Badan Pusat Statistik (BPS) dalam laporannya mencatat komponen
harga beras menyumbangkan inflasi 1,97 persen pada September 2019. Kenaikan
harga di komoditas ini dinilai merupakan imbas dari minimnya produksi.
Bahkan inflasi pada beras diproyeksikan terus berlanjut dengan
lejitan yang cukup tinggi pada Desember nanti hingga Januari 2020. Stok beras
Bulog pun dinilai tidak akan mampu mengamankan permintaan sampai akhir tahun.
Pengamat ekonomi INDEF Rusli Abdulah mengungkapkan, kenaikan
harga beras menjadi sulit dikendalikan karena memasuki kuartal akhir yang
dimulai dari September, rata-rata produksi beras hanya 1,5 juta ton. Padahal,
kebutuhan konsumsi masyarakat tiap bulan mencapai 2,5 juta ton.
“Ada gap antara supply and demand (permintaan dan penawaran),â€
ucapnya kepada wartawan di Jakarta, Kamis (3/10).
Kondisi ini mendorong harga beras jadi mahal. Bahkan jika
melihat trennya, ia memprediksi harga beras akan terus meningkat sampai
Desember mendatang. Penyebabnya karena pada periode ini tidak ada panen raya.
Rusli mengatakan bahwa kondisi ini bukan hanya terjadi tahun
2019. Siklus semacam ini terjadi juga di tahun-tahun yang lalu. Kondisinya
berulang sebab petani umumnya akan menunggu musim penghujan untuk mulai
menanam.
Ia meminta pemerintah membuat manajemen stok beras yang lebih
baik. Dengan begitu kenaikan harga beras diharapkan tidak jadi momok tahunan
yang harus dialami masyarakat. “Harus ada stok beras yang cukup untuk kebutuhan
sampai masa panen tiba,†tegasnya.
Pengamat pertanian dari Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas
menyebutkan, harga beras yang meningkat ditopang oleh defisit produksi
dibandingkan konsumsi bulanan. Konsumsi masyarakat masih bisa diselamatkan
karena ditopang oleh stok yang dibentuk dari panen sebelumnya.
“Mulai September itu biasanya sudah minus. Dalam arti yang
dipanen dengan konsumsi bulanan kan lebih besar konsumsi bulanan,†ujar Dwi
Andreas.
Menurutnya, produksi pada masa panen raya kedua yang jatuh pada
kisaran Agustus-September memang lebih sedikit dibandingkan panen raya pertama
yang berlangsung pada Maret-April. Apalagi, pada tahun ini, di mana musim tanam
kedua mundur sebulan akibat pergeseran musim.
Tahun ini, lanjutnya, puncak panen terjadi pada April hingga
Mei. Kebanyakan petani pun ragu untuk menanam padi pada musim tanam kedua
karena sudah memasuki kemarau. Hal tersebut membuat ia meyakini produksi turun
dibandingkan tahun sebelumnya.
Senada dengan Rusli, Andreas meminta pemerintah mencermati stok
beras ke depan. Pasalnya, diperkirakan masa paceklik panen baru berakhir pada
Maret mendatang. “Karena apa, harus diselamatkan sampai paling tidak Februari.
Maret mungkin sebagian sudah panen, tapi kan tidak bisa langsung ke konsumen,â€
tandasnya.(jpg)