33.8 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

APD Ijon

Anda sudah tahu: Amerika Serikat sudah mengalahkan Tiongkok. Dari segi
jumlah penderita Covid-19.

Anda sudah tahu: Italia sudah mengalahkan
Tiongkok. Dari segi jumlah yang meninggal karena Covid-19.

Mungkin Anda belum tahu: Indonesia sudah
mengalahkan Tiongkok. Dari segi jumlah dokter yang meninggal karena Covid-19.

Di Tiongkok dengan jumlah penderita 82.000 orang, dokter yang meninggal
6 orang. Di Indonesia, dengan jumlah pasien 1.000 orang, dokter yang meninggal
9 orang.

Namun di Italia lebih banyak lagi dokter yang
meninggal.

Suatu hari, awal Maret lalu, saya menerima
kiriman WA seorang teman di Jakarta. Isinya: foto anaknya yang lagi mencoba
mengenakan jas hujan. Si anak seorang dokter muda. Dengan prestasi tinggi.

Tidak ada nada mengeluh di WA yang menyertai
foto itu, tetapi hati saya serasa tertusuk paku. Itu di Jakarta. Bagaimana di
luarnya?

Saya tahu sudah banyak kisah kepahlawanan
dokter Indonesia. Yang dengan alat minim bisa menyelamatkan banyak nyawa.
Misalnya dokter yang bertugas di Papua. Seperti yang pernah muncul di acara TV,
Kick Andy.

Tapi kali ini yang dihadapi dokter adalah wabah. Yang kelasnya tertinggi
di antara wabah yang pernah ada.

Jas hujan bukanlah senjata yang memadai bagi
dokter.

Lalu saya menerima kiriman banyak foto serupa.
Beberapa dokter di Lombok berfoto bersama: dengan seragam jas hujan.

Juga dari Pare, Kediri. Dari lain-lain lagi.

Saat itu saya lagi di kebun buah milik seorang
teman. Lagi di bawah pohon durian. Teman saya pelan-pelan mendekati saya. Takut
terjadi sesuatu pada diri saya. Namun ia tahu. Kami harus menjaga jarak.

Baca Juga :  Nestapa Gambut Nusantara

Akhirnya ia tahu. Saya lagi mengusap air mata.
Yakni setelah membuat video di bawah pohon durian itu. Sahidin, yang selalu
mendampingi saya, yang merekamnya.

Hati saya terasa tertusuk melihat dokter
mengenakan jas hujan itu. Jas hujan kok untuk menangani wabah yang demikian
berat.

Seorang teman lantas melihat video itu. Lalu
mengajak saya mencari APD. Kami sama-sama sering ke Tiongkok –beda jurusan.
Namun kali ini dia juga lockdown sukarela.

Saat itu saya lagi di kebun buah milik seorang
teman. Lagi di bawah pohon durian. Teman saya pelan-pelan mendekati saya. Takut
terjadi sesuatu pada diri saya. Namun ia tahu. Kami harus menjaga jarak.

Akhirnya ia tahu. Saya lagi mengusap air mata.
Yakni setelah membuat video di bawah pohon durian itu. Sahidin, yang selalu
mendampingi saya, yang merekamnya.

Hati saya terasa tertusuk melihat dokter
mengenakan jas hujan itu. Jas hujan kok untuk menangani wabah yang demikian
berat.

Seorang teman lantas melihat video itu. Lalu
mengajak saya mencari APD. Kami sama-sama sering ke Tiongkok –beda jurusan.
Namun kali ini dia juga lockdown sukarela.

Ternyata saya telat tahu. Pabrik tekstil
tersebut, Sritex, juga sudah mulai memproduksi APD. Belakangan.

Saya pun langsung menghubungi bos besarnya.
Saya pun sudah bisa memesan APD di Sritex. Tentu, harus kirim uang dulu.

Setelah itu barulah APD-nya dibikinkan. APD
pesanan itu baru bisa diterima dua minggu setelah uang dikirim.

Baca Juga :  Disuntik Vaksin, Bupati Kapuas Tak Merasa Sakit

Saya pun langsung mengirim uang. Kini saya lagi
menunggu kiriman APD tersebut.

Harganya memang Rp 1 juta/buah. Namun bisa
dicuci 10 kali –dengan air panas 40 derajat. Lalu disetrika dengan tingkat
panas medium.

Saya pikir ini lebih murah daripada Rp 250.000
sekali pakai. Made in
Indonesia
 pula.

Tentu pesanan saya ini amatiran. Hanya sesuai
dengan jumlah uang yang ada.

Namun setidaknya kita sudah lebih tenang. Ada
pabrik APD di dalam negeri. Dengan kapasitas 3.000 buah/hari. Yang masih bisa
ditingkatkan menjadi 5.000 buah/hari. Berarti sebulan bisa produksi 150.000
potong.

Tidak ada alasan lagi bagi siapa pun untuk
tetap menggunakan jas hujan. Semoga juga tidak menjadi isu lagi: dokter yang
tidak dilengkapi APD tidak akan diizinkan menangani pasien Covid-19 –seperti
yang dinyatakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Tentu, APD juga harus untuk perawat. Jumlah
perawat yang tertular jauh lebih besar dari dokter. Pun di Tiongkok.

Di Asia, perawat lebih menderita –pun secara
batin. Pun di Singapura. Pun di India.

Contohnya di Jakarta itu: perawat diminta
pindah tempat indekos. Dianggap akan menularkan penyakit.

Di Singapura perawat sulit menyegat taksi.
Media di Singapura menulis pengalaman itu. Sampai taksi yang ke-5 pun belum
mau.

Setidaknya di Indonesia kini sudah ada yang memproduksi
APD besar-besaran.

Tantangan terbesarnya tinggal di birokrasinya:
bisakah mengalihkan anggaran proyek ke pembelian APD. Terutama kalau komisinya
ternyata sudah terlanjur diijon.(dahlan
iskan)

Anda sudah tahu: Amerika Serikat sudah mengalahkan Tiongkok. Dari segi
jumlah penderita Covid-19.

Anda sudah tahu: Italia sudah mengalahkan
Tiongkok. Dari segi jumlah yang meninggal karena Covid-19.

Mungkin Anda belum tahu: Indonesia sudah
mengalahkan Tiongkok. Dari segi jumlah dokter yang meninggal karena Covid-19.

Di Tiongkok dengan jumlah penderita 82.000 orang, dokter yang meninggal
6 orang. Di Indonesia, dengan jumlah pasien 1.000 orang, dokter yang meninggal
9 orang.

Namun di Italia lebih banyak lagi dokter yang
meninggal.

Suatu hari, awal Maret lalu, saya menerima
kiriman WA seorang teman di Jakarta. Isinya: foto anaknya yang lagi mencoba
mengenakan jas hujan. Si anak seorang dokter muda. Dengan prestasi tinggi.

Tidak ada nada mengeluh di WA yang menyertai
foto itu, tetapi hati saya serasa tertusuk paku. Itu di Jakarta. Bagaimana di
luarnya?

Saya tahu sudah banyak kisah kepahlawanan
dokter Indonesia. Yang dengan alat minim bisa menyelamatkan banyak nyawa.
Misalnya dokter yang bertugas di Papua. Seperti yang pernah muncul di acara TV,
Kick Andy.

Tapi kali ini yang dihadapi dokter adalah wabah. Yang kelasnya tertinggi
di antara wabah yang pernah ada.

Jas hujan bukanlah senjata yang memadai bagi
dokter.

Lalu saya menerima kiriman banyak foto serupa.
Beberapa dokter di Lombok berfoto bersama: dengan seragam jas hujan.

Juga dari Pare, Kediri. Dari lain-lain lagi.

Saat itu saya lagi di kebun buah milik seorang
teman. Lagi di bawah pohon durian. Teman saya pelan-pelan mendekati saya. Takut
terjadi sesuatu pada diri saya. Namun ia tahu. Kami harus menjaga jarak.

Baca Juga :  Nestapa Gambut Nusantara

Akhirnya ia tahu. Saya lagi mengusap air mata.
Yakni setelah membuat video di bawah pohon durian itu. Sahidin, yang selalu
mendampingi saya, yang merekamnya.

Hati saya terasa tertusuk melihat dokter
mengenakan jas hujan itu. Jas hujan kok untuk menangani wabah yang demikian
berat.

Seorang teman lantas melihat video itu. Lalu
mengajak saya mencari APD. Kami sama-sama sering ke Tiongkok –beda jurusan.
Namun kali ini dia juga lockdown sukarela.

Saat itu saya lagi di kebun buah milik seorang
teman. Lagi di bawah pohon durian. Teman saya pelan-pelan mendekati saya. Takut
terjadi sesuatu pada diri saya. Namun ia tahu. Kami harus menjaga jarak.

Akhirnya ia tahu. Saya lagi mengusap air mata.
Yakni setelah membuat video di bawah pohon durian itu. Sahidin, yang selalu
mendampingi saya, yang merekamnya.

Hati saya terasa tertusuk melihat dokter
mengenakan jas hujan itu. Jas hujan kok untuk menangani wabah yang demikian
berat.

Seorang teman lantas melihat video itu. Lalu
mengajak saya mencari APD. Kami sama-sama sering ke Tiongkok –beda jurusan.
Namun kali ini dia juga lockdown sukarela.

Ternyata saya telat tahu. Pabrik tekstil
tersebut, Sritex, juga sudah mulai memproduksi APD. Belakangan.

Saya pun langsung menghubungi bos besarnya.
Saya pun sudah bisa memesan APD di Sritex. Tentu, harus kirim uang dulu.

Setelah itu barulah APD-nya dibikinkan. APD
pesanan itu baru bisa diterima dua minggu setelah uang dikirim.

Baca Juga :  Disuntik Vaksin, Bupati Kapuas Tak Merasa Sakit

Saya pun langsung mengirim uang. Kini saya lagi
menunggu kiriman APD tersebut.

Harganya memang Rp 1 juta/buah. Namun bisa
dicuci 10 kali –dengan air panas 40 derajat. Lalu disetrika dengan tingkat
panas medium.

Saya pikir ini lebih murah daripada Rp 250.000
sekali pakai. Made in
Indonesia
 pula.

Tentu pesanan saya ini amatiran. Hanya sesuai
dengan jumlah uang yang ada.

Namun setidaknya kita sudah lebih tenang. Ada
pabrik APD di dalam negeri. Dengan kapasitas 3.000 buah/hari. Yang masih bisa
ditingkatkan menjadi 5.000 buah/hari. Berarti sebulan bisa produksi 150.000
potong.

Tidak ada alasan lagi bagi siapa pun untuk
tetap menggunakan jas hujan. Semoga juga tidak menjadi isu lagi: dokter yang
tidak dilengkapi APD tidak akan diizinkan menangani pasien Covid-19 –seperti
yang dinyatakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Tentu, APD juga harus untuk perawat. Jumlah
perawat yang tertular jauh lebih besar dari dokter. Pun di Tiongkok.

Di Asia, perawat lebih menderita –pun secara
batin. Pun di Singapura. Pun di India.

Contohnya di Jakarta itu: perawat diminta
pindah tempat indekos. Dianggap akan menularkan penyakit.

Di Singapura perawat sulit menyegat taksi.
Media di Singapura menulis pengalaman itu. Sampai taksi yang ke-5 pun belum
mau.

Setidaknya di Indonesia kini sudah ada yang memproduksi
APD besar-besaran.

Tantangan terbesarnya tinggal di birokrasinya:
bisakah mengalihkan anggaran proyek ke pembelian APD. Terutama kalau komisinya
ternyata sudah terlanjur diijon.(dahlan
iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru