BARU-BARU ini publik dihebohkan wacana pengharaman pinjaman daring atau pinjaman online oleh salah satu pengurus harian Majelis Ulama Indonesia (MUI). Musababnya, pinjaman online dianggap menyengsarakan umat: bunga tinggi dan mencekik dan tata cara penagihan kasar dan tidak berperikemanusiaan. Tak pelak, pinjaman online dinilai mengandung banyak mudarat ketimbang manfaat dan jelas tidak sesuai dengan prinsip syariah.
Bahkan, Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah Cholil Nafis membagi pinjaman daring dalam tiga kategori: haram, legal, dan syariah. Statusnya haram karena seperti rentenir, legal karena terdaftar dan diawasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan ada yang sesuai syariah. Untuk pinjaman daring yang ilegal, hukumnya haram dua kali karena tidak mengikuti agama dan pemerintah.
Sejauh ini kita belum mendapatkan laporan valid dari otoritas keuangan negara atas praktik culas pinjaman berbasis online. Apakah dilakukan oleh perusahaan yang terdaftar secara resmi di OJK atau tidak. Segala kemungkinan dapat terjadi mengingat semua orang atau institusi dapat dengan mudah mengklaim perusahaannya legal dan sesuai syariah hanya bermodal platform digital atau bukti fisik lainnya.Celakanya, sejauh ini regulator negara tidak mampu menjangkau serta memverifikasi secara langsung atas keberadaan perusahaan yang bergerak di bidang layanan keuangan berbasis teknologi informasi ini.
Bicara tentang pinjaman daring tidak cukup dengan label halal-haram, tetapi lebih pada keberpihakannya pada sektor riil dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Sektor riil dan pemberdayaan UMKM adalah medan jihad yang paling utama dari eksistensi lembaga keuangan yang dijalankan dengan prinsip syariah. Termasuk di dalamnya pinjaman daring berbasis syariah.
Saat ini bertebaran platform digital layanan pembiayaan berbasis teknologi informasi berdasar prinsip syariah. Bahkan, layanan itu telah mendapatkan sertifikat syariah dari Dewan Syariah Nasional dengan menjadikan Fatwa Nomor 117 Tahun 2018 tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Sesuai Syariah sebagai rujukan utama dalam praktik dan pengoperasian kelembagaannya.
Platform pinjaman daring syariah, misalnya, dapat digunakan sebagai medium pemberdayaan pelaku di sektor UMKM yang daya serap angkatan kerjanya mencapai 96,92 persen dan kontribusinya mencapai 57,1 persen terhadap output nasional. Peran sebagai jangkar perekonomian saat terjadi krisis keuangan selalu dikenang dengan narasi indah. Termasuk peran sentralnya dalam pemulihan ekonomi akibat pandemi.
Idealnya, porsi pembiayaan berbasis syariah harus lebih banyak pada penguatan bisnis yang produktif berbanding dengan pembiayaan konsumtif. Kalau dominan di pembiayaan konsumtif, karakter bisnis syariah menjadi hilang dengan sendirinya. Dan harapan sebagai solusi tersedianya pendanaan halal bagi pelaku UMKM jauh panggang dari api.
Kalau melihat kinerja pembiayaan sektor keuangan pada UMKM, kita akan dihadapkan pada fakta yang cukup miris. Berdasar survei yang dilakukan Bank Indonesia, total kredit untuk segmen UMKM mencapai Rp 1.135 triliun dengan rasio kredit UMKM terhadap total kredit hanya 20,51 persen. Nilai kredit tersebut hanya menyasar 30,5 persen dari total pelaku UMKM.
Survei tersebut juga menunjukkan bahwa masih terdapat 43,1 persen pelaku usaha yang belum mendapatkan pembiayaan dan memerlukan pinjaman. Dengan demikian, potensi tambahan kredit UMKM yang dapat disalurkan mencapai Rp 1.605 triliun. Manakala hal tersebut dapat dicapai, nilai kredit UMKM akan mencapai Rp 2.740 triliun dengan proporsi mencapai 45,74 persen.
Kolaborasi Institusi Syariah
Peluang pinjaman daring berbasis syariah untuk bermain di sektor UMKM terbuka lebar sebagai bagian dari upaya menambahkan nilai manfaat dalam jumlah penyaluran pinjaman di industri fintech. Salah satunya memanfaatkan kerja sama penyaluran melalui skema channeling dengan perbankan syariah maupun lembaga keuangan syariah lainnya. Dalam hal ini, perbankan syariah bertindak sebagai financier atau pemberi pembiayaan, sementara pelaku UMKM sebagai nasabah peminjam.
Kolaborasi bisnis seperti ini serta-merta dapat mendukung problem keterbatasan akses pemodalan yang kerap kali dihadapi pelaku di sektor UMKM. Juga mampu menekan cost of fund atau beban biaya dana bagi peminjam. Dengan demikian, bagi hasil yang diberikan peminjam atas usaha yang dijalankan menjadi lebih murah dan kompetitif serta benar-benar memberdayakan sektor riil dan pelaku UMKM.
Kolaborasi ini pada akhirnya diperuntukkan kepentingan bersama stakeholder yang terlibat dalam kerja sama bisnis melalui prinsip saling menguntungkan dan menguatkan (al adlu wa atta’awun). Di dalam konsep Islam, teknologi informasi itu sifatnya netral syariah. Artinya, ia tidak terikat dengan halal-haram dan tidak dapat memberikan justifikasi atas kesyariahan sesuatu tindakan sepanjang keberadaannya tidak digunakan untuk hal-hal yang secara tegas dilarang Islam dan mencederai nilai-nilai agung syariah (maqasid syariah). Seperti tindak kejahatan, penipuan, dan perilaku kriminal lainnya.
Pemanfataan kecanggihan teknologi informasi secara bijaksana, kolaborasi bisnis yang saling menguntungkan, dan menguatkan serta mempromosikan model bisnis berbagi keuntungan dan kerugian (profit and loss sharing) harus menjadi pijakan utama strategi bisnis oleh pengelola/penyedia jasa keuangan berbasis syariah. Termasuk di dalamnya perusahaan yang bergerak di bidang pinjaman daring syariah. Selain itu, keberpihakan pada sektor UMKM dan ekonomi riil melalui produk dan jasa yang ditawarkan akan menjadi tolok ukur keberhasilan bisnis pinjaman berbasis syariah. Sekaligus bisa menjadi faktor pembeda dengan pinjaman konvensional.
Karena itu, pengembangan sumber daya manusia (SDM) dalam industri syariah tidak sekadar paham halal-haram, tetapi pada keberpihakan yang nyata bagi pemberdayaan ekonomi dan sosial umat. Penguatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat kecil dan miskin adalah tujuan utama dari keberadaan institusi keuangan berbasis syariah. Pendek kata, halal-haram sekadar aspek terluar atau formalis, sementara keberpihakan pada rakyat kecil dan miskin merupakan aspek esensial dari syariah. (*)
FAIZI, Dosen Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta