SALAH satu kasus terbaru tindak kekerasan seksual yang dialami anak-anak terjadi di lembaga pendidikan. Kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan pemilik sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) di Kota Batu kini tengah menjadi perbincangan masyarakat. Bermula dari laporan Komnas Perlindungan Anak (PA), kasus kekerasan seksual yang sudah lama tersembunyi akhirnya bisa dibongkar. Tindak pemerkosaan yang dilakukan guru atau pendidik tidak bisa ditoleransi dengan alasan apa pun.
Ditengarai, puluhan anak sekolah SPI tidak hanya menjadi korban kekerasan verbal, fisik, dan eksploitasi ekonomi. Anak-anak yang semestinya mendapatkan perlindungan dan kasih sayang justru menjadi korban tindak kekerasan seksual gurunya.
Sisi Korban dan Pelaku
Aparat saat ini sedang melakukan penyelidikan terhadap dugaan kasus kekerasan seksual yang terjadi di sekolah SPI. Kasus ini perlu diusut hingga tuntas agar masa depan anak-anak yang menjadi korban dapat diselamatkan. Sedangkan pelaku, jika terbukti bersalah, harus memperoleh hukuman yang benar-benar setimpal.
Ada dua permasalahan utama yang perlu mendapatkan perhatian sehubungan dengan kejadian kekerasan seksual yang menimpa anak di bawah umur. Pertama, bagi anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual, mereka perlu mendapat perhatian khusus karena dampak psikologis yang dialami sungguh berat. Kekerasan seksual adalah tindak kejahatan kemanusiaan yang paling mengerikan. Dampaknya acap kali menimbulkan luka traumatis yang mendalam.
Anak perempuan korban pemerkosaan biasanya mengalami trauma psikologis yang akut dan tak terperikan. Banyak kajian yang membuktikan bahwa anak perempuan korban pemerkosaan sesudahnya tidak dapat lagi melakukan hubungan seksual yang wajar karena menderita vaginismus, di mana otot dinding vagina selalu berkontraksi atau menguncup ketika melakukan hubungan intim. Tidak jarang anak korban pemerkosaan juga mengalami dispareunia, yaitu rasa nyeri atau sakit yang terjadi justru dalam aktivitas prokreasi seksual.
Menyelamatkan masa depan anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual tentu tidak hanya menjadi tanggung jawab keluarga. Mereka memerlukan rehabilitasi dan pendampingan yang berkelanjutan. Di sini peran pemerintah dan kelompok sekunder di masyarakat sangat penting.
Kedua, bagi pelaku tindak kekerasan seksual, sanksi yang dijatuhkan perlu berempati kepada nasib korban dan perasaan keluarganya. Para predator seksual yang memilih korban anak-anak perempuan di bawah umur harus mendapatkan tambahan sanksi karena posisinya yang memanfaatkan kelemahan korban.
Dibandingkan perempuan dewasa, data memperlihatkan bahwa anak perempuan lebih berpotensi menjadi korban tindak kekerasan seksual. Selain karena faktor kebejatan mental si pelaku, secara psikis dan fisik, anak-anak umumnya memang sangat rentan dan mudah menjadi korban tindak pemerkosaan.
Studi yang dilakukan Universitas Airlangga (1992) menemukan mayoritas tindak kekerasan seksual terjadi karena adanya ancaman dan paksaan (66,3 persen). Namun, sebagian pemerkosa biasanya mencoba menaklukkan korban dengan cara bujuk rayu (22,5 persen) atau dengan menggunakan obat bius (5,1 persen). Dengan bujuk rayu berupa janji akan diberi uang atau iming-iming permen saja, itu semua acap kali sudah cukup manjur untuk memikat hati si anak dan kemudian memperdaya mereka hingga dilakukan percabulan atau serangan seksual.
Selama ini, sebagian masyarakat masih beranggapan bahwa pemerkosaan adalah tindakan spontan karena nafsu berahi si pelaku yang tiba-tiba bangkit akibat faktor daya tarik korban. Masyarakat juga beranggapan bahwa pemerkosaan umumnya dilakukan karena khilaf.
Anggapan yang menuduh bahwa pemerkosaan terjadi karena godaan si korban adalah sebuah mitos yang menyesatkan. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa korban pemerkosaan tidak selalu perempuan cantik, bertubuh sintal, dan sebagainya. Korban pemerkosaan, seperti kita semua tahu, terkadang nenek-nenek yang sudah lanjut usia. Dan yang menggerikan, sering kali pula korban pemerkosaan ternyata adalah anak-anak balita yang belum tahu apa-apa.
Derita Rangkap Tiga
Bagaimana ujung dari kasus dugaan kekerasan seksual yang terjadi di sekolah SPI? Tentu waktu yang akan menguji. Ketika saksi sudah berani mengadu dan aparat melakukan penyelidikan yang teliti, niscaya pelaku akan bisa dijerat dengan pasal berlapis-lapis yang memberatkan. Bahkan, bukan tidak mungkin pelaku akan dijatuhi hukuman kebiri karena begitu banyaknya korban yang jatuh.
Apa pun dalihnya, tindakan keji seorang pelaku yang memperkosa puluhan anak jelas tidak bisa ditoleransi. Anak-anak yang menjadi korban pemerkosaan, yang mereka alami sesungguhnya bukan sekadar kesakitan secara fisik. Perasaan korban kekerasan seksual niscaya adalah campur aduk antara perasaan terhina, ketakutan, dan siksaan batin yang tak berkesudahan. Banyak kasus yang membuktikan bahwa korban pemerkosaan dalam kehidupannya akan cenderung mengalami penderitaan ”rangkap tiga”. Yaitu, saat kejadian, saat diperiksa penyidik, dan saat menjadi pemberitaan di media massa.
Alih-alih mendapatkan simpati, tidak jarang korban pemerkosaan justru mendapatkan stigma buruk. Tidak sekali dua kali korban kekerasan seksual justru dipojok-pojokkan dengan pertanyaan yang seolah menyalahkan korban. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan korban ketika mereka dituding ikut menikmati dan menjadi penstimulasi terjadinya kekerasan seksual? Pada titik ini, bisa dipahami bahwa sebagian korban enggan melaporkan penderitaan yang mereka alami dan memilih bungkam.
Banyak anak yang menjadi korban pemerkosaan, setelah kejadian akan menjadi mudah curiga, tidak mudah percaya kepada laki-laki, dan merasa teralienasi dari lingkungan sekitarnya, atau mengalami apa yang disebut rape trauma syndrome. Korban yang seperti ini tentu tidak akan sembuh kegalauan jiwanya hanya dengan mendengar pelaku sudah dihukum seberat-beratnya. Bagi korban, kebutuhan utama mereka adalah memastikan masa depannya tidak ikut hancur. (*)
*) Bagong Suyanto, Dekan FISIP Universitas Airlangga