SEJAK dicetuskan dalam Resolusi Majelis Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 62/136 Tahun 2007, Hari Perempuan Pedesaan Sedunia diperingati setiap 15 Oktober. Tahun ini peringatan Hari Perempuan Pedesaan Sedunia mengambil tema yang sangat relevan dengan kondisi dunia saat ini, yaitu perempuan pedesaan mengolah makanan yang baik untuk semua.
Hal itu ditunjukkan dengan kondisi pedesaan saat ini, khususnya terkait pangan. Setahun terakhir, ketika pandemi Covid-19 menerpa Indonesia, termasuk desa, pertanian di pedesaan tetap tumbuh positif 1,75 persen. Tahun ini, sampai triwulan kedua, ekonomi pertanian tetap tumbuh 0,38–3,33 persen. Bersamaan dengan kian terkelolanya penanganan pandemi Covid-19, yang kian membuka peluang kebangkitan ekonomi, dapat diyakini perempuan pedesaan sedang menemukan momentum kebangkitannya.
Ladang Kerja
Jalan kebangkitan perempuan desa sangat tepat ditempuh melalui peningkatan pendapatan, penanganan kesehatan, serta perluasan akses pendidikan. Sayangnya, indeks pembangunan manusia menunjukkan kesenjangan yang relatif menetap, antara laki-laki pada taraf 75,96, namun posisi perempuan masih pada tingkat 69,19. Dengan jumlah perempuan pedesaan setara laki-laki, yaitu 58 juta jiwa. Artinya, saat ini masih banyak perempuan yang tertinggal dari laki-laki, khususnya pada ketiga aspek pembangunan, penyusun indeks pembangunan manusia.
Sebenarnya perempuan pedesaan relatif unggul dalam mengenyam pendidikan ketimbang laki-laki. Memang, angka partisipasi murni (APM) sekolah dasar perempuan mencapai 97,30, setara dengan laki-laki 97,49. Namun, ketika menginjak sekolah menengah pertama, APM perempuan menjadi 78,65, sedikit lebih tinggi daripada APM laki-laki senilai 77,98. Nah, saat bersekolah di SMA, APM perempuan mencapai 58,84, lebih tinggi daripada APM laki-laki 55,31.
Dalam bidang kesehatan, masih ada 6,9 persen perempuan pedesaan yang tidak terpenuhi layanan kesehatannya. Perempuan pedesaan berumur 15–49 tahun yang melahirkan anak dengan bantuan tenaga kesehatan baru mencapai 80,39 persen, padahal di perkotaan sudah mencapai 94,03 persen. Bahkan, semakin rendah derajat ekonomi perempuan, ternyata semakin sulit memperoleh layanan tenaga medis demi kelahiran anak yang sehat.
Meskipun memiliki keunggulan kesempatan belajar, saat mulai bekerja justru perempuan pedesaan tertinggal dari laki-laki. Proporsi perempuan kepala rumah tangga (pekka) mencapai 15,74 persen. Namun, hanya 67,15 persen dari pekka itu yang memasuki dunia kerja. Padahal, 94,93 persen laki-laki kepala rumah tangga telah bekerja. Kesulitan hidup pekka terbaca pada 28,64 persen pekka yang tinggal sendirian di rumah, namun 71,36 persen lainnya mesti menghidupi 2–6 anggota rumah tangganya.
Untuk Perempuan Desa
PBB mengaitkan Hari Perempuan Pedesaan Sedunia dengan tujuan pembangunan berkelanjutan berupa sasaran kesetaraan gender. Ini dilokalkan pada tingkat desa menjadi SDGs desa dengan tujuan kelima berupa keterlibatan perempuan desa. Di samping itu, pemilahan gender juga berkaitan dengan penanganan warga miskin, pembangunan kesehatan, akses pendidikan, penciptaan kedamaian dan keadilan, serta perluasan jaringan kemitraan. Arah kebijakan SDGs desa ini sesuai dengan UU 6/2014 tentang Desa, terutama berkaitan dengan tujuan-tujuan pembangunan desa, yaitu peningkatan kualitas hidup warga desa dan pengurangan kemiskinan.
Di samping kesetaraan gender dalam partisipasi sekolah dan kerja, sasaran SDGs desa juga mencakup kegiatan pembangunan di desa yang mendukung pemberdayaan perempuan. Contohnya, penyaluran BLT dana desa sepanjang 2020 mampu menjangkau 2,4 juta pekka atau mencakup 31 persen penerima manfaat. Bahkan, pada 2021, pemanfaat dari kalangan pekka meningkat menjadi 38 persen.
Saat ini ada 114.802 perempuan yang turut serta dalam padat karya tunai desa (PKTD). Sebanyak 54.314 orang di antaranya adalah pekka. Dalam setiap kegiatan PKTD, mereka bekerja 10 hari dengan upah Rp 1 juta. Dalam setahun pekka berkesempatan turut serta pada lebih dari satu kegiatan PKTD.
SDGs desa mewajibkan kasus kekerasan perempuan ditekan hingga nihil. Antara lain dengan menekan perkawinan dini dan 0 persen melahirkan anak di bawah usia 18 tahun. Di pedesaan, tinggal 0,94 persen perempuan yang terperangkap pernikahan dini.
Regulasi desa juga wajib menjamin perempuan mendapatkan pelayanan, informasi, dan pendidikan terkait keluarga berencana dan kesehatan reproduksi. Pada semester pertama 2021 tercatat 2,08 juta perempuan hamil di desa. Namun, kebijakan konvergensi ibu hamil baru mencapai 47,39 persen. Ini mengabarkan rendahnya layanan pemeriksaan kehamilan, konseling gizi, serta meminum vitamin yang diperlukan selama kehamilan hingga pasca kelahiran.
Kebangkitan dari Desa
Lingkup permasalahan perempuan pedesaan itu membuka solusi mendasar yang harus dilakukan. Kebangkitan perempuan desa mesti dimulai dari peningkatan wewenang perempuan, terutama dalam konstruksi kebijakan publik. Apalagi, kapasitas perempuan ditunjang kualitas pendidikan yang lebih tinggi daripada laki-laki.
Penguatan posisi perempuan ditunjukkan oleh peningkatan proporsi dalam pemerintahan desa maupun badan permusyawaratan desa. Pada 2021 terdapat 3.976 kepala desa perempuan atau 5 persen dari 74.961 desa. Adapun sekretaris desa perempuan mencapai 9.081 orang atau 12 persen. Perwakilan perempuan dalam badan permusyawaratan desa mencapai 75.164 orang atau 20 persen dari seluruh legislator desa.
Dalam ranah domestik, kemampuan perempuan membuat keputusan ekonomis yang penting menyangga peningkatan pendapatan secara kontinu. Sepanjang 2020, di desa-desa muncul kesempatan baru bagi perempuan melalui kerja di badan usaha milik desa (BUMDes) seperti membatik di Wonogiri, berdagang di pasar-pasar Karanganyar, hingga menjahit beragam jenis pakaian di Buleleng. Ternyata, inilah sumber penurunan pekka miskin di pedesaan.
Inovasi desa itu mendasari terbitnya Permendesa PDTT Nomor 21 Tahun 2020 yang memilah PKTD infrastruktur produktif dengan ekonomi produktif. Ini sejalan dengan Permendesa PDTT Nomor 13 Tahun 2020 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2021. Dana desa halal dimanfaatkan untuk permodalan usaha perempuan desa, baik berupa peternakan, pertanian, perikanan, perkebunan, maupun jasa pertanian. Caranya, pemerintah desa menambah modal bagi BUMDes. Kemudian, BUMDes memutarnya sebagai modal kerja bagi perempuan desa. BUMDes tetap mengelola perguliran modal itu kepada perempuan lainnya agar perempuan-perempuan desa bangkit dan berdaya. (*)
A. HALIM ISKANDAR, Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi; Ketua DPW PKB Jawa Timur