SEBANYAK 40 warga negara Indonesia (WNI) dan satu warga negara asing (WNA) yang dievakuasi dari Lebanon tiba di tanah air, kemarin (7/10). Serangan bom yang didengar dan dirasakan nyaris setiap hari membuat mereka memutuskan untuk segera meninggalkan negara yang dijuluki Paris dari Timur tersebut.
Pemulangan WNI itu dibagi menjadi dua. Kelompok pertama terdiri atas 20 WNI dan satu WNA, tiba kemarin sekitar pukul 07.40 WIB di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, menggunakan pesawat Qatar Airways QR 958. Sementara kelompok kedua, yang terdiri atas 20 WNI, tiba sekitar pukul 15.40 WIB menggunakan Emirates EK 356.
Salah seorang WNI yang dievakuasi, Ni Luh Suarnadi, penumpang di kloter kedua, mengaku tak berpikir dua kali ketika ada tawaran dari KBRI Beirut. WNI asal Bali itu merasakan sendiri efek bom di dekat area tempat kerjanya di Bir Hassan, Beirut. Dia ingat betul bagaimana suara dentuman begitu keras hingga membuat bangunan sekitarnya bergetar hebat.
’’Waktu itu terjadi tanggal 27 September, pas saya pulang kerja tiba-tiba boom. Kami terkaget karena sangat kencang suaranya. Langsung bergetar itu (tanah dan bangunan, Red),’’ ungkapnya. Refleks, Ni Luh pun langsung mencari tempat berlindung. Usut punya usut, lokasi meledaknya bom tersebut hanya 10 menit dari tempatnya bekerja.
Usai menenangkan diri, dia pun menghubungi bosnya, meminta izin untuk bisa pulang ke Indonesia. Gayung bersambut, sang pemilik bisnis spa itu pun memperbolehkan dirinya pulang. Setelahnya, Ni Luh segera menghubungi KBRI Beirut. Ternyata, pihak KBRI pun tengah menyiapkan rencana evakuasi bagi para WNI di sana. ’’Karena memang sudah tidak aman. Saya merasa memang harus pulang,’’ ungkapnya.
Senada, Audy, salah seorang mahasiswa Indonesia di Lebanon, pun merasa kondisi tak lagi kondusif di sana. Area kampusnya, Jihan University yang ada di Tropoli, sejatinya jauh dari serangan. Lokasinya berada di wilayah utara. Namun, dirinya tinggal justru di Beirut. Tak ayal, suara serangan roket jadi makanannya setiap hari.
’’Sebetulnya masih aman di daerah utara, tapi kemarin sempat dengar juga, saat proses evakuasi kami ke Amman, ternyata wilayah utara juga terkena,’’ tuturnya ditemui di kesempatan yang sama.
Saking tak kondusifnya situasi Beirut, Audy sendiri sudah sempat mengungsi ke kantor KBRI Beirut sejak pekan lalu. Keputusan itu diambil usai adanya serangan besar-besaran dari Israel yang berlokasi di dekat tempat tinggalnya. Persisnya, hanya 2,4 kilometer dari lokasi bom.
Serangan tersebut yang kemudian dikonfirmasi telah menewaskan Sekjen Hizbullah Hassan Nasrallah. ’’Atas kesadaran keamanan dan karena sudah tak terkondisikan lagi, makanya kami evakuasi ke KBRI,’’ ujarnya.
Kepulangannya ke tanah air pun telah dilaporkannya ke pihak kampus. Jihan University memberikan izin bagi mereka yang ingin pulang hingga kondisi aman dan terkendali.
Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Judha Nugraha mengungkapkan, evakuasi para WNI dari Lebanon tersebut dilakukan melalui jalur darat dari Beirut menuju Amman, Yordania, via Damaskus, Syria. Prosesnya sangat kompleks dan panjang. Apalagi, sebelum pemulangan, ternyata ada WNI yang melanggar aturan keimigrasian.
Hal itu membuat proses pemulangannya harus dikondisikan terlebih dahulu dengan imigrasi setempat. ’’Dari sisi keamanan, jalur darat yang kita lalui saat gelombang evakuasi terakhir melewati jalur tersebut ternyata menjadi sasaran serangan Israel, terutama perbatasan Masnaa (antara Lebanon-Syria, Red) putus saat itu,’’ ungkap Judha ditemui usai menyambut kedatangan para WNI di Bandara Soetta, kemarin.
Dengan tibanya 40 WNI tersebut, total WNI yang sudah dievakuasi kembali ke tanah air mencapai 65 orang. Sebenyak 25 orang lainnya telah dievakuasi Agustus 2024 lalu via jalur udara. ’’Seluruh WNI yang tiba sudah kami periksa kondisinya, sehat, sehingga dapat melanjutkan perjalanan ke daerah asal masing-masing,’’ ujarnya.
Saat ini tersisa 116 WNI yang berada di Lebanon. Sebagian besar dari mereka merupakan mahasiswa, WNI yang menikah dengan warga lokal, dan pekerja migran Indonesia (PMI).
Mereka memilih tetap tinggal dengan berbagai alasan. Mulai dari lokasi kampus atau tempat tinggal yang masih jauh dari episentrum serangan. Ada juga yang takut tak bisa melanjutkan kuliah karena belum ada kejelasan dari kampus. (mia/c17/bay/jpg)