25.1 C
Jakarta
Monday, April 14, 2025

Lebih Siap Mengantisipasi Krisis

DUA krisis yang datang dari eksternal menjadi kewaspadaan di dalam negeri. Yaitu, krisis keuangan akibat gagal bayar utang di Amerika Serikat (AS) dan risiko stabilitas keuangan yang disebabkan runtuhnya raksasa properti dari Tiongkok, Evergrande.Untuk Evergrande, pemerintah Tiongkok sudah melakukan crack down di beberapa sektor.

Termasuk properti. Menurut saya, bagi Indonesia akan kecil dampaknya. Beda ceritanya dengan krisis finansial global yang terjadi 2008 lalu yang dipicu persoalan Lehman Brothers. Saat itu, yang terjadi adalah kegagalan sistem finansial secara sistemik. Kali ini lebih terlokalisasi di Evergrande yang memang over leverage posisi keuangannya.

Pemerintah Tiongkok pun melihat sistem finansial di sana masih cukup solid. Itu terbukti dengan tindakan mereka yang hanya melakukan intervensi di pasar uang untuk menenangkan pasar.

Memang, leverage-nya tinggi. Ada utang USD 303 miliar dengan USD 20 miliar bentuknya obligasi yang banyak dimiliki asing. Jadi, pemerintah Tiongkok hanya intervensi di pasar uang antarbank. Itu untuk mencegah kekhawatiran pasar.Hasil intervensi itu terlihat cukup menenangkan pasar. Dengan demikian, dampaknya terhadap Indonesia pun cukup kecil.

Baca Juga :  BTS Meal dan Diplomasi Budaya Korea

Lagi pula, modal asing yang masuk ke Indonesia masih minim. Dibandingkan pada 2020 saat outflow terjadi cukup besar. Sejak awal tahun hingga September 2021 ini, modal asing yang masuk ke Indonesia baru sekitar USD 3 miliar sampai USD 4 miliar.

Ke depan, perlu ada strategi diversifikasi mitra perdagangan. Itu perlu didorong. Sebab, selama setahun terakhir terjadi peningkatan ekspor yang didorong oleh peningkatan ekspor ke Tiongkok. Kontribusinya hampir 66 persen.

Terlebih, sudah terlihat adanya tanda perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok. Harga komoditas di tahun depan pun diproyeksi tidak setinggi tahun ini. Sehingga, perlu diversifikasi dari tujuan negaranya dan dari sisi produknya.

Sedangkan untuk persoalan tapering off di AS, itu telah digadang-gadang sejak Juli lalu. Kondisi tersebut membuat market sudah bersiap.

Baca Juga :  Tata Ruang Dalam Masyarakat Adat Dayak

Kemungkinan gejolak tetap ada. Namun, tidak akan signifikan seperti saat AS melakukan tapering off pada 2013. Sebab, saat ini kondisi cadangan devisa RI lebih besar jika dibandingkan 2013 lalu. Saat itu, posisi cadangan devisa hanya USD 99 miliar. Sedangkan cadangan devisa RI saat ini USD 143 miliar.

Kemudian, kondisi current account deficit (CAD) saat ini juga lebih baik. Berkisar setengah persen PDB saja. Sedangkan pada 2013, CAD lebih dari 3,5 persen PDB.

Selain itu, kepemilikan asing yang saat itu keluar masuk selalu membuat rupiah bergejolak. Saat ini posisi asing di surat berharga negara kita hanya 22 persen. Dulu sebelum pandemi, masih 40 persen. Jadi, sebenarnya asing belum masuk lagi. Kalaupun keluar terbatas.

Dengan kondisi saat ini, saya pikir kuncinya ada pada kinerja investasi yang terus didorong. Juga upaya diversifikasi ekspor dan pulihnya mobilitas masyarakat yang turut menggenjot angka konsumsi. (*)

DUA krisis yang datang dari eksternal menjadi kewaspadaan di dalam negeri. Yaitu, krisis keuangan akibat gagal bayar utang di Amerika Serikat (AS) dan risiko stabilitas keuangan yang disebabkan runtuhnya raksasa properti dari Tiongkok, Evergrande.Untuk Evergrande, pemerintah Tiongkok sudah melakukan crack down di beberapa sektor.

Termasuk properti. Menurut saya, bagi Indonesia akan kecil dampaknya. Beda ceritanya dengan krisis finansial global yang terjadi 2008 lalu yang dipicu persoalan Lehman Brothers. Saat itu, yang terjadi adalah kegagalan sistem finansial secara sistemik. Kali ini lebih terlokalisasi di Evergrande yang memang over leverage posisi keuangannya.

Pemerintah Tiongkok pun melihat sistem finansial di sana masih cukup solid. Itu terbukti dengan tindakan mereka yang hanya melakukan intervensi di pasar uang untuk menenangkan pasar.

Memang, leverage-nya tinggi. Ada utang USD 303 miliar dengan USD 20 miliar bentuknya obligasi yang banyak dimiliki asing. Jadi, pemerintah Tiongkok hanya intervensi di pasar uang antarbank. Itu untuk mencegah kekhawatiran pasar.Hasil intervensi itu terlihat cukup menenangkan pasar. Dengan demikian, dampaknya terhadap Indonesia pun cukup kecil.

Baca Juga :  BTS Meal dan Diplomasi Budaya Korea

Lagi pula, modal asing yang masuk ke Indonesia masih minim. Dibandingkan pada 2020 saat outflow terjadi cukup besar. Sejak awal tahun hingga September 2021 ini, modal asing yang masuk ke Indonesia baru sekitar USD 3 miliar sampai USD 4 miliar.

Ke depan, perlu ada strategi diversifikasi mitra perdagangan. Itu perlu didorong. Sebab, selama setahun terakhir terjadi peningkatan ekspor yang didorong oleh peningkatan ekspor ke Tiongkok. Kontribusinya hampir 66 persen.

Terlebih, sudah terlihat adanya tanda perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok. Harga komoditas di tahun depan pun diproyeksi tidak setinggi tahun ini. Sehingga, perlu diversifikasi dari tujuan negaranya dan dari sisi produknya.

Sedangkan untuk persoalan tapering off di AS, itu telah digadang-gadang sejak Juli lalu. Kondisi tersebut membuat market sudah bersiap.

Baca Juga :  Tata Ruang Dalam Masyarakat Adat Dayak

Kemungkinan gejolak tetap ada. Namun, tidak akan signifikan seperti saat AS melakukan tapering off pada 2013. Sebab, saat ini kondisi cadangan devisa RI lebih besar jika dibandingkan 2013 lalu. Saat itu, posisi cadangan devisa hanya USD 99 miliar. Sedangkan cadangan devisa RI saat ini USD 143 miliar.

Kemudian, kondisi current account deficit (CAD) saat ini juga lebih baik. Berkisar setengah persen PDB saja. Sedangkan pada 2013, CAD lebih dari 3,5 persen PDB.

Selain itu, kepemilikan asing yang saat itu keluar masuk selalu membuat rupiah bergejolak. Saat ini posisi asing di surat berharga negara kita hanya 22 persen. Dulu sebelum pandemi, masih 40 persen. Jadi, sebenarnya asing belum masuk lagi. Kalaupun keluar terbatas.

Dengan kondisi saat ini, saya pikir kuncinya ada pada kinerja investasi yang terus didorong. Juga upaya diversifikasi ekspor dan pulihnya mobilitas masyarakat yang turut menggenjot angka konsumsi. (*)

Terpopuler

Artikel Terbaru