Saya harus meminta maaf. Kok
saya telat mengetahui ide besar ini: pool test Covid-19.
Coba sejak awal tahu ini maka
sebenarnya lockdown tidak penting. PSBB tidak
penting. Social
distancing tidak penting. Berhenti berbisnis tidak penting.
Asal ide pool
test ini bisa dijalankan. Covid-19 pun bisa diatasi. Bisnis
tetap bisa berjalan.
Pemilik ide ini adalah
–lagi-lagi– ‘anak’ ITB (Institut Teknologi Bandung). Ia alumnus 1998. Teknik
elektro. Masternya juga di ITB. Juga teknik elektro.
Nama lengkapnya: Hafidz Ary
Nurhadi. Waktu kuliah Hafidz tinggal di asrama Masjid Salman. Ia menjadi ketua
di asrama itu.
“Itu bukan ide saya. Tapi
saya membuat modifikasinya,” ujar Hafidz kepada saya kemarin.
Ide asalnya sendiri dari
Jerman.
Prinsip yang digunakan adalah
matematika dan algoritma.
Ide dasarnya: jangan sampai
yang tidak kena Covid-19 ikut terkarantina. Seperti sekarang ini. Pun di
Amerika. Ekonomi pun macet.
Selama ini kita yang tidak
bervirus diperlakukan seperti ber-Covid. Akhirnya semuanya macet. Semua
tersiksa. Sampai tidak boleh mudik –hanya boleh pulang kampung.
Dasar pemikirannya juga sama:
penanganan terbaik Covid-19 adalah: semua penduduk dites swab.
Tapi itu tidak realistis.
Mahalnya bukan main.
Alat untuk mengambil mukus
sendiri sebenarnya murah. Mukus itu bentuknya lendir. Diambil dari bagian yang
sangat dalam di dalam hidung. Di dekat tenggorokan.
Mukus itu lantas diproses.
Proses itulah yang mahal. Satu orang bisa Rp 1 juta. Satu kota Jakarta bisa Rp
12 triliun.
Lihatlah kronologi proses tes
swab ini.
Pertama, mukus itu harus di
masukkan ke dalam cairan VTM –virus transfer medium.
Berarti harus membeli cairan
VTM itu. Yang harganya mahal.
Mukus yang sudah bercampur VTM
dimasukkan ke reagen. Berarti harus membeli reagen. Yang harganya juga mahal.
Mukus dari satu orang itu,
dimasukkan VTM yang khusus disediakan untuk satu orang itu, dimasukkan lagi ke
reagen yang juga khusus untuk satu orang itu. Maka mahal-mahal-mahal.
Ide Hafidz adalah –maafkan
saya perlu narik nafas panjang dulu: tes itu jangan dilakukan orang per orang!
Lakukanlah tes itu perlokasi
besar. Misalnya Pulau Bali. Pulau wisata penting ini bisa jadi satu lokasi
terpisah. Atau Pulau Lombok. Atau mana pun.
Kalau untuk Jawa kelihatannya
harus se-Jawa sekaligus.
Atau bisa saja ada bupati yang
siap menjalankannya untuk satu kabupatennya. Dengan konsekwensi kabupaten itu
diisolasi dulu. Paling hanya satu minggu. Penduduk tetap bebas beraktivitas apa
pun. Asal di dalam kabupaten itu.
Biayanya tidak semahal tes swab
orang-per-orang. Nanti ada hitungannya. Di bagian bawah.
Menurut Hafidz semua orang di
satu wilayah yang sudah ditentukan harus diambil mukus mereka. Sekali ambil
untuk dua sampel.
Mengambil mukus sekaligus untuk
dua sampel hampir tidak menambah kesibukan. Maupun biaya.
Maka ambillah tiap orang dua
sampel mukus. Jangan hanya satu sampel.
Bagilah satu pulau atau satu
kabupaten ke dalam wilayah-wilayah terkecil. Baiknya, wilayah kecil itu adalah
satu RT.
Maka tiap RT di satu kabupaten
menjadi satu pool terkecil. Mukus semua warga RT itu
diambil bersama-sama –mungkin perlu waktu tiga jam.
Untuk satu RT – -katakanlah 150
orang– hanya diperlukan VTM satu unit. Mukus orang satu RT dimasukkan ke satu
VTM saja.
Berikutnya VTM yang sudah
tercampur mukus orang satu RT itu dimasukkan reagen.
Kalau hasilnya positif, barulah
satu RT itu di-lockdown. Atau di PSBB.
Kalau hasilnya negatif berarti
satu RT itu negatif semua. Merdeka!
Tapi jangan bebas dulu. Tunggu
hasil RT sebelah. Dan sebelahnya lagi. Dan sebelahnya lagi.
Dalam tiga hari satu kabupaten
sudah bisa diketahui hasilnya.
Berarti satu kabupaten itu
telah merdeka.
Bagaimana kalau di satu RT
hasilnya positif?
Itulah gunanya mengambil mukus
dua sampel. Kan sampel mukus kedua masih ada. Maka khusus untuk RT-Positif
lakukanlah proses berikut: sampel mukus individual tadi dimasukkan VTM
individual. Lalu dimasukkan reagen individual.
Maka ketahuanlah siapa di
RT-Positif tersebut yang ternyata positif.
Dengan demikian tidak lagi
harus satu RT di-lockdown. Cukuplah warga yang positif itu
saja.
Jelaslah: kabupaten itu tidak
perlu lockdown.
Demikian juga kabupaten sebelah. Pun kabupaten sebelah lagi. Se-Jawa.
Bagi pulau seperti Bali atau
Lombok atau yang setara itu lebih mudah lagi.
Itulah yang disebut pool-test
system.
Saya sudah minta maaf ke
Hafidz. Kok baru tadi malam meneleponnya. Padahal ia sudah menghubungi saya 16
jam sebelumnya.
Waktu pertama ide ini
disampaikan, saya berterus terang: perlu waktu untuk memahaminya. Saya bukan
ahli matematika –rapor pelajaran berhitung saya selalu merah. Saya tidak paham
algoritma. Saya agak pusing memahami rumus-rumus simulasi yang ia kirim lewat
WA.
Tapi sejak 16 jam itu saya
sudah bisa memahami roh persoalannya: ini penting sekali. Ini mendasar sekali.
Tinggal memutuskan: mau atau
tidak mau.
Hafidz, anak Jakarta (SD Johar
Baru, SMAN 8) ini memang istemewa. Ia bersama temannya –alumni Informatika
ITB– mendirikan satu perusahaan: membuat program komputerisasi penilaian ujian
sekolah.
Saat ia membuat itu baru ada
satu program sejenis di Indonesia –milik dosennya. Dan ia membuat yang beda,
yang lebih sempurna –meski ia tidak mau mengatakan itu.
Masih banyak lagi sepak
terjangnya. Dua tahun lalu ia mendirikan sekolah dasar (SD) Galenia di Jalan
Dago –tidak jauh dari ITB.
Keistimewaan SD itu: mata
pelajarannya hanya tiga.
“Hanya tiga mata
pelajaran?” tanya saya takut salah dengar.
“Iya. Hanya tiga,”
jawab Hafidz.
“Apa saja itu?”
“Bahasa Inggris, matematika dan
Bahasa Indonesia,” jawabnya.
Ia merasa saya heran atas mata
pelajaran nomor tiga itu. Maka Hafidz buru-buru menjelaskan: pelajaran Bahasa
Indonesia perlu agar lulusannya nanti pandai berkomunikasi, baik lisan maupun
tulisan.
Oh… Rupanya Hafidz sadar.
Utamanya karena ia sendiri orang teknik –elektro pula: orang teknik lemah
dalam sastra.
Sebenarnya ada satu mata
pelajaran lagi. Tapi ia tidak menyebutnya pelajaran: renang.
“Itu pelajaran
olahraga,” kata saya.
“Bukan,” jawabnya,
“Itu sarana untuk membuat lebih percaya diri”.
Orang yang tidak bisa berenang,
katanya, kurang percaya diri. Apalagi kalau sudah harus menyeberang laut. Dan
lagi “pelajaran” renang itu hanya tiga bulan. Setelah bisa renang ya
sudah.
Ups… Ada pelajaran lain lagi:
menghafal Alquran. Tapi ia tidak mau menyebutkan itu mata pelajaran. Itu
ibadah.
“Anda sendiri hafal
Alquran?” tanya saya.
“Belum. Masih dalam
proses,” katanya merendah.
Dalam hal pool-test Covid-19
tadi Hafidz sebenarnya menyampaikan kepada saya hitung-hitungannya secara
rinci.
Saya pikir menarik juga untuk
disampaikan di bagian bawah DI’s Way hari ini. Tapi ketika tulisan sampai di
sini saya berpikir ulang: untuk apa ya ditulis di sini? Bukankah belum tentu
ide ini bisa diterima? Wong, Hafidz sudah ke mana-mana pun belum mendapat
respon menggembirakan?
Melaksanakan ide Hafidz ini
memang sulit. Tapi ada yang lebih sulit lagi: melahirkan kemauan itu.(Dahlan
Iskan)
*
Berdasarkan suara terbanyak pembaca DI’s Way yang dikirimkan via kolom komentar
hingga pukul 21, akhirnya diputuskan DI’s Way tetap tayang pukul 4 selama
Ramadan. Ramadan Datang, DI’s Way Tayang Jam Berapa?