28.3 C
Jakarta
Monday, December 9, 2024

Menyegarkan Makna Berkurban

JIKA kedatangan Islam ditandai sejak abad ke-7, bangsa Indonesia telah menjalani agama tersebut selama 13 abad lebih. Sebuah masa yang sangat panjang untuk memastikan penanaman nilai-nilai dari pelbagai aspek. Seperti ibadah, muamalah (hubungan sosial ekonomi), dan siyasah (politik). Jelas, perjalanan sejarah bangsa yang bersinggungan dengan banyak sistem pemerintahan dan cara hidup, dari Hindu, Islam, hingga Kristen, turut mewarnai sikap keagamaan warga secara kultural dan kaitan praktik religius dengan negara secara struktural.

Kenyataannya, secara muamalah umat belum kukuh. Hubungan sosial masih renggang dan ekonomi belum matang. Keadaan ini tentu menyebabkan agama tidak lebih sebagai bangunan suprastruktur dan kehendak kebendaan sebagai infrastruktur dalam tradisi Marxian. Kehidupan keagamaan disuburkan karena keinginan pemenuhan materi. Panggung religius adalah cara untuk mendapatkan dukungan politik dan cara mengaut keuntungan. Sekilas, nilai ibadah kadang diganjar dengan keutamaan (fadilah), pahala berlimpah, dan surga.

Demikian pula dengan ibadah berkurban pada Hari Raya Haji dan tiga hari tasyrik. Perintah Tuhan terhadap orang yang berpunya untuk menyembelih hewan peliharaan sebagai wujud kepedulian akan berbuah pahala. Namun, mengingat firman Tuhan menyatakan bahwa bukan darah dan daging melainkan ketakwaan yang sampai pada Allah (lihat surah Al Hajj: 37), tentu menjadi pesan tersirat bahwa keutamaan ini bersifat etis, yaitu berbagi dengan sesama. Secara semantik, kata kunci takwa menjadi penting karena ia terkait dengan medan semantik dan hubung kait dengan kata-kata lain seperti amal, iman, dan kebahagiaan (saadah).

Lebih jauh, hewan ternakan sejatinya terkait dengan akses manusia pada makanan utama. Dengan perintah ini, kita bisa membayangkan moral dari keutamaan (virtue) ini. Meskipun sumber protein tak hanya terbatas pada sapi atau kambing, dua binatang ini sejatinya berfungsi tidak hanya untuk konsumsi, tetapi hasil sampingan. Seperti kotoran bisa dimanfaatkan untuk pupuk kandang yang jauh lebih ramah dengan kelestarian lingkungan. Bukan hanya itu, pemeliharaan dua binatang ini juga bisa menjadi kerja tambahan bagi petani di sela-sela menunggu hasil panen. Pendek kata, efek berganda akan bekerja.

Baca Juga :  Bersihkan Sudut Kota Palangka Raya

 

Pengulangan

 

Namun, pada waktu yang sama, Hari Raya Idul Adha hanya mengulang ritual tahunan. Dari petinggi hingga khalayak, kita akan melihat mereka mengurbankan sapi atau kambing untuk memenuhi seruan perintah Tuhan. Pemandangan serupa di negeri ini akan mudah ditemukan. Kini kehadiran media sosial makin merancakkan kegiatan ini melalui unggahan, baik oleh warga awam maupun mereka yang berkurban. Tentu, kegiatan filantropis ini layak didukung karena amal tersebut bermanfaat bagi orang yang memerlukan.

Tetapi, pertanyaannya, adakah ia betul-betul membantu orang-orang yang membutuhkan? Kalau sekadar pemenuhan asupan daging, sememangnya warga Indonesia masih mengonsumsi daging lebih rendah dibandingkan dengan rekannya di negara-negara Asia Tenggara seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei. Artinya, protein yang didapatkan dari daging tidak terpenuhi meskipun sebenarnya bisa didapatkan dari sumber lain yang lebih terjangkau.

Kini perdebatan perlu digeser pada sesuatu yang jauh lebih mendesak, yaitu analisis terhadap kebutuhan manusia. Teori tentang kebutuhan itu bisa dirujuk pada Abraham Maslow, yang populer, dan Herbert Marcuse, yang filosofis. Keduanya akan melihat kaitan keperluan manusia dan makna lain dari pengorbanan orang yang berpunya. Tanpa memeriksa kembali ritual ini, kita akan melakukan ibadah ini secara rutin tanpa evaluasi kritis.

 

Demografi

 

Sejauh ini, analisis terhadap peta demografi pemberi dan penerima belum dilakukan dengan cermat dan rapi. Hanya dalam hitungan kasar bahwa warga yang mampu berkurban berjumlah kira-kira 6 juta orang. Andai 10 persen dari angka tersebut menunaikan ritual ini, ada 60 ribu orang yang mampu membeli sapi untuk berbagi. Tetapi, pengorbanan ini hanya berlangsung selama 4 hari. Seusai itu, kehidupan keagamaan berjalan seperti biasa.

Padahal, jika ditelisik dengan teliti, tujuan berkurban itu bukan penyebaran daging, tetapi berbagi. Artinya, perhatian pada orang fakir dan miskin tidak berhenti pada kegiatan sembelihan, tetapi kepedulian yang utuh. Apabila aktivitas ekonomi yang mengiringi produksi sapi hingga berakhir di rumah jagal masih berkutat pada soal bagaimana orang yang jarang mengonsumsi daging bisa merasai gulai dan sate, betapa warga kita masih terbelakang. Alih-alih mereka memikirkan soal merawat kasih sayang dan aktualisasi diri, ternyata kebutuhan yang paling dasar belum terpenuhi.

Baca Juga :  Percepatan Pemulihan Ekonomi Kalimantan Tengah

 

Dengan demikian, semua pihak kini memikirkan kembali bahwa sejatinya kebutuhan manusia yang asli (true need) itu adalah sandang, pangan, dan papan. Sekarang generasi akan dihadapkan dengan kesulitan untuk memiliki rumah pada masa depan karena harga kediaman melambung. Harga ini dikerek karena kepemilikan tempat tinggal bukan lagi semata-mata untuk tempat berteduh, tetapi juga berinvestasi. Selagi manusia tidak memenuhi keperluan dasar ini, kebutuhan lain tak bisa dipenuhi dengan baik.

Pendek kata, pengorbanan orang-orang berpunya pada hari mulia itu tidak bertumpu pada kedermawanan sesaat, tetapi melihat kondisi kemanusiaan secara lebih luas. Binatang ternak (bahimah al an’am) adalah makanan utama dan penggerak ekonomi pada masanya. Bayangkan setelah Islam datang sejak berabad-abad yang lalu, kita masih belum menyelesaikan urusan ini. Apalagi beranjak pada kebutuhan lain di era baru, yang telah menjadi kewajiban untuk dipenuhi. Misalnya, iuran sekolah, biaya kesehatan, dan penyediaan fasilitas publik untuk mewujudkan kesejahteraan umat secara lebih menyeluruh.

Lebih-lebih, di era pandemi, pembatasan mobilitas masyarakat menyebabkan mata pencarian khalayak terganggu dan pelayanan publik yang terkendala menghambat akses ekonomi. Momen Idul Adha sejatinya merupakan titik pijak agama untuk menyodorkan pesan yang otentik, yaitu menyelamatkan kehidupan manusia. Atas dasar pemahaman kontekstual, pengorbanan yang menjadikan hewan ternak sebagai wujud kepedulian menuntut mereka yang mampu untuk berbagi kekayaannya untuk mendukung pemenuhan kebutuhan dasar warga yang terdampak. (*)

 

Ahmad Sahidah, Dosen Program Pascasarjana Universitas Nurul Jadid, Paiton, Jawa Timur

JIKA kedatangan Islam ditandai sejak abad ke-7, bangsa Indonesia telah menjalani agama tersebut selama 13 abad lebih. Sebuah masa yang sangat panjang untuk memastikan penanaman nilai-nilai dari pelbagai aspek. Seperti ibadah, muamalah (hubungan sosial ekonomi), dan siyasah (politik). Jelas, perjalanan sejarah bangsa yang bersinggungan dengan banyak sistem pemerintahan dan cara hidup, dari Hindu, Islam, hingga Kristen, turut mewarnai sikap keagamaan warga secara kultural dan kaitan praktik religius dengan negara secara struktural.

Kenyataannya, secara muamalah umat belum kukuh. Hubungan sosial masih renggang dan ekonomi belum matang. Keadaan ini tentu menyebabkan agama tidak lebih sebagai bangunan suprastruktur dan kehendak kebendaan sebagai infrastruktur dalam tradisi Marxian. Kehidupan keagamaan disuburkan karena keinginan pemenuhan materi. Panggung religius adalah cara untuk mendapatkan dukungan politik dan cara mengaut keuntungan. Sekilas, nilai ibadah kadang diganjar dengan keutamaan (fadilah), pahala berlimpah, dan surga.

Demikian pula dengan ibadah berkurban pada Hari Raya Haji dan tiga hari tasyrik. Perintah Tuhan terhadap orang yang berpunya untuk menyembelih hewan peliharaan sebagai wujud kepedulian akan berbuah pahala. Namun, mengingat firman Tuhan menyatakan bahwa bukan darah dan daging melainkan ketakwaan yang sampai pada Allah (lihat surah Al Hajj: 37), tentu menjadi pesan tersirat bahwa keutamaan ini bersifat etis, yaitu berbagi dengan sesama. Secara semantik, kata kunci takwa menjadi penting karena ia terkait dengan medan semantik dan hubung kait dengan kata-kata lain seperti amal, iman, dan kebahagiaan (saadah).

Lebih jauh, hewan ternakan sejatinya terkait dengan akses manusia pada makanan utama. Dengan perintah ini, kita bisa membayangkan moral dari keutamaan (virtue) ini. Meskipun sumber protein tak hanya terbatas pada sapi atau kambing, dua binatang ini sejatinya berfungsi tidak hanya untuk konsumsi, tetapi hasil sampingan. Seperti kotoran bisa dimanfaatkan untuk pupuk kandang yang jauh lebih ramah dengan kelestarian lingkungan. Bukan hanya itu, pemeliharaan dua binatang ini juga bisa menjadi kerja tambahan bagi petani di sela-sela menunggu hasil panen. Pendek kata, efek berganda akan bekerja.

Baca Juga :  Bersihkan Sudut Kota Palangka Raya

 

Pengulangan

 

Namun, pada waktu yang sama, Hari Raya Idul Adha hanya mengulang ritual tahunan. Dari petinggi hingga khalayak, kita akan melihat mereka mengurbankan sapi atau kambing untuk memenuhi seruan perintah Tuhan. Pemandangan serupa di negeri ini akan mudah ditemukan. Kini kehadiran media sosial makin merancakkan kegiatan ini melalui unggahan, baik oleh warga awam maupun mereka yang berkurban. Tentu, kegiatan filantropis ini layak didukung karena amal tersebut bermanfaat bagi orang yang memerlukan.

Tetapi, pertanyaannya, adakah ia betul-betul membantu orang-orang yang membutuhkan? Kalau sekadar pemenuhan asupan daging, sememangnya warga Indonesia masih mengonsumsi daging lebih rendah dibandingkan dengan rekannya di negara-negara Asia Tenggara seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei. Artinya, protein yang didapatkan dari daging tidak terpenuhi meskipun sebenarnya bisa didapatkan dari sumber lain yang lebih terjangkau.

Kini perdebatan perlu digeser pada sesuatu yang jauh lebih mendesak, yaitu analisis terhadap kebutuhan manusia. Teori tentang kebutuhan itu bisa dirujuk pada Abraham Maslow, yang populer, dan Herbert Marcuse, yang filosofis. Keduanya akan melihat kaitan keperluan manusia dan makna lain dari pengorbanan orang yang berpunya. Tanpa memeriksa kembali ritual ini, kita akan melakukan ibadah ini secara rutin tanpa evaluasi kritis.

 

Demografi

 

Sejauh ini, analisis terhadap peta demografi pemberi dan penerima belum dilakukan dengan cermat dan rapi. Hanya dalam hitungan kasar bahwa warga yang mampu berkurban berjumlah kira-kira 6 juta orang. Andai 10 persen dari angka tersebut menunaikan ritual ini, ada 60 ribu orang yang mampu membeli sapi untuk berbagi. Tetapi, pengorbanan ini hanya berlangsung selama 4 hari. Seusai itu, kehidupan keagamaan berjalan seperti biasa.

Padahal, jika ditelisik dengan teliti, tujuan berkurban itu bukan penyebaran daging, tetapi berbagi. Artinya, perhatian pada orang fakir dan miskin tidak berhenti pada kegiatan sembelihan, tetapi kepedulian yang utuh. Apabila aktivitas ekonomi yang mengiringi produksi sapi hingga berakhir di rumah jagal masih berkutat pada soal bagaimana orang yang jarang mengonsumsi daging bisa merasai gulai dan sate, betapa warga kita masih terbelakang. Alih-alih mereka memikirkan soal merawat kasih sayang dan aktualisasi diri, ternyata kebutuhan yang paling dasar belum terpenuhi.

Baca Juga :  Percepatan Pemulihan Ekonomi Kalimantan Tengah

 

Dengan demikian, semua pihak kini memikirkan kembali bahwa sejatinya kebutuhan manusia yang asli (true need) itu adalah sandang, pangan, dan papan. Sekarang generasi akan dihadapkan dengan kesulitan untuk memiliki rumah pada masa depan karena harga kediaman melambung. Harga ini dikerek karena kepemilikan tempat tinggal bukan lagi semata-mata untuk tempat berteduh, tetapi juga berinvestasi. Selagi manusia tidak memenuhi keperluan dasar ini, kebutuhan lain tak bisa dipenuhi dengan baik.

Pendek kata, pengorbanan orang-orang berpunya pada hari mulia itu tidak bertumpu pada kedermawanan sesaat, tetapi melihat kondisi kemanusiaan secara lebih luas. Binatang ternak (bahimah al an’am) adalah makanan utama dan penggerak ekonomi pada masanya. Bayangkan setelah Islam datang sejak berabad-abad yang lalu, kita masih belum menyelesaikan urusan ini. Apalagi beranjak pada kebutuhan lain di era baru, yang telah menjadi kewajiban untuk dipenuhi. Misalnya, iuran sekolah, biaya kesehatan, dan penyediaan fasilitas publik untuk mewujudkan kesejahteraan umat secara lebih menyeluruh.

Lebih-lebih, di era pandemi, pembatasan mobilitas masyarakat menyebabkan mata pencarian khalayak terganggu dan pelayanan publik yang terkendala menghambat akses ekonomi. Momen Idul Adha sejatinya merupakan titik pijak agama untuk menyodorkan pesan yang otentik, yaitu menyelamatkan kehidupan manusia. Atas dasar pemahaman kontekstual, pengorbanan yang menjadikan hewan ternak sebagai wujud kepedulian menuntut mereka yang mampu untuk berbagi kekayaannya untuk mendukung pemenuhan kebutuhan dasar warga yang terdampak. (*)

 

Ahmad Sahidah, Dosen Program Pascasarjana Universitas Nurul Jadid, Paiton, Jawa Timur

Terpopuler

Artikel Terbaru