25.2 C
Jakarta
Sunday, November 24, 2024

PPDB Bermasalah, Mendikbud Salahkan Pemda Kurang Lakukan Ini

JAKARTA – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir
Effendy menyalahkan Pemerintah Daerah (Pemda) yang kurang sosialisasi terkait
Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sistem zonasi. Sistem ini kemudian menjadi
pro kontra di sejumlah daerah, padahal masyarakat sistem tersebut telah terbit
sejak akhir 2018.

“Tahun lalu, menurut saya jauh
lebih parah dari sekarang, yang isunya surat keterangan miskin palsu jumlahnya
ribuan. Sekarang hampir tidak ada yang begitu. Yang sekarang muncul protes
terhadap kuota yang berprestasi,” katanya di sela-sela rapat kerja dengan
Komisi X DPR di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, Senin (24/6).

Pada rapat yang dipimpin Wakil
Ketua Komisi X Reni Marlinawati, mendikbud menjelaskan persoalan dan masalah
PPDB sistem zonasi tidak akan muncul bila daerah memberikan kesempatan yang
lebih bijak.

Dikatakannya, aturan sistem
zonasi, dikeluarkan berdasarkan Peraturan Menteri Nomor 51 Tahun 2018. Dan
untuk PPDB 2019 telah diterbitkan sejak Desember 2018.

Ada waktu enam bulan bagi setiap
Pemda untuk menyiapkan dan menyosialisasikan sistem zonasi lewat peraturan
turunan. Baik itu peraturan gubernur, atau bupati/wali kota.

“Jadi memang ada beberapa daerah
yang menurut saya perlu displin untuk tahun-tahun yang akan datang di dalam
memahami PPDB kebijakan zonasi ini dan yang penting jangan main-main dengan
nasib peserta didik,” katanya.

Selain itu, Muhadjir mensinyalis
protes dari masyarakat terkait zonasi lebih banyak berdimensi politik. Hal itu
diperoleh setelah tim dari Kemendikbud turun ke lapangan.

Baca Juga :  Aturan Baru Soal Umrah Segera Dirilis Pemerintah Arab Saudi, Apa Saja?

“Yang peristiwa ribut-ribut itu
juga, ada diduga, saya duga ada muatan politik juga,” katanya.

Lebih jauh, Mendikbud menjelaskan
kuota lima persen untuk siswa luar dari zona dinilai sudah bijak dan baik.
Namun, permasalahannya, jumlah siswa yang akan ditampung tidak sebanding dengan
kapasitas sekolah negeri yang terbatas. Seperti contohnya di Jawa Barat yang
melakukan perankingan dan memadukan antara jarak dan capaian akademik atau UN.

“Sehingga itu sangat
memungkinkan. Tidak ada masalah. Kami juga tahu bahwa tidak mungkin 100 persen
penempatan zonasi atas dasar radius dari siswa dengan sekolah, kami sangat
paham,” katanya kata para wakil rakyat.

Terpisah, Pakar Pendidikan
Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Joko Nurkamto mengatakan penerapan
zonasi sekolah harus diimbangi dengan kualitas. Sehingga masyarakat tidak
kecewa dengan sistem tersebut.

“Zonasi tidak masalah kalau
delapan standar dipenuhi, standar kompetensi lulusan (SKL), standar isi,
proses, penilaian, kualifikasi pendidikan dan tenaga kependidikan, standar
sarana dan prasarana, standar penilaian dan pembiayaan,” katanya, Senin (24/6).

Nurkamto mencontohkan dari sisi
sarana prasarana, jika memang bagus maka pendidikan yang diberikan kepada siswa
juga akan bagus. Selanjutnya untuk sistem laboratorium multimedia tidak seluruh
sekolah mutunya bagus.

“Selain itu juga bagaimana
kualitas guru dan kepala sekolah. Intinya kalau bisa memenuhi delapan standar
tersebut maka tidak masalah. Yang dikomplain orang tua itu kan anak pintar
tetapi dapat sekolah yang jelek,” katanya.

Baca Juga :  Selain Syahganda, Polisi Juga Tangkap Aktivis KAMI Lainnya

Nurkamto juga mengatakan jika
sistem zonasi dipaksakan maka ada dua kemungkinan yang terjadi, yaitu jika
sekolah tidak dibenahi maka yang terjadi mungkin anak akan frustasi. Yang
kedua, anak tidak mempermasalahkan hal itu namun orangtua tidak rela anak tidak
memperoleh sekolah yang kualitasnya baik.

“Permasalahannya kalau anak
frustrasi kan kasihan anaknya. Belajarnya tidak termotivasi lagi karena mereka
mendapati sistem, lingkungan, dan teman-teman yang tidak baik,” katanya.

Selain itu, kepadatan penduduk
setiap daerah juga tidak sama yang berdampak pada jumlah siswa yang diperoleh
sekolah.

“Ini beberapa kasus yang terjadi,
kan ada daerah yang satu sekolah hanya dapat lima orang karena kepadatan
penduduk di masing-masing zona beda. Boleh jadi di satu sekolah targetnya tidak
terpenuhi,” katanya.

Untuk itu, menurutnya, perlu ada
evaluasi yang dilakukan pemerintah dengan melibatkan banyak pihak, di antaranya
orangtua siswa, siswa, guru, dan tokoh pendidikan.

“Mereka ditanyai bagaimana
efektivitas sistem ini. Yang pasti perlu ada kajian yang lebih mendalam terkait
zonasi. Mestinya pemerintah perlu mengantisipasi atau merespon, apa yang jadi
masalah. Kalau ingin berjalan baik ya sistemnya diperbaiki,” katanya. (gw/fin/kpc)

JAKARTA – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir
Effendy menyalahkan Pemerintah Daerah (Pemda) yang kurang sosialisasi terkait
Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sistem zonasi. Sistem ini kemudian menjadi
pro kontra di sejumlah daerah, padahal masyarakat sistem tersebut telah terbit
sejak akhir 2018.

“Tahun lalu, menurut saya jauh
lebih parah dari sekarang, yang isunya surat keterangan miskin palsu jumlahnya
ribuan. Sekarang hampir tidak ada yang begitu. Yang sekarang muncul protes
terhadap kuota yang berprestasi,” katanya di sela-sela rapat kerja dengan
Komisi X DPR di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, Senin (24/6).

Pada rapat yang dipimpin Wakil
Ketua Komisi X Reni Marlinawati, mendikbud menjelaskan persoalan dan masalah
PPDB sistem zonasi tidak akan muncul bila daerah memberikan kesempatan yang
lebih bijak.

Dikatakannya, aturan sistem
zonasi, dikeluarkan berdasarkan Peraturan Menteri Nomor 51 Tahun 2018. Dan
untuk PPDB 2019 telah diterbitkan sejak Desember 2018.

Ada waktu enam bulan bagi setiap
Pemda untuk menyiapkan dan menyosialisasikan sistem zonasi lewat peraturan
turunan. Baik itu peraturan gubernur, atau bupati/wali kota.

“Jadi memang ada beberapa daerah
yang menurut saya perlu displin untuk tahun-tahun yang akan datang di dalam
memahami PPDB kebijakan zonasi ini dan yang penting jangan main-main dengan
nasib peserta didik,” katanya.

Selain itu, Muhadjir mensinyalis
protes dari masyarakat terkait zonasi lebih banyak berdimensi politik. Hal itu
diperoleh setelah tim dari Kemendikbud turun ke lapangan.

Baca Juga :  Aturan Baru Soal Umrah Segera Dirilis Pemerintah Arab Saudi, Apa Saja?

“Yang peristiwa ribut-ribut itu
juga, ada diduga, saya duga ada muatan politik juga,” katanya.

Lebih jauh, Mendikbud menjelaskan
kuota lima persen untuk siswa luar dari zona dinilai sudah bijak dan baik.
Namun, permasalahannya, jumlah siswa yang akan ditampung tidak sebanding dengan
kapasitas sekolah negeri yang terbatas. Seperti contohnya di Jawa Barat yang
melakukan perankingan dan memadukan antara jarak dan capaian akademik atau UN.

“Sehingga itu sangat
memungkinkan. Tidak ada masalah. Kami juga tahu bahwa tidak mungkin 100 persen
penempatan zonasi atas dasar radius dari siswa dengan sekolah, kami sangat
paham,” katanya kata para wakil rakyat.

Terpisah, Pakar Pendidikan
Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Joko Nurkamto mengatakan penerapan
zonasi sekolah harus diimbangi dengan kualitas. Sehingga masyarakat tidak
kecewa dengan sistem tersebut.

“Zonasi tidak masalah kalau
delapan standar dipenuhi, standar kompetensi lulusan (SKL), standar isi,
proses, penilaian, kualifikasi pendidikan dan tenaga kependidikan, standar
sarana dan prasarana, standar penilaian dan pembiayaan,” katanya, Senin (24/6).

Nurkamto mencontohkan dari sisi
sarana prasarana, jika memang bagus maka pendidikan yang diberikan kepada siswa
juga akan bagus. Selanjutnya untuk sistem laboratorium multimedia tidak seluruh
sekolah mutunya bagus.

“Selain itu juga bagaimana
kualitas guru dan kepala sekolah. Intinya kalau bisa memenuhi delapan standar
tersebut maka tidak masalah. Yang dikomplain orang tua itu kan anak pintar
tetapi dapat sekolah yang jelek,” katanya.

Baca Juga :  Selain Syahganda, Polisi Juga Tangkap Aktivis KAMI Lainnya

Nurkamto juga mengatakan jika
sistem zonasi dipaksakan maka ada dua kemungkinan yang terjadi, yaitu jika
sekolah tidak dibenahi maka yang terjadi mungkin anak akan frustasi. Yang
kedua, anak tidak mempermasalahkan hal itu namun orangtua tidak rela anak tidak
memperoleh sekolah yang kualitasnya baik.

“Permasalahannya kalau anak
frustrasi kan kasihan anaknya. Belajarnya tidak termotivasi lagi karena mereka
mendapati sistem, lingkungan, dan teman-teman yang tidak baik,” katanya.

Selain itu, kepadatan penduduk
setiap daerah juga tidak sama yang berdampak pada jumlah siswa yang diperoleh
sekolah.

“Ini beberapa kasus yang terjadi,
kan ada daerah yang satu sekolah hanya dapat lima orang karena kepadatan
penduduk di masing-masing zona beda. Boleh jadi di satu sekolah targetnya tidak
terpenuhi,” katanya.

Untuk itu, menurutnya, perlu ada
evaluasi yang dilakukan pemerintah dengan melibatkan banyak pihak, di antaranya
orangtua siswa, siswa, guru, dan tokoh pendidikan.

“Mereka ditanyai bagaimana
efektivitas sistem ini. Yang pasti perlu ada kajian yang lebih mendalam terkait
zonasi. Mestinya pemerintah perlu mengantisipasi atau merespon, apa yang jadi
masalah. Kalau ingin berjalan baik ya sistemnya diperbaiki,” katanya. (gw/fin/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru