. Tanpa integrasi ke digital, permintaan terhadap produk UMKM sulit untuk meningkat pesat.

Pembentukan holding BUMN untuk mendukung penguatan ultramikro menjadi sangat penting di saat ekonomi terpuruk dan upaya untuk segera pulih dari pandemi Covid-19. Pada cakupan yang lebih jauh, holding BUMN dan ekosistem ultramikro ini menjadi prasyarat agar ekonomi nasional bisa mencapai pertumbuhan inklusif. Lewat pertumbuhan inklusif tersebut, persoalan sosial seperti pengangguran dan kemiskinan dapat ditekan. (*)

Eko Listiyanto, Wakil direktur Institute for Development of Economics and Finance

 

Terpopuler

Artikel Terbaru