JAKARTA – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia
(GAPKI) mendukung upaya pemerintah untuk melakukan penegakan hukum (litigasi)
kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) termasuk penyelidikan terhadap
anggotanya yang diduga melakukan pelanggaran.
Selain litigasi, GAPKI mendukung sepenuhnya mitigasi pemerintah menuntaskan karhutla yang terjadi selama
hampir 22 tahun dengan menerapkan kebijakan membuka lahan tanpa membakar (zero burning
policy), membentuk divisi Fire Protection di perusahaan perkebunan serta
bekerja sama dengan masyarakat membangun 560 desa siaga api.
Juru Bicara GAPKI Tofan Mahdi
memastikan bahwa semua perkebunan sawit anggota GAPKI memahami dan taat pada regulasi pemerintah dan punya
semangatnya untuk membangun sawit berkelanjutan
melalui Indonesia Sustainability Palm Oil (ISPO) .
Anggota GAPKI, kata Tofan juga
memahami bahwa tidak satupun regulasi di Kementerian Pertanian, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta instansi Pemerintah lain, yang
memperbolehkan membuka lahan dengan cara membakar.
“Kalau ada korporasi yang sengaja membakar
lahan, pasti bukan anggota GAPKI. Itu tindakan konyol sama dengan ‘bunuh
diri’.Karena itu, semua pihak harus obyektif melihat persoalan ini,†kata Tofan
di Jakarta, Jumat (20/9).
Tofan memastikan,
sejak diberlakukan moratorium
pembukaan lahan pada tahun 2011 hingga kini praktis tidak ada lagi
ekstensifikasi lahan. Pemerintah telah
menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian
Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut dan
setiap dua tahun inpres ini dperpanjang.
Bahkan pada tahun 2018, Presiden
Joko Widodo menandatangani Inpres Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan
Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas
Perkebunan Kelapa Sawit. “Inpres ini bertujuan untuk meningkatkan tata kelola
perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan, memberikan kepastian hukum, dan
menjaga kelestarian lingkungan,†kata Tofan.
Kebijakan ini juga diperkuat
dengan Inpres Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan
Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut pada 7 Agustus
2019.
“Ini berarti idak ada lagi izin
perkebunan sawit. Fokus pengusaha perkebunan saat ini adalah intensifikasi
lahan melalui peremajaan (replanting), serta pengembangan bibit unggul agar
produktivitas tinggi karena tidak ada perluasan lahan,†kata Tofan.
Pernyataan sama dikemukakan Ketua
Bidang Agraria dan Tata Ruang GAPKI Eddy Martono. Eddy berpendapat perkebunan sawit anggota GAPKI,
dipastikan tidak berani membuka lahan dengan cara membakar karena risikonya
tidak sepadan.
Apalagi, pemegang konsesi
termasuk perkebunan sawit dikenai prinsip tanggung jawab mutlak (strict
liability) yang diatur dalam UU No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup serta Pasal 88 UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Pada sisi lain, biaya mekanisasi
land clearance bagi perkebunan tidak signifikan hanya sekitar 10 persen atau
sekitar Rp 6 juta per hektar dari investasi membuka lahan senilai Rp 60 juta-Rp
70 juta per hektar.
“Terlalu riskan jika ada anggota
GAPKI melakukan hal ini. Apalagi, prinsip strict liability bisa diberlakukan
bagi perkebunan baik dengan sengaja atau tidak sengaja membakar lahan,†kata
dia.
Hanya saja, Eddy memahami ada
tudingan miring kepada GAPKI sebagai asosiasi perkebunan seolah-olah semua
persoalan menjadi tanggung jawab GAPKI . Padahal,belum semua kebun sawit
menjadi anggota GAPKI. Hingga kini dari 3.000 perkebunan sawit di Indonesia
perkebunan sawit yang terdaftar sebagai anggota baru mencapai 725 perusahaan
dengan luasan 4,2 juta hektar. Dari perkebunan besar baru 50% yang menjadi
anggota GAPKI. Masih ada 50% yang belum menjadi anggota GAPKI.
“Karena itu, kami mengharapkan
semua perkebunan sawit masuk menjadi anggota GAPKI agar berbagai persoalan
termasuk dalam industri ini termasuk menerapkan sawit berkelanjutan dalam
setiap rantai pasoknya bisa diimplementasikan,†harap Eddy.
Melalui komitmen berkelanjutan
itu, kata Eddy, berbagai perbaikan terus dilakukan termasuk dari sisi pencegahan kebakaran hutan dan
lahan.
Mengutip data Global Forest Watch
(GFW) per 1 Januari 2019 hingga 16 September 2019 di seluruh Indonesia, kebakaran di dalam
konsesi sawit mencapai 11%,
sedangkan luar konsesimencapai 68%. Di Riau dalam konsesi 19% dan diluar
konsesi 51%, Jambi dalam konsesi 19% dan
diluar konsesi 51%, Sumatera selatan dalam konsesi 2% dan diluar konsesi
71%, Kalimantan Barat dalam konsesi 26%
dan diluar konsesi 53%, Kalimantan Tengah dalam konsesi 15% dan diluar konsesi
81%.
“Ini yang mendasari pernyataan
Kapolri Tito Karnavian bahwa konsesi perkebunan sawit dan HTI tidak terbakar
ketika melakukan pemantauan udara di Riau beberapa hari lalu,†kata Eddy.
GAPKI Peduli
Untuk meringankan beban
masyarakat yang terpapar asap di sejumlah provinsi, Gabungan Pengusaha Kelapa
Sawit Indonesia (GAPKI) memberikan perhatian dan bantuan.
GAPKI Cabang Riau Selasa (17/9)
memberikan bantuan ke Posko Rumah Singgah untuk masyarakat yang terkena dampak
kabut asap di Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Riau.
Bantuan yang diberikan berupa kasur, bantal busa, sarung kasur,
sarung bantal, dan selimut hitam putih yang masing-masing berjumlah 10 buah.
GAPKI Riau juga menyalurkan
bantuan berupa 2 buah tabung oksigen, 2.000 masker, serta sejumlah makanan
seperti makanan ringan, roti, gula, kopi, susu dan sejumlah bahan makanan
lainnya.
Bantuan serupa diberikan GAPKI
Kalimantan Barat (Kalbar) melalui program
GAPKI peduli dengan meggelar baksos di kabupaten Ketapang pada Sabtu (21/9) mendatang.
Secara paralel pada tanggal yang
sama akan melakukan distribusi masker di bebarapa titik di pontianak dengan
target 10.000 masker. Kegiatan ini bekerja sama dengan PWI dan dukungan dari
beberapa anggotannya. (nto)