32.6 C
Jakarta
Wednesday, November 27, 2024

Mengembalikan Batik sebagai Produk Budaya

“Sejak lahir, menjalani hidup di dunia
hingga meninggal, diselimuti dengan kain batik. Batik sangat dekat dengan kehidupan.
Khususnya dalam lingkungan keluarga”
(Sri Sultan
Hamengku Buwana X)

Maraknya
minat terhadap batik sebagai sebuah karya seni rupa tradisi saat ini sering
kali  belum diimbangi dengan pemahaman
terhadap batik itu sendiri. Informasi dan referensi tentang segala sesuatu
tentang batik Nusantara masih menjadi misteri bagi sebagian masyarakat yang
mulai mencintai batik. Mayoritas pemakai batik klasik memilih batik karena
keindahannya saja, tanpa mengetahui ihwal motif batik yang dipakainya.

Kadang
seseorang bahkan memakai baju batik tidak sebagaimana fungsinya. Misalnya pada
saat menghadiri sebuah acara pesta atau acara resmi lainnya, ia justru memakai
motif batik yang seharusnya dipakai untuk menghadiri acara pemakaman atau untuk
lurup (penutup jenazah). Sebenarnya, semua motif batik diciptakan dengan
berbagai maksud dan harapan yang baik. Tidak satu pun  yang memiliki tujuan dan harapan buruk.
Namun, masing-masing motif memiliki kegunaan tersendiri, kapan ia harus
dipakai.

Ketika
berbicara tentang motif, artinya kita juga akan berbicara tentang maksud
filosofinya. Ketika bicara mengenai kegunaan batik, kita juga akan membicarakan
ornamen dan maknanya. Di lingkungan keraton, batik memiliki peranan sangat
penting dalam menentukan status dan tanda pangkat seseorang karena dahulu belum
ada tanpa pangkat, maka busanalah yang menunjukkan identitas seseorang dalam
struktur kebangsawanan.

Saat
ini bangsa-bangsa lain telah mengakui bahwa batik Indonesia adalah tekstil
dengan teknik surface design (teknik
hias permukaan) yang paling luas penggunaanya di dunia. Dalam wujud jarit (kain
panjang), selendang, gendongan, sarung, udheng (ikat kepala), batik merupakan
busana yang digunakan kaum wanita dan pria sejak berabad-abad yang lalu, yang
tetap lekat dalam kehidupan manusia.

Sangat
sulit untuk menemukan selembar kain batik sebagai bukti arkeologi tentang
keberadaan batik di masa silam. Namun, bukti sejarah tentang keberadaan cara
mewarnai dan menghias kain dengan teknik perintang warna (resist dyeing), bentuk ragam hias dekoratif, simbolis, keseimbangan
dinamis yang menjiwai bentuk batik sudah dikenal pada masa prasejarah.
(Hasanuddin, 2001)

Baca Juga :  Masyarakat Bisa Jaga Kebersihan Lingkungan

Batik
dalam masyarakat memang tidak terlepas dari ajaran filsafat yang secara
tersirat menjelaskan hubungan mikrokosmos, metakosmos dan makrokosmos.
Pandangan tentang makrokosmos mendudukkan manusia sebagai bagian dari semesta.
Manusia harus menyadari tempat dan kedudukannya dalam jagat raya ini.
Metakosmos yang biasa disebut  “mandala”
adalah konsep yang mengacu pada “dunia tengah”, dunia perantara antara manusia
dan semesta atau Tuhan. Sedangkan mikrokosmos adalah dunia batin, dunia dalam
diri manusia. Begitu pula filosofi yang terkandung dalam batik Benang Bintik
batang Garing khas Kalimantan Tengah. Batang Garing atau pohon kehidupan yang
melambangkan hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan horizontal antar sesama
manusia.

Seni
batik bukan sekadar untuk melatih keterampilan melukis dan sungging, tetapi
sesungguhnya memberikan pendidikan etika dan estetika. Seni batik menjadi
sangat penting dalam kehidupan, karena kain batik telah terjalin erat ke dalam
lingkaran budaya hidup masyarakat. 
Selain itu batik juga punya makna dalam menandai peristiwa penting dalam
kehidupan manusia yang sangat menjunjung tinggi dan menghargai nilai-nilai etis
dan estetis dalam berpakaian. Oleh karenanya, kaita sering mendengar pepatah “Ajinig diri saka lati, ajining raga saka
busana
” (kehormatan diri terletak pada kata-kata, kehormatan badan terletak
pada pakaian). 

Batik
memiliki makna filosofis berdasarkan pandangan hidup sebagai suatu kearifan
lokal. Para empu memnghasilakan rancangan batik melalui proses pengendapan
diri, meditasi untuk mendapatkan bisikan-bisikan hati nuraninya, yang
diibaratkan guna mendapatkan wahyu (dalam istilah masa kini mirip dengan
ide/kreativitas/inovasi, tetapi bermakna sangat dalam).

Membatik
bagi perajin batik seharusnya bukan sekadar aktivitas fisik semata, tetapi
mempunyai dimensi ke dalam, mengandung doa atau harapan dan pelajaran.
Keindahan sehelai batik mempunyai dua aspek, yaitu keindahan yang dapat dilihat
secara kasat mata yang diwujudkan melalui ragam hias batik dan paduan warnanya,
dimana keindahan semacam ini disebut sebagai keindahan visual. Unsur ini dapat
dinikmati melalui penglihatan atau pancaindra.

Baca Juga :  Rahasia Bukan

Selain
itu keindahan batik juga mempunyai makna filosofi atau disebut juga keindahan
jiwa yang diperoleh karena susunan arti lambang ornamen-ornamennya yang membuat
gambaran sesuai dengan faham kehidupan. Oleh karena itu, usaha dalam mencipta
sebuah wastra batik jangan hanya melibatkan usaha secara fisik saja, melainkan perlu
disertai usaha dari sisi batin dari para perajin batik.

Selain
puasa, dilakukan pula pembacaan doa-doa. Melalui ritual tersebut, diharapkan
proses pembuatan batik akan berlangsung lancar, syukur bisa menghasilkan batik
bernilai tinggi yang bisa memancarkan aura bagi pemakainya atau “pecah pamore”.
Meski tidak disebutkan gamblang, rangkaian ritual yang mengiringi proses
membatik juga terungkap dari beberapa sumber abdi kriya yang turun-temurun
mendapat cerita eyang buyut dan leluhurnya. Ritual dilakukan secara bertahap
dari sebelum proses pembuatan batik dimulai. Terlebih apabila batik tersebut
akan diagem (dikenakan) oleh raja, gubernur,
bupati, atau lurah. Sebagai langkah awal, mengadakan wilujengan (selamatan), lalu dilanjutkan dengan melakukan puasa.

Terlepas
percaya atau tidak, ada satu pengalaman tersendiri yang dialami oleh Larasati
Soeliantoro Soeleman, pemilik Galeri Batik, saat akan membuat kampuh (dodot) untuk pernikahan salah satu putrinya. Saat itu, wanita yang
mengoleksi batik-batik klasik ini meminta tolong perajin batik untuk membuatkan
kain tersebut.

Saat
proses berlangsung, ternyata lilin batik tidak bisa keluar dari lubang canting
meski berulang kali dibersihkan. Perajin batik yang mengerjakan akhirnya
mengusulkan untuk mengadakan pembacaan doa-doa dulu sebelum proses batik
dilanjutkan. Ternyata setelah ritual tersebut akhirnya pekerjaan membuat seni
batik berlangsung lancar.

Tingkat
keseriusan dan konsentrasi penciptaan seperti inilah yang menjadikan motif
batik yang dihasilkan diyakini menjadi sebuah karya yang lebih memiliki “ruh”
serta motifnya mengandung filosofi tertentu sebagaimana yang diharapkan dan
didoakan pembuatnya. ***

(Penulis adalah Guru Seni Budaya; Alumnus Universitas Negeri Malang
dan STKIP PGRI Tulungagung)

“Sejak lahir, menjalani hidup di dunia
hingga meninggal, diselimuti dengan kain batik. Batik sangat dekat dengan kehidupan.
Khususnya dalam lingkungan keluarga”
(Sri Sultan
Hamengku Buwana X)

Maraknya
minat terhadap batik sebagai sebuah karya seni rupa tradisi saat ini sering
kali  belum diimbangi dengan pemahaman
terhadap batik itu sendiri. Informasi dan referensi tentang segala sesuatu
tentang batik Nusantara masih menjadi misteri bagi sebagian masyarakat yang
mulai mencintai batik. Mayoritas pemakai batik klasik memilih batik karena
keindahannya saja, tanpa mengetahui ihwal motif batik yang dipakainya.

Kadang
seseorang bahkan memakai baju batik tidak sebagaimana fungsinya. Misalnya pada
saat menghadiri sebuah acara pesta atau acara resmi lainnya, ia justru memakai
motif batik yang seharusnya dipakai untuk menghadiri acara pemakaman atau untuk
lurup (penutup jenazah). Sebenarnya, semua motif batik diciptakan dengan
berbagai maksud dan harapan yang baik. Tidak satu pun  yang memiliki tujuan dan harapan buruk.
Namun, masing-masing motif memiliki kegunaan tersendiri, kapan ia harus
dipakai.

Ketika
berbicara tentang motif, artinya kita juga akan berbicara tentang maksud
filosofinya. Ketika bicara mengenai kegunaan batik, kita juga akan membicarakan
ornamen dan maknanya. Di lingkungan keraton, batik memiliki peranan sangat
penting dalam menentukan status dan tanda pangkat seseorang karena dahulu belum
ada tanpa pangkat, maka busanalah yang menunjukkan identitas seseorang dalam
struktur kebangsawanan.

Saat
ini bangsa-bangsa lain telah mengakui bahwa batik Indonesia adalah tekstil
dengan teknik surface design (teknik
hias permukaan) yang paling luas penggunaanya di dunia. Dalam wujud jarit (kain
panjang), selendang, gendongan, sarung, udheng (ikat kepala), batik merupakan
busana yang digunakan kaum wanita dan pria sejak berabad-abad yang lalu, yang
tetap lekat dalam kehidupan manusia.

Sangat
sulit untuk menemukan selembar kain batik sebagai bukti arkeologi tentang
keberadaan batik di masa silam. Namun, bukti sejarah tentang keberadaan cara
mewarnai dan menghias kain dengan teknik perintang warna (resist dyeing), bentuk ragam hias dekoratif, simbolis, keseimbangan
dinamis yang menjiwai bentuk batik sudah dikenal pada masa prasejarah.
(Hasanuddin, 2001)

Baca Juga :  Masyarakat Bisa Jaga Kebersihan Lingkungan

Batik
dalam masyarakat memang tidak terlepas dari ajaran filsafat yang secara
tersirat menjelaskan hubungan mikrokosmos, metakosmos dan makrokosmos.
Pandangan tentang makrokosmos mendudukkan manusia sebagai bagian dari semesta.
Manusia harus menyadari tempat dan kedudukannya dalam jagat raya ini.
Metakosmos yang biasa disebut  “mandala”
adalah konsep yang mengacu pada “dunia tengah”, dunia perantara antara manusia
dan semesta atau Tuhan. Sedangkan mikrokosmos adalah dunia batin, dunia dalam
diri manusia. Begitu pula filosofi yang terkandung dalam batik Benang Bintik
batang Garing khas Kalimantan Tengah. Batang Garing atau pohon kehidupan yang
melambangkan hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan horizontal antar sesama
manusia.

Seni
batik bukan sekadar untuk melatih keterampilan melukis dan sungging, tetapi
sesungguhnya memberikan pendidikan etika dan estetika. Seni batik menjadi
sangat penting dalam kehidupan, karena kain batik telah terjalin erat ke dalam
lingkaran budaya hidup masyarakat. 
Selain itu batik juga punya makna dalam menandai peristiwa penting dalam
kehidupan manusia yang sangat menjunjung tinggi dan menghargai nilai-nilai etis
dan estetis dalam berpakaian. Oleh karenanya, kaita sering mendengar pepatah “Ajinig diri saka lati, ajining raga saka
busana
” (kehormatan diri terletak pada kata-kata, kehormatan badan terletak
pada pakaian). 

Batik
memiliki makna filosofis berdasarkan pandangan hidup sebagai suatu kearifan
lokal. Para empu memnghasilakan rancangan batik melalui proses pengendapan
diri, meditasi untuk mendapatkan bisikan-bisikan hati nuraninya, yang
diibaratkan guna mendapatkan wahyu (dalam istilah masa kini mirip dengan
ide/kreativitas/inovasi, tetapi bermakna sangat dalam).

Membatik
bagi perajin batik seharusnya bukan sekadar aktivitas fisik semata, tetapi
mempunyai dimensi ke dalam, mengandung doa atau harapan dan pelajaran.
Keindahan sehelai batik mempunyai dua aspek, yaitu keindahan yang dapat dilihat
secara kasat mata yang diwujudkan melalui ragam hias batik dan paduan warnanya,
dimana keindahan semacam ini disebut sebagai keindahan visual. Unsur ini dapat
dinikmati melalui penglihatan atau pancaindra.

Baca Juga :  Rahasia Bukan

Selain
itu keindahan batik juga mempunyai makna filosofi atau disebut juga keindahan
jiwa yang diperoleh karena susunan arti lambang ornamen-ornamennya yang membuat
gambaran sesuai dengan faham kehidupan. Oleh karena itu, usaha dalam mencipta
sebuah wastra batik jangan hanya melibatkan usaha secara fisik saja, melainkan perlu
disertai usaha dari sisi batin dari para perajin batik.

Selain
puasa, dilakukan pula pembacaan doa-doa. Melalui ritual tersebut, diharapkan
proses pembuatan batik akan berlangsung lancar, syukur bisa menghasilkan batik
bernilai tinggi yang bisa memancarkan aura bagi pemakainya atau “pecah pamore”.
Meski tidak disebutkan gamblang, rangkaian ritual yang mengiringi proses
membatik juga terungkap dari beberapa sumber abdi kriya yang turun-temurun
mendapat cerita eyang buyut dan leluhurnya. Ritual dilakukan secara bertahap
dari sebelum proses pembuatan batik dimulai. Terlebih apabila batik tersebut
akan diagem (dikenakan) oleh raja, gubernur,
bupati, atau lurah. Sebagai langkah awal, mengadakan wilujengan (selamatan), lalu dilanjutkan dengan melakukan puasa.

Terlepas
percaya atau tidak, ada satu pengalaman tersendiri yang dialami oleh Larasati
Soeliantoro Soeleman, pemilik Galeri Batik, saat akan membuat kampuh (dodot) untuk pernikahan salah satu putrinya. Saat itu, wanita yang
mengoleksi batik-batik klasik ini meminta tolong perajin batik untuk membuatkan
kain tersebut.

Saat
proses berlangsung, ternyata lilin batik tidak bisa keluar dari lubang canting
meski berulang kali dibersihkan. Perajin batik yang mengerjakan akhirnya
mengusulkan untuk mengadakan pembacaan doa-doa dulu sebelum proses batik
dilanjutkan. Ternyata setelah ritual tersebut akhirnya pekerjaan membuat seni
batik berlangsung lancar.

Tingkat
keseriusan dan konsentrasi penciptaan seperti inilah yang menjadikan motif
batik yang dihasilkan diyakini menjadi sebuah karya yang lebih memiliki “ruh”
serta motifnya mengandung filosofi tertentu sebagaimana yang diharapkan dan
didoakan pembuatnya. ***

(Penulis adalah Guru Seni Budaya; Alumnus Universitas Negeri Malang
dan STKIP PGRI Tulungagung)

Terpopuler

Artikel Terbaru