Oleh: Dr. Miar, S.E., M.Si.
KALIMANTAN Tengah merupakan salah satu provinsi yang kaya sumber daya alam, mulai dari sektor perkebunan kelapa sawit, pertambangan batubara dan mineral, hingga potensi besar di sektor pariwisata berbasis ekowisata. Namun, ironisnya, kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih belum mencerminkan kekayaan tersebut.
Provinsi ini masih bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat. Data Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah (BPS, 2023) menunjukkan bahwa PAD Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2022 sebesar Rp 2,78 triliun, dengan kontribusi terbesar berasal dari pajak daerah. Bila dibandingkan dengan total APBD sebesar Rp 6,54 triliun, porsi PAD hanya sekitar 42,5 persen. Padahal, potensi penerimaan daerah jauh lebih besar jika optimalisasi pengelolaan sektor unggulan dilakukan secara serius dan sistematis.
Padahal, data BPS Kalimantan Tengah (2025) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Kalteng pada Triwulan I-2025 mencapai 4,04% (yoy), lebih tinggi dari rata-rata nasional. Di sisi lain, realisasi investasi penanaman modal mencapai Rp25,93 triliun dalam periode yang sama. Artinya, geliat perekonomian daerah meningkat, tetapi belum sepenuhnya berdampak pada optimalisasi PAD. Di sinilah letak tantangan dan peluangnya.
Salah satu persoalan klasik dalam pengelolaan PAD adalah keterbatasan kapasitas administrasi fiskal di daerah. Banyak potensi penerimaan dari sektor perkebunan dan pertambangan belum tergarap maksimal. Kemungkinan hal ini terjadi disebabkan adanya praktik transfer pricing oleh perusahaan besar, serta belum terintegrasinya basis data produksi dengan sistem pajak daerah.
Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah perlu mencontoh reformasi digital yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui Program Coretax Administration System (CTAS) atau biasa disebut Coretax adalah sistem administrasi perpajakan berbasis teknologi informasi yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan RI. DJP berhasil meningkatkan kepatuhan pajak dan efisiensi administrasi dengan mengintegrasikan pelaporan, basis data wajib pajak, hingga sistem penagihan digital. Sistem seperti ini dapat diterapkan di level daerah, misalnya melalui penerapan e-PBBKB (Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor), e-retribusi, dan e-pajak daerah lainnya.
Digitalisasi tidak hanya meningkatkan transparansi, tetapi juga memperluas basis wajib pajak. Sebagai pembanding nasional, Laporan Kinerja Ditjen Perimbangan Keuangan (PDRD) 2023 mencatat bahwa realisasi PAD nasional mencapai Rp149 triliun, dengan rata-rata kontribusi PAD terhadap APBD provinsi di Indonesia sebesar 30-35 persen. Dengan kontribusi PAD Kalteng sudah di atas rata-rata nasional (42,5%), artinya provinsi ini punya basis yang kuat untuk melompat lebih tinggi. Yang perlu dilakukan adalah perbaikan tata kelola, optimalisasi potensi unggulan, dan inovasi fiskal.
Dari sisi regulasi, Pemerintah Daerah didukung oleh UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD). Regulasi ini mengatur konsolidasi pajak daerah, optimalisasi retribusi, serta harmonisasi kebijakan fiskal pusat dan daerah. Ditambah dengan Permendagri Nomor 15 Tahun 2024 yang mewajibkan transparansi pendataan aset dan penerimaan daerah, instrumen hukumnya sudah lengkap—tinggal komitmen politik dan kapasitas kelembagaan yang harus diperkuat.
Melalui penguatan tata kelola fiskal, optimalisasi potensi PAD dari sektor perkebunan, pertambangan, hingga pariwisata, serta penerapan digitalisasi administrasi pajak, Kalimantan Tengah memiliki peluang besar untuk mendorong kemandirian fiskal yang berkelanjutan. Jangan sampai Kalimantan Tengah hanya menjadi “lumbung sumber daya” bagi pihak luar, tanpa manfaat optimal bagi masyarakat lokal.
Kini saatnya Kalimantan Tengah menegaskan posisinya sebagai provinsi yang mandiri secara fiskal, berdaulat atas sumber dayanya, dan menjadi motor pertumbuhan pembangunan ekonomi regional.
*) Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Palangka Raya