26.3 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Bawaslu: Pelanggaran Pemilu 2019 Meningkat Pesat Dibanding 2014

JAKARTA – Pelanggaran sepanjang pelaksanaan Pemilu 2019 meningkat
pesat, jika dibandingkan pada pesta demokrasi 2014. Meski demikian, Bawaslu
mengklaim ada peningkatan pengawasan yang signifikan atas pelanggaran yang
terjadi.

Anggota Bawaslu, Ratna Dewi
Pettalolo menyatakan, jumlah pelanggaran yang tercatat di Bawaslu pada pemilu
kali ini mencapai 15.052. Berdasar data yang didapat Jawa Pos (Grup kaltengpos.co),
jumlah pelanggaran tersebut naik hampir 50 persen dari total pelanggaran
Pileg-Pilpres 2014. Kala itu, total pelanggaran yang tercatat di Bawaslu hanya
10.754.

Tahun ini temuan pelanggaran
paling banyak terdapat di Provinsi Jawa Timur. Tercatat 3.002 temuan
pelanggaran atau sekitar 20 persen dari keseluruhan pelanggaran pemilu se-Indonesia.
Pelanggaran juga terjadi di sejumlah provinsi lain. Di antaranya, Sulsel,
Sulteng, Jabar, dan Jateng.

Menurut Ratna, sebenarnya tidak
terlalu banyak perbedaan aturan terkait jenis pelanggaran pemilu antara 2014
dan 2019. Pelanggaran administrasi pemilu masih menjadi jenis pelanggaran yang
paling sering dilakukan.

Mayoritas adalah pelanggaran pada
masa kampanye. ’’Soal pemasangan alat peraga kampanye (APK),’’ terangnya saat
dimintai konfirmasi Jawa Pos, Minggu (23/6).

Baca Juga :  Taman Kuliner Miliki Potensi Tinggi untuk Meningkatkan PAD

Sementara itu, jumlah pelanggaran
pidana relatif kecil bila dibandingkan dengan keseluruhan pelanggaran yang
terjadi. ’’Untuk pidana pemilu, dari 15.052 itu, 533 adalah pelanggaran pidana
pemilu,’’ lanjut perempuan kelahiran Palu, Sulteng, itu. Hal tersebut
menunjukkan betapa tingginya pelanggaran administrasi yang terjadi.

Dia tidak memungkiri keserentakan
pemilu turut andil dalam banyaknya pelanggaran. Baik oleh timses paslon
presiden dan wakil presiden maupun parpol. Pelangggaran tidak hanya terjadi
saat kampanye dan tahapan lain sebelum pemungutan suara.

Saat pemungutan suara maupun
setelah itu, saat rekapitulasi, masih ada sejumlah pelanggaran yang terjadi.

Hingga saat ini, pihaknya belum
meneliti lebih jauh apa yang menyebabkan tingkat pelanggaran begitu tinggi.
Meski demikian, menurut Ratna, setidaknya ada dua hal yang membuat catatan
pelanggaran begitu tinggi. Pertama adalah pengawasan yang semakin ketat sehingga
lebih banyak pelanggaran yang terpantau dan dilaporkan. Yang kedua adalah masih
adanya peserta pemilu yang bebal.

Baca Juga :  Gali PAD di Tengah Pandemi

Pada pemilu kali ini, Bawaslu
memiliki tangan sampai TPS melalui pengawas TPS. Sesuatu yang tidak ada pada
Pemilu 2014 karena pengawasannya hanya sampai tingkat kelurahan/desa. Saat ini
pelanggaran di TPS-TPS lebih bisa dipantau dan dicatat Bawaslu dan menjadi
temuan.

Dari sisi peserta, menurut Ratna,
tingkat kepatuhannya masih belum seperti yang diharapkan. Sebagai gambaran,
sudah banyak kasus politik uang yang diproses, bahkan hingga berujung
diskualifikasi peserta.

“Tapi, masih ada saja pelanggaran
baru, terulang dengan peristiwa yang sama,” keluh Ratna. Kondisi tersebut
menjadi sebuah gambaran bahwa kesadaran hukum peserta pemilu harus terus
ditingkatkan.

Di sisi lain, Ratna mengakui,
masih ada celah hukum yang memungkinkan bagi peserta untuk mencoba-coba
menerobos. Namun, kadang peserta tidak mengira bahwa celah hukum tersebut bisa
ditindaklanjuti Bawaslu. Akhirnya, kelakuan mereka, mau tidak mau, dicatat dan
diproses oleh Bawaslu. (jpnn/kpc)

JAKARTA – Pelanggaran sepanjang pelaksanaan Pemilu 2019 meningkat
pesat, jika dibandingkan pada pesta demokrasi 2014. Meski demikian, Bawaslu
mengklaim ada peningkatan pengawasan yang signifikan atas pelanggaran yang
terjadi.

Anggota Bawaslu, Ratna Dewi
Pettalolo menyatakan, jumlah pelanggaran yang tercatat di Bawaslu pada pemilu
kali ini mencapai 15.052. Berdasar data yang didapat Jawa Pos (Grup kaltengpos.co),
jumlah pelanggaran tersebut naik hampir 50 persen dari total pelanggaran
Pileg-Pilpres 2014. Kala itu, total pelanggaran yang tercatat di Bawaslu hanya
10.754.

Tahun ini temuan pelanggaran
paling banyak terdapat di Provinsi Jawa Timur. Tercatat 3.002 temuan
pelanggaran atau sekitar 20 persen dari keseluruhan pelanggaran pemilu se-Indonesia.
Pelanggaran juga terjadi di sejumlah provinsi lain. Di antaranya, Sulsel,
Sulteng, Jabar, dan Jateng.

Menurut Ratna, sebenarnya tidak
terlalu banyak perbedaan aturan terkait jenis pelanggaran pemilu antara 2014
dan 2019. Pelanggaran administrasi pemilu masih menjadi jenis pelanggaran yang
paling sering dilakukan.

Mayoritas adalah pelanggaran pada
masa kampanye. ’’Soal pemasangan alat peraga kampanye (APK),’’ terangnya saat
dimintai konfirmasi Jawa Pos, Minggu (23/6).

Baca Juga :  Taman Kuliner Miliki Potensi Tinggi untuk Meningkatkan PAD

Sementara itu, jumlah pelanggaran
pidana relatif kecil bila dibandingkan dengan keseluruhan pelanggaran yang
terjadi. ’’Untuk pidana pemilu, dari 15.052 itu, 533 adalah pelanggaran pidana
pemilu,’’ lanjut perempuan kelahiran Palu, Sulteng, itu. Hal tersebut
menunjukkan betapa tingginya pelanggaran administrasi yang terjadi.

Dia tidak memungkiri keserentakan
pemilu turut andil dalam banyaknya pelanggaran. Baik oleh timses paslon
presiden dan wakil presiden maupun parpol. Pelangggaran tidak hanya terjadi
saat kampanye dan tahapan lain sebelum pemungutan suara.

Saat pemungutan suara maupun
setelah itu, saat rekapitulasi, masih ada sejumlah pelanggaran yang terjadi.

Hingga saat ini, pihaknya belum
meneliti lebih jauh apa yang menyebabkan tingkat pelanggaran begitu tinggi.
Meski demikian, menurut Ratna, setidaknya ada dua hal yang membuat catatan
pelanggaran begitu tinggi. Pertama adalah pengawasan yang semakin ketat sehingga
lebih banyak pelanggaran yang terpantau dan dilaporkan. Yang kedua adalah masih
adanya peserta pemilu yang bebal.

Baca Juga :  Gali PAD di Tengah Pandemi

Pada pemilu kali ini, Bawaslu
memiliki tangan sampai TPS melalui pengawas TPS. Sesuatu yang tidak ada pada
Pemilu 2014 karena pengawasannya hanya sampai tingkat kelurahan/desa. Saat ini
pelanggaran di TPS-TPS lebih bisa dipantau dan dicatat Bawaslu dan menjadi
temuan.

Dari sisi peserta, menurut Ratna,
tingkat kepatuhannya masih belum seperti yang diharapkan. Sebagai gambaran,
sudah banyak kasus politik uang yang diproses, bahkan hingga berujung
diskualifikasi peserta.

“Tapi, masih ada saja pelanggaran
baru, terulang dengan peristiwa yang sama,” keluh Ratna. Kondisi tersebut
menjadi sebuah gambaran bahwa kesadaran hukum peserta pemilu harus terus
ditingkatkan.

Di sisi lain, Ratna mengakui,
masih ada celah hukum yang memungkinkan bagi peserta untuk mencoba-coba
menerobos. Namun, kadang peserta tidak mengira bahwa celah hukum tersebut bisa
ditindaklanjuti Bawaslu. Akhirnya, kelakuan mereka, mau tidak mau, dicatat dan
diproses oleh Bawaslu. (jpnn/kpc)

Terpopuler

Artikel Terbaru