26.5 C
Jakarta
Saturday, November 23, 2024

Berenang Tenggelam

SETELAH vaksin Covid-19 ditemukan, ternyata kita tidak boleh egois minta untuk divaksinasi duluan. Pun seandainya WHO sudah mengumumkan vaksin buatan Tiongkok akan diizinkan beredar.

Padahal berita gembira itu belum sepasti itu –meski pun kelihatannya akan menuju ke sana. Sampai-sampai sudah membuat harga saham tiga perusahaan farmasi BUMN melejit tiba-tiba di bursa saham Jakarta. Naik luar biasa: sekitar 30 persen. Yakni Indofarma, Kimia Farma, dan Paphros.

Sedang saham perusahaan farmasi swasta seperti Kalbe Farma tetap jalan di tempat.

Dan ilmuwan wanita India ini tiba-tiba dapat simpati luas di Tiongkok –meski dua negara itu lagi bersitegang di perbatasan.

Ilmuwan India itulah yang kemarin disebut-sebut membuat pengumuman yang melegakan Tiongkok: WHO sudah menyetujui vaksin buatan Tiongkok.

Padahal yang disampaikan Soumya baru tahap harapan agar kalau nanti diizinkan baiknya Tiongkok membuka kesempatan ke seluruh dunia untuk bisa mendapatkan vaksin tersebut.

Tapi ucapannya memang penuh harapan. Apalagi ia ilmuwan senior di WHO.

Nama ilmuwan itu: Soumya Swaminathan Yadav. Jabatannya: ilmuwan WHO. Dia tetap jadi ilmuwan WHO meski baru pensiun sebagai pejabat tinggi di WHO.

Dia seorang wanita. Umur 60 tahun. Lahir di Chennai India. Satu keluarga ilmuwan semua. Bapak-ibunyi pasangan sama-sama profesor. Kakak-adiknyi profesor. Suaminyi juga profesor.

Sebelum persetujuan itu diumumkan, kini WHO harus mengatur kapan vaksinasi boleh dilakukan di seluruh dunia.

Masing-masing negara tidak boleh berebut duluan.

Baca Juga :  Siap Bersinergi Membangun Daerah

Itu menyangkut masalah strategi pemberantasan pandemi sedunia. Agar Covid-19 lenyap dari muka bumi.

Prinsip ilmiahnya: vaksinasi itu harus dilakukan serentak dalam waktu yang sama.

Kenapa kita tidak boleh berebut duluan melakukan vaksinasi?

Itu karena daya tahan imunisasi itu terbatas. Sekitar 1 tahun. Setelah itu imun kita terhadap Covid-19 habis. Saat imun habis itu tidak boleh ada virus Covid-19 yang masih gentayangan di dalam tubuh sebagian orang. Bisa jadi virus itu menyerang lagi dengan serangan yang lebih ganas.

Demikian juga imun yang sudah muncul setelah seseorang sembuh dari Covid-19. Mereka tidak imun selamanya. Saya belum menemukan literatur berapa lama imunitas seseorang yang sembuh dari Covid bisa bertahan. Ada yang bilang 3 bulan. Ada yang bilang 6 bulan. Mungkin tergantung kondisi badan masing-masing. Ada orang yang ”boros” imun. Ada juga yang ”hemat”. Pun ada yang saat terkena Covid imunnya muncul dalam jumlah besar. Ada yang kemunculan imunnya tidak banyak.

Manusia begitu dibuat berbeda-beda.

Tapi dalam hal imunisasi Civid-19 ini semua harus taat pada aturan bersama –yang dibuat WHO.

Ada istilah yang bisa menyadarkan kita untuk tidak egois: kita ini akan berenang bersama atau tenggelam bersama.

Kalau sebagian dari kita melakukan vaksinasi duluan, kelihatannya kita hebat: tetap bisa berenang menuju pantai. Sedang yang lain tenggelam. Tapi akhirnya kita akan tenggelam juga sebelum sampai di pantai.

Vaksinasi harus bersamaan waktu. Tentu tidak harus di tanggal dan jam yang sama. Setidaknya dalam satu kurun. Misalnya, harus selesai seluruh dunia dalam waktu 1 tahun.

Baca Juga :  Perhatikan Sektor Infrastruktur, Bantu Masyarakat Miskin

Gerakan vaksinasi sudah harus selesai mencapai 70 persen penduduk tiap-tiap wilayah sebelum kelompok yang pertama divaksinasi kehabisan imunitasnya.

Masalahnya begitu jelas: dari mana negera miskin bisa beli vaksin untuk setidaknya 70 persen penduduknya.

Kali ini negara kaya tidak bisa mentang-mentang kaya. Itulah sebabnya semua teman saya di Tiongkok belum ada yang vaksinasi. Padahal, semula, saya menduga mereka akan vaksinasi duluan.

WHO sudah mendata: ada 92 negara yang tidak mampu membeli vaksin. Kalau mereka dipaksa untuk membeli vaksin, bisa-bisa mereka mati duluan sebelum vaksin tiba: mati kelaparan.

Yang mampu mandiri hanya 80 negara. Tiongkok, Rusia, Amerika sudah menyatakan bisa beli sendiri. Tentu juga Indonesia?

Untuk 92 negara miskin tersebut diperlukan dana 15 miliar dolar. Sekitar Rp 20.000 triliun. Dana yang ada di WHO baru terkumpul 3 miliar dolar.

Sekaya-kaya Bill Gate, sumbangannya hanya cukup untuk membeli 300 juta unit.

Padahal sebelum jatah untuk negara-negara miskin tersebut tersedia, vaksinasi tidak bisa dimulai.

Ups… Ini yang tidak kita bayangkan sebelumnya. Tapi ini juga sekaligus membuat kita untuk lebih sabar.

Kita ingin bisa berenang bersama.

Entahlah kalau Donald Trump –yang memutuskan Amerika keluar dari WHO– akan berenang sendirian, menuju Wuhan. (Dahlan Iskan)

SETELAH vaksin Covid-19 ditemukan, ternyata kita tidak boleh egois minta untuk divaksinasi duluan. Pun seandainya WHO sudah mengumumkan vaksin buatan Tiongkok akan diizinkan beredar.

Padahal berita gembira itu belum sepasti itu –meski pun kelihatannya akan menuju ke sana. Sampai-sampai sudah membuat harga saham tiga perusahaan farmasi BUMN melejit tiba-tiba di bursa saham Jakarta. Naik luar biasa: sekitar 30 persen. Yakni Indofarma, Kimia Farma, dan Paphros.

Sedang saham perusahaan farmasi swasta seperti Kalbe Farma tetap jalan di tempat.

Dan ilmuwan wanita India ini tiba-tiba dapat simpati luas di Tiongkok –meski dua negara itu lagi bersitegang di perbatasan.

Ilmuwan India itulah yang kemarin disebut-sebut membuat pengumuman yang melegakan Tiongkok: WHO sudah menyetujui vaksin buatan Tiongkok.

Padahal yang disampaikan Soumya baru tahap harapan agar kalau nanti diizinkan baiknya Tiongkok membuka kesempatan ke seluruh dunia untuk bisa mendapatkan vaksin tersebut.

Tapi ucapannya memang penuh harapan. Apalagi ia ilmuwan senior di WHO.

Nama ilmuwan itu: Soumya Swaminathan Yadav. Jabatannya: ilmuwan WHO. Dia tetap jadi ilmuwan WHO meski baru pensiun sebagai pejabat tinggi di WHO.

Dia seorang wanita. Umur 60 tahun. Lahir di Chennai India. Satu keluarga ilmuwan semua. Bapak-ibunyi pasangan sama-sama profesor. Kakak-adiknyi profesor. Suaminyi juga profesor.

Sebelum persetujuan itu diumumkan, kini WHO harus mengatur kapan vaksinasi boleh dilakukan di seluruh dunia.

Masing-masing negara tidak boleh berebut duluan.

Baca Juga :  Siap Bersinergi Membangun Daerah

Itu menyangkut masalah strategi pemberantasan pandemi sedunia. Agar Covid-19 lenyap dari muka bumi.

Prinsip ilmiahnya: vaksinasi itu harus dilakukan serentak dalam waktu yang sama.

Kenapa kita tidak boleh berebut duluan melakukan vaksinasi?

Itu karena daya tahan imunisasi itu terbatas. Sekitar 1 tahun. Setelah itu imun kita terhadap Covid-19 habis. Saat imun habis itu tidak boleh ada virus Covid-19 yang masih gentayangan di dalam tubuh sebagian orang. Bisa jadi virus itu menyerang lagi dengan serangan yang lebih ganas.

Demikian juga imun yang sudah muncul setelah seseorang sembuh dari Covid-19. Mereka tidak imun selamanya. Saya belum menemukan literatur berapa lama imunitas seseorang yang sembuh dari Covid bisa bertahan. Ada yang bilang 3 bulan. Ada yang bilang 6 bulan. Mungkin tergantung kondisi badan masing-masing. Ada orang yang ”boros” imun. Ada juga yang ”hemat”. Pun ada yang saat terkena Covid imunnya muncul dalam jumlah besar. Ada yang kemunculan imunnya tidak banyak.

Manusia begitu dibuat berbeda-beda.

Tapi dalam hal imunisasi Civid-19 ini semua harus taat pada aturan bersama –yang dibuat WHO.

Ada istilah yang bisa menyadarkan kita untuk tidak egois: kita ini akan berenang bersama atau tenggelam bersama.

Kalau sebagian dari kita melakukan vaksinasi duluan, kelihatannya kita hebat: tetap bisa berenang menuju pantai. Sedang yang lain tenggelam. Tapi akhirnya kita akan tenggelam juga sebelum sampai di pantai.

Vaksinasi harus bersamaan waktu. Tentu tidak harus di tanggal dan jam yang sama. Setidaknya dalam satu kurun. Misalnya, harus selesai seluruh dunia dalam waktu 1 tahun.

Baca Juga :  Perhatikan Sektor Infrastruktur, Bantu Masyarakat Miskin

Gerakan vaksinasi sudah harus selesai mencapai 70 persen penduduk tiap-tiap wilayah sebelum kelompok yang pertama divaksinasi kehabisan imunitasnya.

Masalahnya begitu jelas: dari mana negera miskin bisa beli vaksin untuk setidaknya 70 persen penduduknya.

Kali ini negara kaya tidak bisa mentang-mentang kaya. Itulah sebabnya semua teman saya di Tiongkok belum ada yang vaksinasi. Padahal, semula, saya menduga mereka akan vaksinasi duluan.

WHO sudah mendata: ada 92 negara yang tidak mampu membeli vaksin. Kalau mereka dipaksa untuk membeli vaksin, bisa-bisa mereka mati duluan sebelum vaksin tiba: mati kelaparan.

Yang mampu mandiri hanya 80 negara. Tiongkok, Rusia, Amerika sudah menyatakan bisa beli sendiri. Tentu juga Indonesia?

Untuk 92 negara miskin tersebut diperlukan dana 15 miliar dolar. Sekitar Rp 20.000 triliun. Dana yang ada di WHO baru terkumpul 3 miliar dolar.

Sekaya-kaya Bill Gate, sumbangannya hanya cukup untuk membeli 300 juta unit.

Padahal sebelum jatah untuk negara-negara miskin tersebut tersedia, vaksinasi tidak bisa dimulai.

Ups… Ini yang tidak kita bayangkan sebelumnya. Tapi ini juga sekaligus membuat kita untuk lebih sabar.

Kita ingin bisa berenang bersama.

Entahlah kalau Donald Trump –yang memutuskan Amerika keluar dari WHO– akan berenang sendirian, menuju Wuhan. (Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru