28.2 C
Jakarta
Friday, December 6, 2024

Menyigi Kisah Sedih Peternak Sapi Perah

Insiden peternak sapi perah di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, dan Pasuruan, Jawa Timur, yang terpaksa membuang ribuan liter susu segar hasil produksi sungguh menyayat hati. Mereka menjerit akibat dugaan pembatasan penyerapan susu oleh industri pengolahan susu (IPS).

Selama belasan tahun penulis bekerja di industri susu, masih saja dijumpai perdebatan terkait dengan kesejahteraan peternak sapi perah yang rupanya belum benar-benar tuntas. Nuansa sudut pandang tentang hal itu tentu terjadi antara peternak sapi dan IPS.

Kuota dan Kualitas

Dua istilah tersebut terkadang tidak jelas, mana yang muncul lebih dahulu dan mana yang timbul belakangan. Bagi IPS, tentu persoalan standar kualitas amat sensitif dan harus menjadi prioritas.

Sebab, hal itu menyangkut keamanan pangan untuk konsumen. Jika diloloskan atau ditoleransi, akan sangat merugikan. Baik bagi keberlanjutan usaha IPS sendiri maupun bagi keselamatan konsumen.

Untuk menyamakan ”frekuensi” tentang standar kualitas, sebenarnya IPS telah melakukan banyak pembinaan teknis yang mumpuni serta pemberian subsidi dan fasilitas kepada peternak. Tujuannya, susu yang diproduksi selalu bisa memenuhi persyaratan kualitas yang telah ditentukan dan disepakati bersama untuk diserap.

Beberapa IPS terkemuka memiliki komitmen kuat untuk terus menyerap seluruh susu hasil produksi peternak yang telah menjalin kerja sama kemitraan. Pada titik ini, istilah kuota tidak lagi relevan.

Sebab, susu yang telah rusak maupun susu yang tidak memenuhi standar kualitas akibat pemalsuan (adulteration), kandungan antibiotik, atau upaya-upaya mencampurkan bahan-bahan seperti hidrogen peroksida, tepung, dan sejenisnya akan dengan sendirinya tertolak oleh IPS. Itu semua tidak terkait sama sekali dengan istilah kuota.

Baca Juga :  Pangan Lokal, Impor Beras, dan Gizi Masyarakat

Pembatasan kuota penyerapan susu peternak oleh IPS bisa terjadi akibat tidak adanya kemitraan. Ditengarai, terdapat pula standar kualitas susu peternak lokal yang memang tidak memenuhi persyaratan industri

Harga susu impor tidak terkait dengan kuota atau pembatasan penyerapan susu peternak oleh IPS jika ada kemitraan yang kuat. Susu, dalam bentuk padatan, telah menjadi komoditas global yang diproduksi, diperdagangkan, serta dikonsumsi di seluruh dunia.

Harga susu, sebagaimana komoditas lainnya, sangat dipengaruhi oleh fluktuasi supply and demand. Karena itu, harga susu impor tidak selalu lebih murah daripada susu lokal. Bahkan bisa sebaliknya.

Kebijakan pemerintah untuk segera mengeluarkan peraturan presiden (perpres) tentang pembinaan persusuan nasional, sebagaimana dijelaskan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman beberapa hari lalu, disusun dengan mewajibkan IPS menyerap susu peternak lokal. Kebijakan itu diharapkan bisa menjadi angin segar bagi perkembangan industri susu nasional secara keseluruhan.

Sebagaimana diketahui, peningkatan secara signifikan nilai rasio ketergantungan impor alias import dependency ratio (IDR) terjadi sejak krisis moneter 1998, yakni ketika Inpres No 2/1985 tentang Pembinaan Persusuan Nasional dicabut untuk memenuhi letter of intent antara Pemerintah RI dan Dana Moneter Internasional (IMF).

Nilai Bersama

Sejatinya, terdapat hal menarik. Beberapa IPS sudah mengadopsi konsep creating shared value (CSV) atau menciptakan nilai bersama demi tercapainya keuntungan yang bisa dinikmati bukan hanya oleh internal IPS, melainkan juga oleh masyarakat dan lingkungan, termasuk para peternak sapi.

Baca Juga :  Sistem dan Upaya Memperkuat Ketahanan Pangan

CSV merupakan konsep bisnis yang mengintegrasikan masalah sosial dalam strategi perusahaan, mengembangkan ide dari tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Diperkenalkan oleh Michael Porter dan Mark Kramer pada 2006, CSV bertujuan meningkatkan nilai kompetitif perusahaan sembari memajukan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.

Keuntungan yang menciptakan nilai bersama (shared value) bisa mendukung kemajuan dan kesejahteraan masyarakat sekaligus pertumbuhan perusahaan.

Contohnya, sebuah perusahaan pengolah susu asal Swiss sudah mewujudkan nilai ekonomi (economic value) dan nilai social (social value) secara bersama-sama. Mereka tidak memiliki dan mengelola sendiri peternakan sapi berskala besar untuk menghasilkan susu segar sebagai bahan baku untuk pabrik-pabriknya di Indonesia.

Mereka lebih memilih bermitra dengan ribuan petani-peternak sapi perah yang diwadahi beberapa koperasi. Mereka berkomitmen menyerap seluruh susu produksi peternak sapi dengan standar kualitas yang telah dipahami serta disepakati.

IPS tersebut terus melakukan pembinaan dan pelatihan teknis secara intensif. Juga, mentransfer teknologi kelas dunia seperti manajemen pakan, kesehatan hewan, serta teknik pemerahan yang baik. Kemudian, memberikan bantuan subsidi sarana-prasarana.

Di antaranya, membangun pos penampungan susu (cooling unit), subsidi mobil tangki, subsidi peralatan peternakan seperti chopper dab milkcan, serta berbagai pelatihan dan penyuluhan untuk koperasi dan peternak.

Semua itu dilakukan untuk membangun rantai suplai yang kompetitif sekaligus meningkatkan kesejahteraan sosial melalui peningkatan kesehatan masyarakat, pendidikan, dan ekonomi, termasuk peternak sapi perah. (*)

*) SUNARDI SISWODIHARJO, Food engineer; alumnus program Doktor Manajemen Agribisnis Universitas Gadjah Mada

Insiden peternak sapi perah di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, dan Pasuruan, Jawa Timur, yang terpaksa membuang ribuan liter susu segar hasil produksi sungguh menyayat hati. Mereka menjerit akibat dugaan pembatasan penyerapan susu oleh industri pengolahan susu (IPS).

Selama belasan tahun penulis bekerja di industri susu, masih saja dijumpai perdebatan terkait dengan kesejahteraan peternak sapi perah yang rupanya belum benar-benar tuntas. Nuansa sudut pandang tentang hal itu tentu terjadi antara peternak sapi dan IPS.

Kuota dan Kualitas

Dua istilah tersebut terkadang tidak jelas, mana yang muncul lebih dahulu dan mana yang timbul belakangan. Bagi IPS, tentu persoalan standar kualitas amat sensitif dan harus menjadi prioritas.

Sebab, hal itu menyangkut keamanan pangan untuk konsumen. Jika diloloskan atau ditoleransi, akan sangat merugikan. Baik bagi keberlanjutan usaha IPS sendiri maupun bagi keselamatan konsumen.

Untuk menyamakan ”frekuensi” tentang standar kualitas, sebenarnya IPS telah melakukan banyak pembinaan teknis yang mumpuni serta pemberian subsidi dan fasilitas kepada peternak. Tujuannya, susu yang diproduksi selalu bisa memenuhi persyaratan kualitas yang telah ditentukan dan disepakati bersama untuk diserap.

Beberapa IPS terkemuka memiliki komitmen kuat untuk terus menyerap seluruh susu hasil produksi peternak yang telah menjalin kerja sama kemitraan. Pada titik ini, istilah kuota tidak lagi relevan.

Sebab, susu yang telah rusak maupun susu yang tidak memenuhi standar kualitas akibat pemalsuan (adulteration), kandungan antibiotik, atau upaya-upaya mencampurkan bahan-bahan seperti hidrogen peroksida, tepung, dan sejenisnya akan dengan sendirinya tertolak oleh IPS. Itu semua tidak terkait sama sekali dengan istilah kuota.

Baca Juga :  Pangan Lokal, Impor Beras, dan Gizi Masyarakat

Pembatasan kuota penyerapan susu peternak oleh IPS bisa terjadi akibat tidak adanya kemitraan. Ditengarai, terdapat pula standar kualitas susu peternak lokal yang memang tidak memenuhi persyaratan industri

Harga susu impor tidak terkait dengan kuota atau pembatasan penyerapan susu peternak oleh IPS jika ada kemitraan yang kuat. Susu, dalam bentuk padatan, telah menjadi komoditas global yang diproduksi, diperdagangkan, serta dikonsumsi di seluruh dunia.

Harga susu, sebagaimana komoditas lainnya, sangat dipengaruhi oleh fluktuasi supply and demand. Karena itu, harga susu impor tidak selalu lebih murah daripada susu lokal. Bahkan bisa sebaliknya.

Kebijakan pemerintah untuk segera mengeluarkan peraturan presiden (perpres) tentang pembinaan persusuan nasional, sebagaimana dijelaskan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman beberapa hari lalu, disusun dengan mewajibkan IPS menyerap susu peternak lokal. Kebijakan itu diharapkan bisa menjadi angin segar bagi perkembangan industri susu nasional secara keseluruhan.

Sebagaimana diketahui, peningkatan secara signifikan nilai rasio ketergantungan impor alias import dependency ratio (IDR) terjadi sejak krisis moneter 1998, yakni ketika Inpres No 2/1985 tentang Pembinaan Persusuan Nasional dicabut untuk memenuhi letter of intent antara Pemerintah RI dan Dana Moneter Internasional (IMF).

Nilai Bersama

Sejatinya, terdapat hal menarik. Beberapa IPS sudah mengadopsi konsep creating shared value (CSV) atau menciptakan nilai bersama demi tercapainya keuntungan yang bisa dinikmati bukan hanya oleh internal IPS, melainkan juga oleh masyarakat dan lingkungan, termasuk para peternak sapi.

Baca Juga :  Sistem dan Upaya Memperkuat Ketahanan Pangan

CSV merupakan konsep bisnis yang mengintegrasikan masalah sosial dalam strategi perusahaan, mengembangkan ide dari tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Diperkenalkan oleh Michael Porter dan Mark Kramer pada 2006, CSV bertujuan meningkatkan nilai kompetitif perusahaan sembari memajukan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.

Keuntungan yang menciptakan nilai bersama (shared value) bisa mendukung kemajuan dan kesejahteraan masyarakat sekaligus pertumbuhan perusahaan.

Contohnya, sebuah perusahaan pengolah susu asal Swiss sudah mewujudkan nilai ekonomi (economic value) dan nilai social (social value) secara bersama-sama. Mereka tidak memiliki dan mengelola sendiri peternakan sapi berskala besar untuk menghasilkan susu segar sebagai bahan baku untuk pabrik-pabriknya di Indonesia.

Mereka lebih memilih bermitra dengan ribuan petani-peternak sapi perah yang diwadahi beberapa koperasi. Mereka berkomitmen menyerap seluruh susu produksi peternak sapi dengan standar kualitas yang telah dipahami serta disepakati.

IPS tersebut terus melakukan pembinaan dan pelatihan teknis secara intensif. Juga, mentransfer teknologi kelas dunia seperti manajemen pakan, kesehatan hewan, serta teknik pemerahan yang baik. Kemudian, memberikan bantuan subsidi sarana-prasarana.

Di antaranya, membangun pos penampungan susu (cooling unit), subsidi mobil tangki, subsidi peralatan peternakan seperti chopper dab milkcan, serta berbagai pelatihan dan penyuluhan untuk koperasi dan peternak.

Semua itu dilakukan untuk membangun rantai suplai yang kompetitif sekaligus meningkatkan kesejahteraan sosial melalui peningkatan kesehatan masyarakat, pendidikan, dan ekonomi, termasuk peternak sapi perah. (*)

*) SUNARDI SISWODIHARJO, Food engineer; alumnus program Doktor Manajemen Agribisnis Universitas Gadjah Mada

Terpopuler

Artikel Terbaru