30.8 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Zakia Fachrur

Sehari kemarin saya sibuk
menghubungi mahasiswa yang lagi kuliah di Wuhan. Atau yang di kota-kita lain
sekitar Wuhan –di Provinsi Hubei.

Tentu saya ingin tahu keadaan
mereka. Di saat virus Wuhan lagi mewabah. Yang sampai kemarin sudah membuat
lebih 1.200 orang terjangkit –52 di antaranya meninggal dunia.

Banyak di antara mahasiswa itu
yang berangkat lewat yayasan kami, ITCC. Misalnya Zakia Ayu Alvita Abidin
Putri, asal pulau Nunukan, Kalimantan Utara.

Zakia sebenarnya tidak kuliah di
Wuhan. Tapi di Kota Huashi. Masih di Provinsi Hubei yang ibukotanya Wuhan. Kota
Huashi sekitar 100 Km di selatan Wuhan. Sudah dekat dengan Provinsi Jiangxi,
yang ibu kotanya Nanchang.

Di Huashi Zakia ambil prodi
kedokteran. Kini sudah semester delapan.

“Orang tua saya minta agar
saya pulang,” ujar Zakia.

Orang tuanyi di Nunukan seorang
pegawai negeri. Bapak-ibunyi terus mengikuti perkembangan virus Wuhan yang
mengerikan itu. Dan anak mereka lagi di pusat virus itu.

“Tapi saya tidak mungkin
pulang. Bahkan keluar dari Kota Wuhan ini saja tidak mungkin. Kota ini di-lock,”
ujar Zakia.

Kampus Zakia kan di Huashi,
kenapa dia di Wuhan?

Ini kan hari libur panjang. Tahun
baru Imlek. Zakia ingin ke Beijing. Dia belum pernah tahu ibu kota Tiongkok
itu.

Di Beijing Zakia liburan selama
lima hari, sampai tanggal 17 Desember. Dari Beijing Zakia ke Wuhan. Ada teman
lain lagi yang ingin dia kunjungi.

Itulah temannyi dari Surabaya.
Yang lagi kuliah di Wuhan. Nama mereka: Fitrak dan Faiz. Dari Unesa Surabaya.

Dan lagi untuk pulang ke Huashi
dia memang harus lewat Wuhan.

Baca Juga :  Bupati Lepas Bantuan Korban Banjir di Pulang Pisau dan Palangka Raya

Ibu kota Hubei itu memang pusat
transportasi di Tiongkok Tengah. Ke mana pun harus melewati Wuhan.

Di Wuhan Zakia tinggal di asrama
mahasiswa kenalannya yang asal Surabaya itu. Mereka sesama aktivis mahasiswa
asal Indonesia. Zakia memang sudah sering ke Wuhan. Untuk rapat-rapat
organisasi mahasiswa Indonesia Tiongkok.

Ketika sudah lima hari di Wuhan
tiba-tiba kota itu diisolasi. Yang sudah di Wuhan tidak lagi bisa ke mana-mana.

“Saya sebenarnya juga takut
sekarang ini. Tapi saya kuat-kuatkan,” ujar Zakia.

Saya juga menghubungi Fachrur
Razi, mahasiswa kedokteran asal Sampang, Madura. Yang satu kamar dengan
mahasiswa sesama asal Sampang.

Fachrur baru semester tiga
–segera ke semester empat. Orang tuanya juga ketakutan akan nasib anaknya.
Minta sang anak pulang. “Saya juga takut di sini. Tapi bagaimana
lagi,” ujar Fachrur.

Tempat kuliah Fachrur ini memang
di Provinsi Hubei tapi di Kota Xianning –sekitar 100 di utara Wuhan. Kota ini
juga diisolasi. Fachrur tidak bisa ke mana-mana.

Tiap hari di kamar saja. Sudah
dua minggu ini tidak berani keluar kamar.

Udara lagi dingin, 4 derajat
Celsius. Fachrur tidak berani menghidupkan mesin pemanas. “Takut tagihan
listriknya mahal,” ujar Fachrur.

Ia memilih memakai baju tebal.
Dan selimut tebal.

Di kamarnya itu tidak pula ada
televisi.

Di kamar pun Fachrur memakai masker.
“Untuk kehati-hatian,” katanya.

Masker itu didapat dari
universitas. Tiap penghuni asrama diberi masker 20 buah. “Saya masih punya
15,” ujar Fachrur.

Tapi Zakia sudah berani keluar
asrama. “Saya pakai masker rangkap dua,” ujarnya sambil ketawa.

Baca Juga :  Video Tong

Itu dia lakukan kemarin. Ketika
bahan makan di kamar temannyi itu habis. Zakia berjalan sekitar 10 menit. Ke
toko yang sudah mulai buka di dekat asrama. “Tokonya orang Arab,”
ujar Zakia.

Sepanjang jalan menuju toko itu
Zakia merasakan betapa sepi Kota Wuhan. Tapi masih dia lihat juga beberapa
orang berjalan. “Yang berani jalan-jalan itu saya lihat orang berkulit
hitam dari Afrika,” ujar Zakia.

Dia juga melihat ada satu dua
mobil yang lewat. Tapi dibanding biasanya tentu bisa dibilang senyap.

Kini tidak hanya virus corona
yang harus diperangi di Wuhan. Tapi juga medsos yang menyebarkan hoax.

Misalnya ada yang memviralkan
khasiat bunga tertentu. Yang katanya bisa sebagai obat ajaib untuk melawan
virus itu.

Bahkan ada yang menganjurkan agar
menyalakan mercon yang dirangkai panjang di depan rumah. Agar virus di rumah
itu mati semua.

Delapan orang sudah ditangkap
polisi di Provinsi Hubei akibat hoax seperti itu.

Dalam suasana kepanikan memang
ada orang yang lebih emosional. Lalu menyebarkan informasi yang dilebih-lebihkan.
Termasuk menggambarkan Kota Wuhan menjadi seperti kota zombie: orang-orang
jatuh bergelimpangan di jalan-jalan terkena virus. Bergeletakan mati di situ.

Memang Kota Wuhan menjadi sepi
sekarang ini. Orang dilarang meninggalkan kota. Orang luar juga dilarang masuk
kota. Padahal Kota Wuhan itu besar sekali –sebesar Jakarta. Dengan penduduk 11
juta. Termasuk sekitar 200 orang mahasiswa Indonesia yang belajar di sana.

Mahasiswa seperti Zakia dan
Fachrur kini lagi mengikuti ujian kehidupan –mendahului ujian akhir
mereka.(Dahlan Iskan) 

Sehari kemarin saya sibuk
menghubungi mahasiswa yang lagi kuliah di Wuhan. Atau yang di kota-kita lain
sekitar Wuhan –di Provinsi Hubei.

Tentu saya ingin tahu keadaan
mereka. Di saat virus Wuhan lagi mewabah. Yang sampai kemarin sudah membuat
lebih 1.200 orang terjangkit –52 di antaranya meninggal dunia.

Banyak di antara mahasiswa itu
yang berangkat lewat yayasan kami, ITCC. Misalnya Zakia Ayu Alvita Abidin
Putri, asal pulau Nunukan, Kalimantan Utara.

Zakia sebenarnya tidak kuliah di
Wuhan. Tapi di Kota Huashi. Masih di Provinsi Hubei yang ibukotanya Wuhan. Kota
Huashi sekitar 100 Km di selatan Wuhan. Sudah dekat dengan Provinsi Jiangxi,
yang ibu kotanya Nanchang.

Di Huashi Zakia ambil prodi
kedokteran. Kini sudah semester delapan.

“Orang tua saya minta agar
saya pulang,” ujar Zakia.

Orang tuanyi di Nunukan seorang
pegawai negeri. Bapak-ibunyi terus mengikuti perkembangan virus Wuhan yang
mengerikan itu. Dan anak mereka lagi di pusat virus itu.

“Tapi saya tidak mungkin
pulang. Bahkan keluar dari Kota Wuhan ini saja tidak mungkin. Kota ini di-lock,”
ujar Zakia.

Kampus Zakia kan di Huashi,
kenapa dia di Wuhan?

Ini kan hari libur panjang. Tahun
baru Imlek. Zakia ingin ke Beijing. Dia belum pernah tahu ibu kota Tiongkok
itu.

Di Beijing Zakia liburan selama
lima hari, sampai tanggal 17 Desember. Dari Beijing Zakia ke Wuhan. Ada teman
lain lagi yang ingin dia kunjungi.

Itulah temannyi dari Surabaya.
Yang lagi kuliah di Wuhan. Nama mereka: Fitrak dan Faiz. Dari Unesa Surabaya.

Dan lagi untuk pulang ke Huashi
dia memang harus lewat Wuhan.

Baca Juga :  Bupati Lepas Bantuan Korban Banjir di Pulang Pisau dan Palangka Raya

Ibu kota Hubei itu memang pusat
transportasi di Tiongkok Tengah. Ke mana pun harus melewati Wuhan.

Di Wuhan Zakia tinggal di asrama
mahasiswa kenalannya yang asal Surabaya itu. Mereka sesama aktivis mahasiswa
asal Indonesia. Zakia memang sudah sering ke Wuhan. Untuk rapat-rapat
organisasi mahasiswa Indonesia Tiongkok.

Ketika sudah lima hari di Wuhan
tiba-tiba kota itu diisolasi. Yang sudah di Wuhan tidak lagi bisa ke mana-mana.

“Saya sebenarnya juga takut
sekarang ini. Tapi saya kuat-kuatkan,” ujar Zakia.

Saya juga menghubungi Fachrur
Razi, mahasiswa kedokteran asal Sampang, Madura. Yang satu kamar dengan
mahasiswa sesama asal Sampang.

Fachrur baru semester tiga
–segera ke semester empat. Orang tuanya juga ketakutan akan nasib anaknya.
Minta sang anak pulang. “Saya juga takut di sini. Tapi bagaimana
lagi,” ujar Fachrur.

Tempat kuliah Fachrur ini memang
di Provinsi Hubei tapi di Kota Xianning –sekitar 100 di utara Wuhan. Kota ini
juga diisolasi. Fachrur tidak bisa ke mana-mana.

Tiap hari di kamar saja. Sudah
dua minggu ini tidak berani keluar kamar.

Udara lagi dingin, 4 derajat
Celsius. Fachrur tidak berani menghidupkan mesin pemanas. “Takut tagihan
listriknya mahal,” ujar Fachrur.

Ia memilih memakai baju tebal.
Dan selimut tebal.

Di kamarnya itu tidak pula ada
televisi.

Di kamar pun Fachrur memakai masker.
“Untuk kehati-hatian,” katanya.

Masker itu didapat dari
universitas. Tiap penghuni asrama diberi masker 20 buah. “Saya masih punya
15,” ujar Fachrur.

Tapi Zakia sudah berani keluar
asrama. “Saya pakai masker rangkap dua,” ujarnya sambil ketawa.

Baca Juga :  Video Tong

Itu dia lakukan kemarin. Ketika
bahan makan di kamar temannyi itu habis. Zakia berjalan sekitar 10 menit. Ke
toko yang sudah mulai buka di dekat asrama. “Tokonya orang Arab,”
ujar Zakia.

Sepanjang jalan menuju toko itu
Zakia merasakan betapa sepi Kota Wuhan. Tapi masih dia lihat juga beberapa
orang berjalan. “Yang berani jalan-jalan itu saya lihat orang berkulit
hitam dari Afrika,” ujar Zakia.

Dia juga melihat ada satu dua
mobil yang lewat. Tapi dibanding biasanya tentu bisa dibilang senyap.

Kini tidak hanya virus corona
yang harus diperangi di Wuhan. Tapi juga medsos yang menyebarkan hoax.

Misalnya ada yang memviralkan
khasiat bunga tertentu. Yang katanya bisa sebagai obat ajaib untuk melawan
virus itu.

Bahkan ada yang menganjurkan agar
menyalakan mercon yang dirangkai panjang di depan rumah. Agar virus di rumah
itu mati semua.

Delapan orang sudah ditangkap
polisi di Provinsi Hubei akibat hoax seperti itu.

Dalam suasana kepanikan memang
ada orang yang lebih emosional. Lalu menyebarkan informasi yang dilebih-lebihkan.
Termasuk menggambarkan Kota Wuhan menjadi seperti kota zombie: orang-orang
jatuh bergelimpangan di jalan-jalan terkena virus. Bergeletakan mati di situ.

Memang Kota Wuhan menjadi sepi
sekarang ini. Orang dilarang meninggalkan kota. Orang luar juga dilarang masuk
kota. Padahal Kota Wuhan itu besar sekali –sebesar Jakarta. Dengan penduduk 11
juta. Termasuk sekitar 200 orang mahasiswa Indonesia yang belajar di sana.

Mahasiswa seperti Zakia dan
Fachrur kini lagi mengikuti ujian kehidupan –mendahului ujian akhir
mereka.(Dahlan Iskan) 

Terpopuler

Artikel Terbaru