26.4 C
Jakarta
Sunday, November 24, 2024

Obat Covid

Semua tahu: belum ada obat untuk Covid-19. Namun apakah pasien tidak
perlu diobati?

Para dokter pasti berada dalam dilema yang luar
biasa. Lalu harus membuat keputusan. Dokter tidak boleh terus menerus dalam
keraguan.

Saat akhirnya membuat keputusan dokter sudah
memikirkannya berdasar keahliannya. Bukan berdasar perintah atau instruksi atau
tekanan.

Itulah sebabnya pekerjaan dokter disebut ‘profesi’. Bukan pekerjaan
biasa. Mereka harus punya ilmu di bidang itu dan harus punya otonomi untuk
membuat keputusan.

Sampailah dokter pada putusan: harus diberi
obat apakah pasien ini. Padahal obat untuk Covid-19 belum ada.

Mungkin juga dokter sudah tahu ada obat yang
lebih baik dari itu. Apalagi di zaman internet ini. Dokter-dokter muda langsung
tahu perkembangan terbaru di dunia luar.

Namun apakah obat yang lebih baik itu sudah ada
di Indonesia?

Maka saya bisa memaklumi dokter akan memberi
obat apa pun yang menurut mereka terbaik di antara yang tersedia.

Saya pun mendapat info penting ini: di sebuah rumah sakit di Jakarta
pasien Covid-19 diberi obat Oseltamivir 2×75 mg. Ditambah vitamin C. Juga Azithromycin
2×500 mg atau Levofloxacin 1×750 mg.

Bagi pasien yang sudah agak berat ditambah
Chloroquine sulphate 2×500 mg. Lalu ditambah lagi obat lain berdasar penyakit
lain yang ditemukan di pasien Covid-19.

Misalnya ditambah Hepatoprotektor bagi pasien
yang punya masalah liver. Misalnya SGPT/SGOT-nya tinggi.

Mungkin dokter di rumah sakit lain berbuat lain
lagi. Atau sama. Sesuai dengan keilmuan dan otonomi mereka.

Yang lebih pusing adalah presiden –terlihat
dari sikap Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Ia harus membuat keputusan
tetapi tidak punya ilmunya.

Dan keputusan itu harus bisa sekalian
mendongkrak popularitasnya. Presiden harus terlihat jagoan di situasi krisis
seperti ini.

Maka Trump mendeklarasikan diri sebagai
‘Presiden di masa Perang’. Dan ia harus memberi semangat rakyatnya untuk
optimistis.

Lalu harus pula bisa menutup kesan bahwa ia
sangat telat dalam menangani krisis Covid-19 ini.

Baca Juga :  Enam Temuan Menarik Survei Terbaru Charta Politika di Pilgub Kalteng 2

Untuk menutup kelemahan itu ia carilah kambing
hitam. Sekaligus banyak: Gubernur New York, Partai Demokrat, dan Tiongkok.

Untuk menggerakkan optimisme dan semangat
rakyat ia pun berpidato dengan gagah: sudah menemukan obat untuk Covid-19.
Sudah bisa langsung diproduksi.

Hanya karena ia maka prosedur izin produksinya
bisa dipercepat. Soal perizinan beres.

Pokoknya rakyat segera dapat obatnya. Nama obat
itu: Chloroquine. Dan Hydroxychloroquine.

Hah?

Semua ahli obat lantas menertawakannya –dalam
hati. Juga di medsos.

Nama obat yang disebut Trump yang pertama itu
adalah obat produksi tahun 1940-an. Itu adalah obat malaria.

Trump ngotot bahwa FDA sudah mengesahkannya
sebagai obat Covid-19. Wartawan pun mendesaknya: kapan persetujuan itu
diberikan?

Dijawab: pokoknya sudah disetujui.

Maka FDA pun buru-buru klarifikasi. Dengan cara
yang halus. “FDA sedang mengkajinya,” ujar pemimpin tertingginya.

Mungkin Trump memang tidak pernah kena malaria.
Sehingga tidak begitu kenal dengan nama Chloroquine.

Juga tidak tahu apa saja efek sampingannya.
Terutama terhadap pendengaran dan mata.

Ahli di Amerika sendiri sudah lama sekali
menyempurnakan Chloroquine dengan produk baru: Hydrochloroquine.

Namun seorang presiden memang harus mengambil
keputusan. Seperti juga dokter yang tidak mungkin membiarkan pasiennya
tergeletak menunggu begitu saja datangnya obat yang belum ditemukan itu.

Begitu juga Presiden Indonesia Jokowi. Harus
membuat keputusan: membeli jutaan obat bikinan Jepang, Avigan. Yang sebenarnya
juga bukan obat Covid-19.

Trump kali ini memang terlihat panik. Kecaman
membanjiri ke alamatnya. Termasuk dari internal partainya.

Ia sudah beda sekali dengan dua bulan lalu.
Saat Covid-19 sudah meluas di Tiongkok. Saat itu Trump ditanya wartawan:
mungkinkah covid-19 menjadi pandemik.

“Tidak. Sama sekali tidak,” jawabnya.

Ketika ditanya bukankah sudah ada penduduk
Amerika yang mulai terkena, Trump tetap kekeh. “Itu kan hanya satu orang
yang datang dari Tiongkok,” ujarnya.

Sampai sekarang yang sudah nyata-nyata
melakukan uji coba obat Covid-17 barulah Tiongkok dan Amerika.

Baca Juga :  Pemko Diharapkan Miliki Perda Tamu Wajib Lapor

Tiongkok melakukannya Februari lalu. Obat itu
disuntikkan kepada dokter dan perawat militer yang ditugaskan di rumah sakit
khusus darurat di gedung olahraga Wuhan.

Hasilnya: sampai tugas mereka selesai minggu
lalu tidak satu pun dokter dan perawat militer itu yang tertular.

Namun, normalnya, obat itu masih harus melewati
banyak uji coba lagi. Terutama untuk menentukan ada tidaknya efek samping dan
serapa banyak dosis yang diperlukan.

Mayjen Chen Wei, ilmuwan wanita yang mengepalai
proyek penemuan obat Covid-19 itu Sabtu kemarin memberikan keterangan baru.

Percobaan lanjutan sudah dilakukan kepada
relawan dari tiga kota: Wuchang, Hongshan, and Donghu Scenic Area. Semuanya di
sekitar Wuhan.

Percobaan itu dilakukan dalam tiga kelompok.
Yakni kelompok dosis rendah, dosis sedang, dan dosis tinggi. Masing-masing
kelompok 26 orang relawan.

Yang di Amerika baru dicoba minggu lalu.
Terhadap 45 orang relawan yang berbadan sehat. Sama dengan yang di Tiongkok:
disuntikkan di lengan atas.

Relawan yang sama masih akan dijadikan uji coba
kedua: sebulan setelah penyuntikan pertama. Lalu diajukan perizinannya ke FDA
–yang biasanya paling cepat 1 tahun.

Akhirnya Trump tahu yang digembar-gemborkannya
itu obat malaria zaman dulu. Lantas apa komentarnya?

“Setidaknya sudah diketahui tidak ada yang
meninggal akibat obat itu,” katanya.

Seandainya saya terkena Covid-19 dan dokter
hanya bisa memberikan Hydrochloroquine-nya Trump atau Avigan-nya Jokowi, saya
pun akan meminumnya.

Daripada tergeletak begitu saja di rumah sakit
sampai tahun 2021 –saat obat anti-Covid-19 dijual kepada masyarakat.

Namun mengapa saya ikut bicara itu? Seolah itu
yang terpenting?

Bukankah yang terbaik adalah mencegah jangan
kian banyak yang terkena Covid-19? Dokter yang ada sudah kelelahan.

Demikian juga perawat. Bagaimana kalau pasien
bertambah terus? Dalam jumlah besar?

Ampuuuuuuun…, Dok. Kami seperti sengaja
membuat kalian gemetaran menghadapi hari-hari depan.(***)

 

Semua tahu: belum ada obat untuk Covid-19. Namun apakah pasien tidak
perlu diobati?

Para dokter pasti berada dalam dilema yang luar
biasa. Lalu harus membuat keputusan. Dokter tidak boleh terus menerus dalam
keraguan.

Saat akhirnya membuat keputusan dokter sudah
memikirkannya berdasar keahliannya. Bukan berdasar perintah atau instruksi atau
tekanan.

Itulah sebabnya pekerjaan dokter disebut ‘profesi’. Bukan pekerjaan
biasa. Mereka harus punya ilmu di bidang itu dan harus punya otonomi untuk
membuat keputusan.

Sampailah dokter pada putusan: harus diberi
obat apakah pasien ini. Padahal obat untuk Covid-19 belum ada.

Mungkin juga dokter sudah tahu ada obat yang
lebih baik dari itu. Apalagi di zaman internet ini. Dokter-dokter muda langsung
tahu perkembangan terbaru di dunia luar.

Namun apakah obat yang lebih baik itu sudah ada
di Indonesia?

Maka saya bisa memaklumi dokter akan memberi
obat apa pun yang menurut mereka terbaik di antara yang tersedia.

Saya pun mendapat info penting ini: di sebuah rumah sakit di Jakarta
pasien Covid-19 diberi obat Oseltamivir 2×75 mg. Ditambah vitamin C. Juga Azithromycin
2×500 mg atau Levofloxacin 1×750 mg.

Bagi pasien yang sudah agak berat ditambah
Chloroquine sulphate 2×500 mg. Lalu ditambah lagi obat lain berdasar penyakit
lain yang ditemukan di pasien Covid-19.

Misalnya ditambah Hepatoprotektor bagi pasien
yang punya masalah liver. Misalnya SGPT/SGOT-nya tinggi.

Mungkin dokter di rumah sakit lain berbuat lain
lagi. Atau sama. Sesuai dengan keilmuan dan otonomi mereka.

Yang lebih pusing adalah presiden –terlihat
dari sikap Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Ia harus membuat keputusan
tetapi tidak punya ilmunya.

Dan keputusan itu harus bisa sekalian
mendongkrak popularitasnya. Presiden harus terlihat jagoan di situasi krisis
seperti ini.

Maka Trump mendeklarasikan diri sebagai
‘Presiden di masa Perang’. Dan ia harus memberi semangat rakyatnya untuk
optimistis.

Lalu harus pula bisa menutup kesan bahwa ia
sangat telat dalam menangani krisis Covid-19 ini.

Baca Juga :  Enam Temuan Menarik Survei Terbaru Charta Politika di Pilgub Kalteng 2

Untuk menutup kelemahan itu ia carilah kambing
hitam. Sekaligus banyak: Gubernur New York, Partai Demokrat, dan Tiongkok.

Untuk menggerakkan optimisme dan semangat
rakyat ia pun berpidato dengan gagah: sudah menemukan obat untuk Covid-19.
Sudah bisa langsung diproduksi.

Hanya karena ia maka prosedur izin produksinya
bisa dipercepat. Soal perizinan beres.

Pokoknya rakyat segera dapat obatnya. Nama obat
itu: Chloroquine. Dan Hydroxychloroquine.

Hah?

Semua ahli obat lantas menertawakannya –dalam
hati. Juga di medsos.

Nama obat yang disebut Trump yang pertama itu
adalah obat produksi tahun 1940-an. Itu adalah obat malaria.

Trump ngotot bahwa FDA sudah mengesahkannya
sebagai obat Covid-19. Wartawan pun mendesaknya: kapan persetujuan itu
diberikan?

Dijawab: pokoknya sudah disetujui.

Maka FDA pun buru-buru klarifikasi. Dengan cara
yang halus. “FDA sedang mengkajinya,” ujar pemimpin tertingginya.

Mungkin Trump memang tidak pernah kena malaria.
Sehingga tidak begitu kenal dengan nama Chloroquine.

Juga tidak tahu apa saja efek sampingannya.
Terutama terhadap pendengaran dan mata.

Ahli di Amerika sendiri sudah lama sekali
menyempurnakan Chloroquine dengan produk baru: Hydrochloroquine.

Namun seorang presiden memang harus mengambil
keputusan. Seperti juga dokter yang tidak mungkin membiarkan pasiennya
tergeletak menunggu begitu saja datangnya obat yang belum ditemukan itu.

Begitu juga Presiden Indonesia Jokowi. Harus
membuat keputusan: membeli jutaan obat bikinan Jepang, Avigan. Yang sebenarnya
juga bukan obat Covid-19.

Trump kali ini memang terlihat panik. Kecaman
membanjiri ke alamatnya. Termasuk dari internal partainya.

Ia sudah beda sekali dengan dua bulan lalu.
Saat Covid-19 sudah meluas di Tiongkok. Saat itu Trump ditanya wartawan:
mungkinkah covid-19 menjadi pandemik.

“Tidak. Sama sekali tidak,” jawabnya.

Ketika ditanya bukankah sudah ada penduduk
Amerika yang mulai terkena, Trump tetap kekeh. “Itu kan hanya satu orang
yang datang dari Tiongkok,” ujarnya.

Sampai sekarang yang sudah nyata-nyata
melakukan uji coba obat Covid-17 barulah Tiongkok dan Amerika.

Baca Juga :  Pemko Diharapkan Miliki Perda Tamu Wajib Lapor

Tiongkok melakukannya Februari lalu. Obat itu
disuntikkan kepada dokter dan perawat militer yang ditugaskan di rumah sakit
khusus darurat di gedung olahraga Wuhan.

Hasilnya: sampai tugas mereka selesai minggu
lalu tidak satu pun dokter dan perawat militer itu yang tertular.

Namun, normalnya, obat itu masih harus melewati
banyak uji coba lagi. Terutama untuk menentukan ada tidaknya efek samping dan
serapa banyak dosis yang diperlukan.

Mayjen Chen Wei, ilmuwan wanita yang mengepalai
proyek penemuan obat Covid-19 itu Sabtu kemarin memberikan keterangan baru.

Percobaan lanjutan sudah dilakukan kepada
relawan dari tiga kota: Wuchang, Hongshan, and Donghu Scenic Area. Semuanya di
sekitar Wuhan.

Percobaan itu dilakukan dalam tiga kelompok.
Yakni kelompok dosis rendah, dosis sedang, dan dosis tinggi. Masing-masing
kelompok 26 orang relawan.

Yang di Amerika baru dicoba minggu lalu.
Terhadap 45 orang relawan yang berbadan sehat. Sama dengan yang di Tiongkok:
disuntikkan di lengan atas.

Relawan yang sama masih akan dijadikan uji coba
kedua: sebulan setelah penyuntikan pertama. Lalu diajukan perizinannya ke FDA
–yang biasanya paling cepat 1 tahun.

Akhirnya Trump tahu yang digembar-gemborkannya
itu obat malaria zaman dulu. Lantas apa komentarnya?

“Setidaknya sudah diketahui tidak ada yang
meninggal akibat obat itu,” katanya.

Seandainya saya terkena Covid-19 dan dokter
hanya bisa memberikan Hydrochloroquine-nya Trump atau Avigan-nya Jokowi, saya
pun akan meminumnya.

Daripada tergeletak begitu saja di rumah sakit
sampai tahun 2021 –saat obat anti-Covid-19 dijual kepada masyarakat.

Namun mengapa saya ikut bicara itu? Seolah itu
yang terpenting?

Bukankah yang terbaik adalah mencegah jangan
kian banyak yang terkena Covid-19? Dokter yang ada sudah kelelahan.

Demikian juga perawat. Bagaimana kalau pasien
bertambah terus? Dalam jumlah besar?

Ampuuuuuuun…, Dok. Kami seperti sengaja
membuat kalian gemetaran menghadapi hari-hari depan.(***)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru