30.8 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Perang Twitter

Trump ternyata masih sibuk
sendiri. Ia belum bisa diganggu untuk mikir perang lawan Tiongkok. Presiden
Amerika itu lagi perang sendiri: melawan Twitter. 

Jumat kemarin Presiden Donald
Trump mulai menembakkan pena-nya. Ia tandatangani dekrit presiden: agar UU 230
tahun 1996 direvisi. Kalau perlu dicabut.

Sasarannya: Twitter –sebagai
perusahaan. Juga Facebook dan YouTube. Terutama Twitter.

Dengan dekrit itu, platform seperti
Twitter bisa diperkarakan. Kalau terbukti bersalah bisa dipenjara. Atau diminta
ganti rugi.

Trump memang lagi sewot pada
Twitter. Ia menilai Twitter menyensor postingannya. 

Minggu ini saja dua kali.

Yang kali pertama postingan
tentang pemungutan suara. Di negara bagian California. Yang dilakukan secara online –akibat
Covid-19.

Trump –lewat postingan
Twitter-nya– menilai pemungutan suara dengan cara itu penuh kecurangan. 

Twitter sebenarnya tidak
memblokade postingan Presiden Trump itu. Follower Trump –yang 80 juta orang —
tetap bisa membacanya. Tapi ”redaksi” Twitter memberi catatan: perlu dicek,
apakah faktanya begitu.

Unggahan kedua: soal kerusuhan di
Minneapolis. Trump mengunggah Twitter yang dianggap mengagungkan kekerasan.
Begini bunyi twitternya: ”Begitu penjarahan dimulai penembakan juga dimulai”.

Bunyi Twitter presiden seperti
itu dianggap justru membakar kerusuhan.

Follower Trump tetap bisa membaca
postingan itu secara lengkap. Tapi ”redaksi” Twitter memberi catatan bahwa
bunyi postingan seperti itu melanggar kebijakan isi Twitter. Yakni mengagungkan
kekerasan tadi.

Di Kota Minneapolis –kota
terbesar di negara bagian Minnesota– memang terjadi kerusuhan tiga hari.
Dimulai Rabu lalu. Gegaranya: orang kulit hitam tewas setelah lehernya ditindih
dengkul polisi kulit putih di tahanan.

Baca Juga :  Dukung Pelaku UMKM Bisa Bangkit

Ciri-ciri orang itu, George
Floyd, dinilai sama dengan yang diceritakan oleh pemilik toko ke nomor
pengaduan 911. Kata pemilik toko: baru saja ada orang kulit hitam membayar
dengan uang palsu.

Tindakan polisi kulit putih itu
dikecam habis –termasuk oleh para pimpinan polisi di semua negara bagian. ”Tidak
ada pelajaran seperti itu di pendidikan polisi,” kata mereka.

Orang itu tidak bersenjata. Sudah
berhasil ditelikung pula. Pun sudah ditengkurapkan di tanah. Kok masih ditindih
lehernya dengan dengkul. Padahal, orang itu sudah berteriak-teriak minta tolong
–karena sulit bernafas.

Saya bisa merasakan suasana
Minneapolis sekarang ini. Beberapa kali saya ke sana. Itu wilayah yang
masyarakat kulit hitamnya besar sekali. Terutama keturunan Somalia. Banyak juga
imigran Suku Hmong –sejak Amerika kalah di perang Vietnam. Di kota inilah mal
terbesar di Amerika berada: Mall of America. 

Anggota DPR Amerika pertama yang
berjilbab juga dari kota ini: Ilhan Omar. 

Kota Minneapolis menjadi lebih
ramai karena mepet dengan kota besar lainnya: St Paul. 

Kini kerusuhan itu menular ke
banyak kota lainnya: termasuk Los Angeles.

Twitter akan melawan dekrit
presiden itu. Termasuk lewat pengadilan. Demikian juga Facebook dan YouTube.

Tapi banyak juga yang mendukung
Trump. Terutama dari golongan konservatif –yang mengelompok ke Partai
Republik. 

Senator dari Florida, Marco
Rubio, setuju dengan Trump. ”Kalau Twitter sudah menyeleksi konten berarti
Twitter sudah sama dengan penerbit media,” ujarnya.

Twitter, katanya, tidak lebih
dari penerbit surat kabar.

Pokoknya perang melawan sosmed
ini akan seru.

Baca Juga :  Masyarakat Diminta Patuhi Kebijakan Pemerintah

Trump memang dikenal sebagai
”Raja Twitter”. Tiap pagi pekerjaan utamanya memposting tweet. Di situ ia
mengancam. Di situ ia melecehkan lawan. Pun di situ menekan kanan-kiri.
Termasuk lewat kalimat-kalimat menyudutkan.

Selama 2,5 tahun menjadi presiden
ia sudah mengunggah 170.000 Tweet. Ia juara dunia.

Ia memang merasa tidak mungkin
lagi menggunakan media mainstream. Yang hampir
semua justru menyerangnya. Ia justru memberi nama koran seperti New York Times
dan Washington Post sebagai produsen berita palsu.

Harapannya tinggal di Twitter.
Tapi belakangan Twitter juga sudah seperti itu. Ia begitu kecewa. Ia tahu, bisa
jadi, dekrit itu tidak realistis. Begitu sulit proses merealisasikannya. Tapi
siapa tahu bisa untuk menekan Twitter. 

Tentu benar-benar masih banyak
proses yang harus dilewati. Sebelum dekrit itu bisa dilaksanakan. Termasuk DPR
harus banyak bersidang. Pun pula harus memperdebatkannya. Belum lagi kalau
harus lewat pengadilan.

Sampai pun pilpres November
nanti, dekrit itu pasti belum akan bisa dilaksanakan.

Perang itu masih panjang. Tapi
bukan berarti Trump melupakan tantangan Tiongkok. Amerika masih sibuk menggalang
kekuatan. Yang sudah mendukung –masih sebatas pernyataan– adalah koalisi
tetapnya: Canada, Australia, dan Inggris.

Jepang masih mikir-mikir. Uni
Eropa bahkan tidak akan mengekor. India juga tidak. 

Itulah hasil monitoring saya
sampai tadi malam.

Tiongkok tentu perlu mengejar
”Pertamax” Twitter-nya Trump. Siapa tahu pernyataan perangnya juga diunggah
lewat Twitter.

Saya sendiri tidak banyak tahu
lagi tentang Twitter. Yakni sejak –ah, saya lupa sejak ada peristiwa apa.
(Dahlan Iskan)

 

Trump ternyata masih sibuk
sendiri. Ia belum bisa diganggu untuk mikir perang lawan Tiongkok. Presiden
Amerika itu lagi perang sendiri: melawan Twitter. 

Jumat kemarin Presiden Donald
Trump mulai menembakkan pena-nya. Ia tandatangani dekrit presiden: agar UU 230
tahun 1996 direvisi. Kalau perlu dicabut.

Sasarannya: Twitter –sebagai
perusahaan. Juga Facebook dan YouTube. Terutama Twitter.

Dengan dekrit itu, platform seperti
Twitter bisa diperkarakan. Kalau terbukti bersalah bisa dipenjara. Atau diminta
ganti rugi.

Trump memang lagi sewot pada
Twitter. Ia menilai Twitter menyensor postingannya. 

Minggu ini saja dua kali.

Yang kali pertama postingan
tentang pemungutan suara. Di negara bagian California. Yang dilakukan secara online –akibat
Covid-19.

Trump –lewat postingan
Twitter-nya– menilai pemungutan suara dengan cara itu penuh kecurangan. 

Twitter sebenarnya tidak
memblokade postingan Presiden Trump itu. Follower Trump –yang 80 juta orang —
tetap bisa membacanya. Tapi ”redaksi” Twitter memberi catatan: perlu dicek,
apakah faktanya begitu.

Unggahan kedua: soal kerusuhan di
Minneapolis. Trump mengunggah Twitter yang dianggap mengagungkan kekerasan.
Begini bunyi twitternya: ”Begitu penjarahan dimulai penembakan juga dimulai”.

Bunyi Twitter presiden seperti
itu dianggap justru membakar kerusuhan.

Follower Trump tetap bisa membaca
postingan itu secara lengkap. Tapi ”redaksi” Twitter memberi catatan bahwa
bunyi postingan seperti itu melanggar kebijakan isi Twitter. Yakni mengagungkan
kekerasan tadi.

Di Kota Minneapolis –kota
terbesar di negara bagian Minnesota– memang terjadi kerusuhan tiga hari.
Dimulai Rabu lalu. Gegaranya: orang kulit hitam tewas setelah lehernya ditindih
dengkul polisi kulit putih di tahanan.

Baca Juga :  Dukung Pelaku UMKM Bisa Bangkit

Ciri-ciri orang itu, George
Floyd, dinilai sama dengan yang diceritakan oleh pemilik toko ke nomor
pengaduan 911. Kata pemilik toko: baru saja ada orang kulit hitam membayar
dengan uang palsu.

Tindakan polisi kulit putih itu
dikecam habis –termasuk oleh para pimpinan polisi di semua negara bagian. ”Tidak
ada pelajaran seperti itu di pendidikan polisi,” kata mereka.

Orang itu tidak bersenjata. Sudah
berhasil ditelikung pula. Pun sudah ditengkurapkan di tanah. Kok masih ditindih
lehernya dengan dengkul. Padahal, orang itu sudah berteriak-teriak minta tolong
–karena sulit bernafas.

Saya bisa merasakan suasana
Minneapolis sekarang ini. Beberapa kali saya ke sana. Itu wilayah yang
masyarakat kulit hitamnya besar sekali. Terutama keturunan Somalia. Banyak juga
imigran Suku Hmong –sejak Amerika kalah di perang Vietnam. Di kota inilah mal
terbesar di Amerika berada: Mall of America. 

Anggota DPR Amerika pertama yang
berjilbab juga dari kota ini: Ilhan Omar. 

Kota Minneapolis menjadi lebih
ramai karena mepet dengan kota besar lainnya: St Paul. 

Kini kerusuhan itu menular ke
banyak kota lainnya: termasuk Los Angeles.

Twitter akan melawan dekrit
presiden itu. Termasuk lewat pengadilan. Demikian juga Facebook dan YouTube.

Tapi banyak juga yang mendukung
Trump. Terutama dari golongan konservatif –yang mengelompok ke Partai
Republik. 

Senator dari Florida, Marco
Rubio, setuju dengan Trump. ”Kalau Twitter sudah menyeleksi konten berarti
Twitter sudah sama dengan penerbit media,” ujarnya.

Twitter, katanya, tidak lebih
dari penerbit surat kabar.

Pokoknya perang melawan sosmed
ini akan seru.

Baca Juga :  Masyarakat Diminta Patuhi Kebijakan Pemerintah

Trump memang dikenal sebagai
”Raja Twitter”. Tiap pagi pekerjaan utamanya memposting tweet. Di situ ia
mengancam. Di situ ia melecehkan lawan. Pun di situ menekan kanan-kiri.
Termasuk lewat kalimat-kalimat menyudutkan.

Selama 2,5 tahun menjadi presiden
ia sudah mengunggah 170.000 Tweet. Ia juara dunia.

Ia memang merasa tidak mungkin
lagi menggunakan media mainstream. Yang hampir
semua justru menyerangnya. Ia justru memberi nama koran seperti New York Times
dan Washington Post sebagai produsen berita palsu.

Harapannya tinggal di Twitter.
Tapi belakangan Twitter juga sudah seperti itu. Ia begitu kecewa. Ia tahu, bisa
jadi, dekrit itu tidak realistis. Begitu sulit proses merealisasikannya. Tapi
siapa tahu bisa untuk menekan Twitter. 

Tentu benar-benar masih banyak
proses yang harus dilewati. Sebelum dekrit itu bisa dilaksanakan. Termasuk DPR
harus banyak bersidang. Pun pula harus memperdebatkannya. Belum lagi kalau
harus lewat pengadilan.

Sampai pun pilpres November
nanti, dekrit itu pasti belum akan bisa dilaksanakan.

Perang itu masih panjang. Tapi
bukan berarti Trump melupakan tantangan Tiongkok. Amerika masih sibuk menggalang
kekuatan. Yang sudah mendukung –masih sebatas pernyataan– adalah koalisi
tetapnya: Canada, Australia, dan Inggris.

Jepang masih mikir-mikir. Uni
Eropa bahkan tidak akan mengekor. India juga tidak. 

Itulah hasil monitoring saya
sampai tadi malam.

Tiongkok tentu perlu mengejar
”Pertamax” Twitter-nya Trump. Siapa tahu pernyataan perangnya juga diunggah
lewat Twitter.

Saya sendiri tidak banyak tahu
lagi tentang Twitter. Yakni sejak –ah, saya lupa sejak ada peristiwa apa.
(Dahlan Iskan)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru