28.2 C
Jakarta
Friday, December 6, 2024

Afirmasi Pajak, Mungkinkah?

AGENDA konsolidasi fiskal untuk mengerek penerimaan negara, sepertinya, tak henti mengundang kontroversi. Wacana pemungutan PPN (pajak pertambahan nilai) untuk bahan pokok diklaim kian menekan kehidupan masyarakat kelas bawah. Porsi pendapatan segmen ini lebih banyak teralokasi untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Klarifikasi pemerintah bahwa pengutipan PPN bahan pokok ditujukan untuk memenuhi asas keadilan, tampaknya, tidak cukup kuat meredakan kegaduhan. Klausul yang menyatakan komoditas tertentu yang sangat dibutuhkan masyarakat bisa dikenai tarif PPN final 1 persen dipandang tetap saja mencederai rasa keadilan.

Perpajakan di ranah produsen pun tak luput dari kontroversi. Dalam merevisi Undang-Undang Perpajakan, pemerintah berencana menurunkan ambang batas pengusaha kena pajak (PKP). Threshold PKP yang saat ini berlaku Rp 4,8 miliar per tahun dan akan dipangkas menjadi ”hanya” Rp 600 juta per tahun.

Penurunan ambang batas PKP niscaya akan memperbanyak wajib pajak yang masuk kualifikasi pembayar pajak penghasilan (PPh) badan. Namun, di balik itu, banyak usaha mikro, kecil, dan menengah yang akan terkena ketentuan membayar tarif PPh normal 20 persen dari sebelumnya tarif PPh final 0,5 persen.

Penyusutan ambang batas PKP ini seakan menyindir pendapatan tidak kena pajak (PTKP) yang terlalu tinggi. Ambang batas PPh orang pribadi yang berlaku saat ini Rp 54 juta per tahun menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan PTKP tertinggi di dunia jika merujuk pada persentase terhadap pendapatan per kapitanya.

Bukan tidak mungkin limit PTKP juga akan dipangkas. Ide toh pernah muncul pada 2017 saat PTKP akan ditambatkan pada upah minimum provinsi. Artinya, PTKP saat ini Rp 54 juta per tahun akan diturunkan menjadi Rp 40 juta per tahun. Alhasil, pekerja kelas bawah akan terjaring menjadi wajib pajak dengan membayar PPh 5 persen.

Baca Juga :  Mempertanyakan Dana Aspirasi

Beberapa kasus di atas menunjukkan reformasi perpajakan yang tengah dirancang pemerintah terkesan kurang berpihak pada pelaku ekonomi kelas bawah. Tujuan peningkatan penerimaan negara –agar mulai 2023 defisit APBN bisa kembali ke pakem mula-mula maksimum 3 persen– lebih banyak dibebankan pada rakyat kecil.

Jika ditelisik lebih dalam, bias kebijakan semacam ini merupakan konsekuensi logis dari pendekatan dari atas ke bawah (top-down). Kepentingan otoritas fiskal lebih kental mewarnai desain kebijakan perpajakan. Sebaliknya, efek samping yang ditimbulkan tidak terukur dengan saksama.

Cerita di atas akan sedikit berbeda jika kebijakan perpajakan ditempuh dengan jalur dari bawah ke atas (bottom-up). Persoalan yang terjadi di akar rumput diangkat ke permukaaan untuk dicarikan solusi. Alhasil, keadilan vertikal (antarkelas masyarakat) dan horizontal (lintas individu) relatif akan lebih terjamin.

Dilema pun mengemuka. Di satu sisi, pendekatan bottom-up berbiaya mahal dan memerlukan waktu yang tidak singkat. Di sisi lain, pendekatan top-down lebih sering dipilih semata-mata karena argumen kepraktisan dan efisiensi meski tidak ada landasan yang kukuh yang bisa dipertanggungjawabkan.

Mengompromikan dua pendekatan tersebut agaknya sangat sulit. Masing-masing pendekatan memiliki alur logika yang kuat. Bangunan logika yang disusun atas dasar kepentingan yang berbeda (untuk tidak menyebut berlawanan) niscaya menghasilkan resep kebijakan yang berlainan pula.

Alhasil, afirmasi perpajakan layak diajukan agar semua kepentingan terakomodasi. Afirmasi perpajakan mengacu pada ketentuan tegas perihal subjek pajak dan/atau objek pajak yang harus diberi perlakuan khusus. Artinya, objek/subjek pajak tidak dipandang sebagai fasilitas khusus, melainkan diposisikan sebagai proteksi.

Ide afirmasi semacam ini bukan hal yang baru sama sekali. Sektor pendidikan lebih dulu menerapkannya. Alih-alih pengecualian, skema afirmasi disediakan untuk peserta didik yang berasal dari daerah 3T (terdepan, terpencil, dan tertinggal) agar bisa memperoleh kesempatan belajar yang sama.

Baca Juga :  OTT KPK Perkuat Moralitas Ekonomi

Dibawa ke dalam konteks perpajakan, penerapan afirmasi PPN layak diberlakukan pada kebutuhan pokok tadi. Demikian pula, afirmasi PPh orang pribadi diterapkan dengan PTKP yang menaik. Tanpa afirmasi PPN dan PPh, sulit bagi segmen masyarakat ini bisa berkembang sampai pada level yang ”layak”.

Lebih lanjut, afirmasi PPh badan bisa dikenakan pada UMKM dengan ambang batas PKP yang juga menaik. Bahkan, tarif normal PPh badan bisa lebih dimodifikasi. Tarif tunggal PPh badan semestinya dibuat secara berjenjang dengan struktur yang progresif layaknya PPh orang pribadi dan PPN multitarif.

Dalam skala yang lebih luas, tarif berjenjang PPh badan bisa menjalankan fungsi sebagai stabilisasi otomatis yang bekerja tanpa regulasi ekstra. Ketiadaan instrumen stabilisasi otomatis dalam melawan siklus ekonomi ditengarai sebagai penyebab mahalnya stimulus fiskal (Dolls, Fuest, dan Peichl, 2012).

Pada titik ini, tidak ada perbedaan antara pengecualian dan afirmasi, namun filosofinya sangat berbeda. Jika terminologi ”pengecualian” seolah-olah dilandasi kemurahan hati dari otoritas fiskal sebagai fasilitas khusus, afirmasi didasarkan pada perlindungan warga negara untuk mendapatkan penghidupan standar.

 

Alhasil, akar persoalan perpajakan tertambat pada kebijakan (policy) dan kebijaksanaan (wisdom). Sebagai peranti fiskal, parameter keberhasilan kebijakan senantiasa akan diukur dengan output. Sementara itu, kebijaksanaan akan dinilai dari manfaat (outcome) yang bisa diciptakan.

Tanpa roh kebijaksanaan, kebijakan justru menjelma menjadi ”pelanggaran” yang secara sistematis terlegitimasi lantaran tidak ada aturan baku atau penafsiran sepihak dari pembuat kebijakan. Jika demikian, penerapan peranti fiskal akan bijak sana sekaligus bijik sini, yang lagi-lagi mengundang kontroversi.

Ironis, bukan? (*)

 

Haryo Kuncoro, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta, Direktur Riset SEEBI (the Socio-Economic & Educational Business Institute) Jakarta, Doktor Ilmu Ekonomi Alumnus PPs UGM Jogjakarta

AGENDA konsolidasi fiskal untuk mengerek penerimaan negara, sepertinya, tak henti mengundang kontroversi. Wacana pemungutan PPN (pajak pertambahan nilai) untuk bahan pokok diklaim kian menekan kehidupan masyarakat kelas bawah. Porsi pendapatan segmen ini lebih banyak teralokasi untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Klarifikasi pemerintah bahwa pengutipan PPN bahan pokok ditujukan untuk memenuhi asas keadilan, tampaknya, tidak cukup kuat meredakan kegaduhan. Klausul yang menyatakan komoditas tertentu yang sangat dibutuhkan masyarakat bisa dikenai tarif PPN final 1 persen dipandang tetap saja mencederai rasa keadilan.

Perpajakan di ranah produsen pun tak luput dari kontroversi. Dalam merevisi Undang-Undang Perpajakan, pemerintah berencana menurunkan ambang batas pengusaha kena pajak (PKP). Threshold PKP yang saat ini berlaku Rp 4,8 miliar per tahun dan akan dipangkas menjadi ”hanya” Rp 600 juta per tahun.

Penurunan ambang batas PKP niscaya akan memperbanyak wajib pajak yang masuk kualifikasi pembayar pajak penghasilan (PPh) badan. Namun, di balik itu, banyak usaha mikro, kecil, dan menengah yang akan terkena ketentuan membayar tarif PPh normal 20 persen dari sebelumnya tarif PPh final 0,5 persen.

Penyusutan ambang batas PKP ini seakan menyindir pendapatan tidak kena pajak (PTKP) yang terlalu tinggi. Ambang batas PPh orang pribadi yang berlaku saat ini Rp 54 juta per tahun menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan PTKP tertinggi di dunia jika merujuk pada persentase terhadap pendapatan per kapitanya.

Bukan tidak mungkin limit PTKP juga akan dipangkas. Ide toh pernah muncul pada 2017 saat PTKP akan ditambatkan pada upah minimum provinsi. Artinya, PTKP saat ini Rp 54 juta per tahun akan diturunkan menjadi Rp 40 juta per tahun. Alhasil, pekerja kelas bawah akan terjaring menjadi wajib pajak dengan membayar PPh 5 persen.

Baca Juga :  Mempertanyakan Dana Aspirasi

Beberapa kasus di atas menunjukkan reformasi perpajakan yang tengah dirancang pemerintah terkesan kurang berpihak pada pelaku ekonomi kelas bawah. Tujuan peningkatan penerimaan negara –agar mulai 2023 defisit APBN bisa kembali ke pakem mula-mula maksimum 3 persen– lebih banyak dibebankan pada rakyat kecil.

Jika ditelisik lebih dalam, bias kebijakan semacam ini merupakan konsekuensi logis dari pendekatan dari atas ke bawah (top-down). Kepentingan otoritas fiskal lebih kental mewarnai desain kebijakan perpajakan. Sebaliknya, efek samping yang ditimbulkan tidak terukur dengan saksama.

Cerita di atas akan sedikit berbeda jika kebijakan perpajakan ditempuh dengan jalur dari bawah ke atas (bottom-up). Persoalan yang terjadi di akar rumput diangkat ke permukaaan untuk dicarikan solusi. Alhasil, keadilan vertikal (antarkelas masyarakat) dan horizontal (lintas individu) relatif akan lebih terjamin.

Dilema pun mengemuka. Di satu sisi, pendekatan bottom-up berbiaya mahal dan memerlukan waktu yang tidak singkat. Di sisi lain, pendekatan top-down lebih sering dipilih semata-mata karena argumen kepraktisan dan efisiensi meski tidak ada landasan yang kukuh yang bisa dipertanggungjawabkan.

Mengompromikan dua pendekatan tersebut agaknya sangat sulit. Masing-masing pendekatan memiliki alur logika yang kuat. Bangunan logika yang disusun atas dasar kepentingan yang berbeda (untuk tidak menyebut berlawanan) niscaya menghasilkan resep kebijakan yang berlainan pula.

Alhasil, afirmasi perpajakan layak diajukan agar semua kepentingan terakomodasi. Afirmasi perpajakan mengacu pada ketentuan tegas perihal subjek pajak dan/atau objek pajak yang harus diberi perlakuan khusus. Artinya, objek/subjek pajak tidak dipandang sebagai fasilitas khusus, melainkan diposisikan sebagai proteksi.

Ide afirmasi semacam ini bukan hal yang baru sama sekali. Sektor pendidikan lebih dulu menerapkannya. Alih-alih pengecualian, skema afirmasi disediakan untuk peserta didik yang berasal dari daerah 3T (terdepan, terpencil, dan tertinggal) agar bisa memperoleh kesempatan belajar yang sama.

Baca Juga :  OTT KPK Perkuat Moralitas Ekonomi

Dibawa ke dalam konteks perpajakan, penerapan afirmasi PPN layak diberlakukan pada kebutuhan pokok tadi. Demikian pula, afirmasi PPh orang pribadi diterapkan dengan PTKP yang menaik. Tanpa afirmasi PPN dan PPh, sulit bagi segmen masyarakat ini bisa berkembang sampai pada level yang ”layak”.

Lebih lanjut, afirmasi PPh badan bisa dikenakan pada UMKM dengan ambang batas PKP yang juga menaik. Bahkan, tarif normal PPh badan bisa lebih dimodifikasi. Tarif tunggal PPh badan semestinya dibuat secara berjenjang dengan struktur yang progresif layaknya PPh orang pribadi dan PPN multitarif.

Dalam skala yang lebih luas, tarif berjenjang PPh badan bisa menjalankan fungsi sebagai stabilisasi otomatis yang bekerja tanpa regulasi ekstra. Ketiadaan instrumen stabilisasi otomatis dalam melawan siklus ekonomi ditengarai sebagai penyebab mahalnya stimulus fiskal (Dolls, Fuest, dan Peichl, 2012).

Pada titik ini, tidak ada perbedaan antara pengecualian dan afirmasi, namun filosofinya sangat berbeda. Jika terminologi ”pengecualian” seolah-olah dilandasi kemurahan hati dari otoritas fiskal sebagai fasilitas khusus, afirmasi didasarkan pada perlindungan warga negara untuk mendapatkan penghidupan standar.

 

Alhasil, akar persoalan perpajakan tertambat pada kebijakan (policy) dan kebijaksanaan (wisdom). Sebagai peranti fiskal, parameter keberhasilan kebijakan senantiasa akan diukur dengan output. Sementara itu, kebijaksanaan akan dinilai dari manfaat (outcome) yang bisa diciptakan.

Tanpa roh kebijaksanaan, kebijakan justru menjelma menjadi ”pelanggaran” yang secara sistematis terlegitimasi lantaran tidak ada aturan baku atau penafsiran sepihak dari pembuat kebijakan. Jika demikian, penerapan peranti fiskal akan bijak sana sekaligus bijik sini, yang lagi-lagi mengundang kontroversi.

Ironis, bukan? (*)

 

Haryo Kuncoro, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta, Direktur Riset SEEBI (the Socio-Economic & Educational Business Institute) Jakarta, Doktor Ilmu Ekonomi Alumnus PPs UGM Jogjakarta

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Terpopuler

Artikel Terbaru