31.8 C
Jakarta
Wednesday, April 16, 2025

Peluang COVID-19

MUNGKINKAH
berwisata di masa pandemi COVID-19? Mungkin saja. Tapi cara berwisatanya sudah
berubah. Sekarang lebih privat. Tidak bisa ramai-ramai lagi. Berkerumun banyak
orang. Di tempat tertutup. Pilihan destinasinya pun berubah. Orang sekarang
lebih memilih wisata alam. Di areal terbuka. Bisa menghirup udara segar.

Kalau pun harus menginap, wisatawan kini lebih
memilih model glamping atau glamorous camping. Perkemahan modern dengan
menggabungkan esensi alam dan fasilitas ’’mewah’’. Semua tersedia di situ.
Televisi, kamar mandi di dalam, toilet, air panas, kulkas, lemari, dan
perabotan ala hotel bintang lima. Wisatawan bisa melihat gemerlap bintang dan
pendar cahaya bulan dari tempat tidur. Sensasional.

Makan pun diantar ke kamar. Tidak model buffet lagi.
Ala pesta maupun restoran yang meletakkan makanan pada meja panjang dan
pengunjung mengambil sendiri menu yang diinginkan. Bahkan, kolam renang pun
disediakan secara privat. Tergantung tipe penginapan yang dipilih. Setiap
lokasi menawarkan pengalaman berbeda. Ada pemandangan perkebunan teh, danau,
atau perkotaan.

’’Tsunami’’ pengunjung itu sudah terjadi.
Tempat-tempat glamping di Bandung Raya, Jawa Barat, misalnya. Sudah full
booked. Habis dipesan hingga Maret 2021. Sebut saja di Glamping Lake Side
Rancabali, Ciwidey, atau di Legok Kondang.

Indonesia memang kaya potensi alam. Pesonanya luar
biasa. Glamping hanya salah satu. Masih banyak wisata alam di daerah yang bisa
dikembangkan. Ada sekitar dua jutaan hektare. Dimanfaatkan sepuluh persennya
saja sudah dahsyat.

Baca Juga :  Pedagang Pasar Besar Minta Jangan Ada Lagi Penutupan

Animo masyarakat untuk mengelola wisata alam sangat besar.
Namun sebagian merasa birokrasinya terlalu panjang. Regulasinya pun dinilai
ribet. Memang harus ada kemudahan, baik dari pemda setempat maupun kementerian
terkait. Namun tetap tidak menyalahi aturan dengan tetap menjaga kelestarian
alam.

Indonesia saat ini punya 54 taman nasional. Enam di
antaranya Situs Warisan Dunia. Sembilan taman bagian dari Jaringan Cagar
Biosfer Dunia. Lima taman merupakan lahan basah yang secara internasional
dilindungi Konvensi Ramsar. Sebanyak 9 taman didominasi perairan.

Indonesia juga punya setidaknya 118 unit taman
wisata alam (TWA). TWA termasuk ketegori hutan konservasi. Bersamaan dengan
taman nasional, taman hutan raya, suaka margasatwa, dan taman buru.

Namun, masih ada beberapa wisata alam di Indonesia
yang pengelolaannya masih kurang baik. Yang membuat tempat wisata tidak
berkembang. Padahal, jika dikelola dengan baik, sektor ini bisa menjadi
pendapatan terbesar kedua setelah pajak.

Wisata alam harus bisa menumbuhkan perekonomian dan
memberikan kesejahteraan kepada masyarakat sekitar. Mereka harus mendapatkan
manfaat. Bisa dilibatkan dalam ketenagakerjaan, pembuatan souvenir, maupun
menampung produk-produk hasil pertanian warga. Sekaligus turut menjaga
kelestarian alam.

Kelestarian alam tidak bisa ditawar lagi. Sebab, wisata
alam, modalnya ya keindahan alam itu sendiri. Keindahan yang diciptakan Tuhan.
Jika alam rusak, maka jelas tidak indah. Karena tidak indah lagi, maka wisata
alam sudah tidak menarik lagi. Bahayanya lagi, kerusakan alam tentu akan
membawa dampak buruk bagi kehidupan makhluk.

Baca Juga :  BKPP Kota Usulkan 303 CPNS dan 232 P3K

Karena itu, perlu ada kesadaran bersama untuk
menjaga kelestarian alam. Baik pengelola maupun pengunjung wisata alam. Hal itu
bisa dimulai dari hal-hal kecil. Misalnya, pengelola tidak menggunakan plastik.
Baik botol plastik atau sedotan plastik. Kemudian menggantinya dengan tumbler,
gelas kayu, sedotan kertas atau kayu.

Makanan yang disajikan pun harusnya yang
nonpestisida. Supaya tidak merusak alam dan menyehatkan badan. Perlu dipikirkan
juga bahwa di areal wisata alam harus steril dari polusi kendaraan. Misalnya,
mobil pengunjung berhenti di luar pintu masuk dan disediakan parkir yang
representatif di sana. Selanjutnya, pengunjung dijemput mobil listrik atau
berbahan bakar ramah lingkungan lainnya.

Pengunjung pun perlu diedukasi dan diawasi. Agar
tidak membuang sampah sembarangan atau puntung rokok. Pada 2019 lalu, hutan
seluas 36 hektare di kawasan wisata alam Kawah Putih Ciwidey terbakar gara-gara
ada pengunjung membuang puntung rokok sembarangan. Wisata alam primadona
masyarakat itu pun akhirnya ditutup dan kembali dibuka belum lama ini.

Jika
modelnya seperti ini, taman wisata alam akan menjadi wisata alam
sesungguh-sungguhnya. Tidak hanya dinikmati, untuk senang-senang, meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, namun juga harus menyayanginya dengan menjaga
kelestariannya.

 

 

MUNGKINKAH
berwisata di masa pandemi COVID-19? Mungkin saja. Tapi cara berwisatanya sudah
berubah. Sekarang lebih privat. Tidak bisa ramai-ramai lagi. Berkerumun banyak
orang. Di tempat tertutup. Pilihan destinasinya pun berubah. Orang sekarang
lebih memilih wisata alam. Di areal terbuka. Bisa menghirup udara segar.

Kalau pun harus menginap, wisatawan kini lebih
memilih model glamping atau glamorous camping. Perkemahan modern dengan
menggabungkan esensi alam dan fasilitas ’’mewah’’. Semua tersedia di situ.
Televisi, kamar mandi di dalam, toilet, air panas, kulkas, lemari, dan
perabotan ala hotel bintang lima. Wisatawan bisa melihat gemerlap bintang dan
pendar cahaya bulan dari tempat tidur. Sensasional.

Makan pun diantar ke kamar. Tidak model buffet lagi.
Ala pesta maupun restoran yang meletakkan makanan pada meja panjang dan
pengunjung mengambil sendiri menu yang diinginkan. Bahkan, kolam renang pun
disediakan secara privat. Tergantung tipe penginapan yang dipilih. Setiap
lokasi menawarkan pengalaman berbeda. Ada pemandangan perkebunan teh, danau,
atau perkotaan.

’’Tsunami’’ pengunjung itu sudah terjadi.
Tempat-tempat glamping di Bandung Raya, Jawa Barat, misalnya. Sudah full
booked. Habis dipesan hingga Maret 2021. Sebut saja di Glamping Lake Side
Rancabali, Ciwidey, atau di Legok Kondang.

Indonesia memang kaya potensi alam. Pesonanya luar
biasa. Glamping hanya salah satu. Masih banyak wisata alam di daerah yang bisa
dikembangkan. Ada sekitar dua jutaan hektare. Dimanfaatkan sepuluh persennya
saja sudah dahsyat.

Baca Juga :  Pedagang Pasar Besar Minta Jangan Ada Lagi Penutupan

Animo masyarakat untuk mengelola wisata alam sangat besar.
Namun sebagian merasa birokrasinya terlalu panjang. Regulasinya pun dinilai
ribet. Memang harus ada kemudahan, baik dari pemda setempat maupun kementerian
terkait. Namun tetap tidak menyalahi aturan dengan tetap menjaga kelestarian
alam.

Indonesia saat ini punya 54 taman nasional. Enam di
antaranya Situs Warisan Dunia. Sembilan taman bagian dari Jaringan Cagar
Biosfer Dunia. Lima taman merupakan lahan basah yang secara internasional
dilindungi Konvensi Ramsar. Sebanyak 9 taman didominasi perairan.

Indonesia juga punya setidaknya 118 unit taman
wisata alam (TWA). TWA termasuk ketegori hutan konservasi. Bersamaan dengan
taman nasional, taman hutan raya, suaka margasatwa, dan taman buru.

Namun, masih ada beberapa wisata alam di Indonesia
yang pengelolaannya masih kurang baik. Yang membuat tempat wisata tidak
berkembang. Padahal, jika dikelola dengan baik, sektor ini bisa menjadi
pendapatan terbesar kedua setelah pajak.

Wisata alam harus bisa menumbuhkan perekonomian dan
memberikan kesejahteraan kepada masyarakat sekitar. Mereka harus mendapatkan
manfaat. Bisa dilibatkan dalam ketenagakerjaan, pembuatan souvenir, maupun
menampung produk-produk hasil pertanian warga. Sekaligus turut menjaga
kelestarian alam.

Kelestarian alam tidak bisa ditawar lagi. Sebab, wisata
alam, modalnya ya keindahan alam itu sendiri. Keindahan yang diciptakan Tuhan.
Jika alam rusak, maka jelas tidak indah. Karena tidak indah lagi, maka wisata
alam sudah tidak menarik lagi. Bahayanya lagi, kerusakan alam tentu akan
membawa dampak buruk bagi kehidupan makhluk.

Baca Juga :  BKPP Kota Usulkan 303 CPNS dan 232 P3K

Karena itu, perlu ada kesadaran bersama untuk
menjaga kelestarian alam. Baik pengelola maupun pengunjung wisata alam. Hal itu
bisa dimulai dari hal-hal kecil. Misalnya, pengelola tidak menggunakan plastik.
Baik botol plastik atau sedotan plastik. Kemudian menggantinya dengan tumbler,
gelas kayu, sedotan kertas atau kayu.

Makanan yang disajikan pun harusnya yang
nonpestisida. Supaya tidak merusak alam dan menyehatkan badan. Perlu dipikirkan
juga bahwa di areal wisata alam harus steril dari polusi kendaraan. Misalnya,
mobil pengunjung berhenti di luar pintu masuk dan disediakan parkir yang
representatif di sana. Selanjutnya, pengunjung dijemput mobil listrik atau
berbahan bakar ramah lingkungan lainnya.

Pengunjung pun perlu diedukasi dan diawasi. Agar
tidak membuang sampah sembarangan atau puntung rokok. Pada 2019 lalu, hutan
seluas 36 hektare di kawasan wisata alam Kawah Putih Ciwidey terbakar gara-gara
ada pengunjung membuang puntung rokok sembarangan. Wisata alam primadona
masyarakat itu pun akhirnya ditutup dan kembali dibuka belum lama ini.

Jika
modelnya seperti ini, taman wisata alam akan menjadi wisata alam
sesungguh-sungguhnya. Tidak hanya dinikmati, untuk senang-senang, meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, namun juga harus menyayanginya dengan menjaga
kelestariannya.

 

 

Terpopuler

Artikel Terbaru