JAKARTA – Wakil Presiden Indonesia, Ma’ruf Amin melihat, bahwa
sampai saat ini masih ada indikasi bahan pembelajaran yang dipergunakan di
sekolah-sekolah dasar di Indonesia mengandung unsur radikalisme.
Disebutkannya, bahan pembelajaran
yang terpapar unsur radikalisme tersebut ada di tingkat Sekolah Dasar (SD),
termasuk juga di tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
“Ada bahan ajar yang masih
menggunakan bahan-bahan yang di dalamnya terindikasi ajaran yang radikal. Ada
di tingkat SD, bahkan PAUD juga ada yang mengajarkannya,†kata Ma’ruf, Senin
(2/12)
Ma’ruf menambahkan, bahan-bahan
pembelajaran tersebut, juga pernah muncul di soal-soal ujian sekolah. Untuk itu
pihaknya meminta, seluruh pihak bisa mewaspadai adanya unsur-unsur radikalisme
di bahan pembelajaran anak-anak sekolah.
“Bahan-bahan pembelajaran
tersebut, juga pernah muncul di soal-soal ujian sekolah,†ujarnya.
Dengan adanya indikasi tersebut,
Ma’ruf memerintahkan Kementerian Agama serta Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan untuk menelusuri indikasi-indikasi tersebut agar dapat dilakukan
perbaikan.
“Kementerian Agama serta
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sedang menelusuri, untuk kemudian
dilakukan perbaikan,†tegasnnya.
Menurut Ma’ruf, gerakan
radikalisme dinilai bisa mengancam kehidupan masyarakat dalam bernegara. Dengan
demikian, pihaknya menginginkan universitas-universitas yang ada di Indonesia,
untuk mengambil langkah serupa untuk menangkal gerakan radikalisme.
“Diharapkan, dengan adanya upaya
dari kampus, bisa menangani permasalahan radikalisme dapat dilakukan dari hulu
hingga hilir. Unsur masyarakat juga harus dilibatkan, termasuk pendidikan,
mulai dari kementerian maupun lembaga pendidikan, baik negeri maupun swasta,â€
tuturnya.
Sementara itu, pegiat
perlindungan anak meminta pemerintah dan masyarakat berhati-hati dalam memaknai
istilah radikalisme. Sebab, Kata radikalisme kerap disandingkan dengan perilaku
destruktif atas nama agama.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak
GENERASI, Ena Nurjanah menilai, bahwa ujaran Ma’ruf tak bisa ditelan
mentah-mentah begitu saja. Menurutnya, harus ada kajian mendalam mengapa Ma’ruf
bisa melontarkan pernyataan tersebut.
“Jika mengajarkan radikalisme,
terkait menceritakan sejarah yang berdarah-darah, maka itu belum tentu bermakna
radikalisme. Bisa jadi itu karena gurunya kurang memahami cara yang tepat dalam
menyampaikan kisah sejarah kepada anak-anak PAUD,†katanya.
Menurut Ena, bahan ajar yang
dianggap radikalisme bagi Wapres, bisa jadi berkaitan dengan kemampuan guru
dalam menyampaikan materi. Untuk itu yang perlu dievaluasi metode ajar guru,
bukan isi materinya.
“Berarti yang patut menjadi bahan
evaluasi adalah cara mengajar guru yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan. Agar
mampu menyampaikan kisah sejarah disesuaikan dengan tahapan usia anak, bukan
dengan membuat klaim bahwa guru mengajarkan radikalisme,†jelasnya.
Bagi Ena, sebaiknya pemberian cap
radikalisme tidak bisa sembarangan. Terkecuali, label radikalisme tepat
diberikan, jika yang bersangkutan memang melihat dan memahami fakta yang ada di
lapangan.
Ketika pelabelan terjadi terhadap
para pengajar PAUD, pasti akan menimbulkan banyak perdebatan. Terutama bagi
para pegiat PAUD. Pegiat PAUD, pasti akan kecewa, bahkan bisa jadi marah dengan
sangkaan yang belum tentu benar,†tuturnya.
Lebih baik, lanjut Ena,
pemerintah lebih fokus meningkatkan keikutsertaan anak dalam PAUD. Dalam
catatan Badan Pusat Statistik (BPS) 2018 menyebutkan, Angka Partisipasi Kasar
(APK) Pendidikan Anak-anak Usia Dini (PAUD) di Indonesia baru sekitar 37,92
persen.
“Masih banyak anak-anak usia dini
di Indonesia yang belum mendapat pendidikan dan ini seharusnya lebih menjadi
perhatian pemerintah, karena menjadi tanggung jawab negara sebagaimana yang
diamanahkan oleh undang-undang,†terangnya.
“Fokus utama pemerintah
semestinya memperbanyak berdirinya PAUD. Selain itu pemerintah harus mampu
menghadirkan guru PAUD yang terdidik dan berkualitas demi terpenuhinya hak
pendidikan anak usia dini,†tutupnya.
Senada, Ketua Umum PP Aisyiyah,
Siti Noordjannah Djohantini menyayangkan pernyataan Wakil Presiden KH Maruf
Amin yang mengindikasikan PAUD sudah terpapar radikalisme.
Menurutnya, perlu ada suatu
keseksamaan PAUD mana yang terpapar radikalisme. PAUD yang dikelola pemerintah,
swasta atau yang lainnya, serta dijelaskan batasan radikalisme itu agar tidak
tergeneralisasi.
“Pernyataan yang demikian bisa
jadi menimbulkan prasangka yang membuat pengelola dan guru-guru PAUD tidak
nyaman dan akan berdampak negatif bagi penyelenggaraan PAUD di Indonesia,†katanya.
Noor menyebutkan, bahwa Aisyiyah
sendiri memiliki sekitar 20 ribu PAUD yang sudah berlangsung satu abad merintis
pendidikan usia dini di Indonesia. PAUD Asisyiyah dan PAUD pada umumnya
mengajarkan nilai-nilai keislaman, keagamaan dan kebangsaan yang luhur.
“PAUD Aisyiyah tidak mengajarkan
dan mengenalkan radikalisme. Aisyiyah mengajarkan berislam wasathiyah sejak
dini sesuai pandangan Muhammadiyah, agar kelak menjadi anak-anak yang terdidik
cerdas dan berakhlak mulia,†terangnya.
Noor menyarankan, sebaiknya para
pejabat lebih arif dan bijaksana dalam memberikan pernyataan. Perlu diketahui
juga oleh pejabat, sangat banyak guru-guru dan pengelola PAUD berkhidmat
sebagai relawan dengan ikhlas demi mencintai anak Indonesia.
“Manakala ada kasus radikalisme
mestinya disikapi dan diambil langkah kehati-hatian yang tinggi agar lembaga
pendidikan seperti PAUD tidak menjadi sasaran dan pandangan yang negatif yang
merugikan kepentingan dunia pendidikan di Indonesia,†pungkasnya. (der/fin/kpc)