27.1 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Mencegah Mantan Koruptor Terpilih Dalam Pilkada 2020

PEMILIHAN kepala daerah atau Pilkada yang sudah digelar sejak tahun
2005 sampai 2018 berjalan melewati banyak fase, termasuk “onak dan durinya”.
Tujuan hajatan politik tersebut sebenarnya mulia yaitu meningkatkan kualitas
demokrasi clan kesejahteraan, namun faktanya seringkali diganggu pragmatisme politik
yang mengental dan libido politik untuk berkuasa yang tidak terkendalikan.

Mulai era reformasi, tahun 1999,
bangsa ini sepakat memperkuat kewenangan daerah dan memangkas hegemoni
pemerintah pusat. Demi menguatkan kedaulatan rakyat dan mengikis oligarki elite
dan terjadinya plutarki politik, sejak tahun 2005 kepala daerah dipilih
langsung oleh rakyat, seperti halnya presiden. Di era Orde Baru, gubernur, wali
kota, dan bupati dipilih oleh DPRD.

Tujuan pemilihan langsung,
pertama, untuk meningkatkan kedaulatan dan partisipasi politik rakyat Kedua,
mendorong kemunculan pemimpin yang berakar. Ketiga, meningkatkan efektivitas
pemerintahan daerah. Keempat, meningkatkan kesejahteraan daerah. Kelima,
terciptanya tata kelola pemerintahan yang semakin membaik. Keenam, dukungan
masyarakat atau sense of belonging atas hasil Pilkada semakin menguat. Ketujuh,
demokrasi semakin sehat.

Tahun 2015, Pilkada memasuki fase
penting berikutnya. Untuk mengurangi gejolak politik dari Pilkada yang
berlangsung sangat banyak dan hampir setiap pekan, tetapi tidak mengurangi
partisipasi politik rakyat, bangsa ini sepakat menyelaraskan pelaksanaan
Pilkada digelar secara serentak, walaupun “nama serentak” ternyata juga bukan
perkara mudah untuk direalisasikan, karena Pilkada 2017 dan Pilkada 2018
walaupun ada embel-embel “serentak”, tapi faktanya ada juga beberapa daerah
yang mengalami penundaan pelaksanaan Pilkadanya tidak seperti hari H yang
dijadwalkan secara nasional. Penyebabnya sangat beragam mulai politis, teknis
sampai non teknis.

Pengelompokan Pilkada dilakukan
mulai tahun 2015, 2017, dan 2018. Proses transisi akan dimatangkan tahun 2020,
dan sesuai pasal 201 ayat (9) UU No 10/2016 tentang Pemitihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota, akan digelar Pilkada serentak secara nasional tahun 2024.
Harapannya, Pilkada serentak itu dapat menguatkan sistem pemerintahan
presidensial. Kita berharap perjalanan panjang Pilkada itu pada akhirnya akan
mengantarkan bangsa ini pada tujuan.

Baca Juga :  Hanya Iseng Ikut Lomba, “Sungaimu Bukan Jambanmu” Raih Juara III

Sayangnya, mencermati perjalanan
itu selalu ada upaya secara sistematis atau sporadis untuk membalikkan atau
membelokan arah. Tahun 2014 pernah ada upaya untuk mengembalikan pernilihan
kepala daerah kepada DPRD. Upaya itu mendapat tentangan keras dari kelompok
masyarakat madani sehingga rencana itu pun diurungkan. Proses pencalonan kepala
daerah yang elitis masih terus terjadi, bahkan cenderung semakin menjadi di
Pilkada 2020, bahkan ada keinginan menjadikan masa depan politik Indonesia
menjadi oligarki, plutarki bahkan monarki. Penjaringan calon belum proaktif mencari
sosok potensial demi terpilihnya pemimpin terbaik, tetapi lebih mengutamakan
kepentingan kelompok atau golongan. Ketimbang mencari tokoh potensial di akar
rumput, lebih senang menerima drop-dropan dari petinggi. Proses penetapan calon
pun ada kecenderungn makin didominasi elite partai di pusat ketimbang mendidik
pengurus partai di daerah untuk semakin meningkatkan kualitas berdemokrasi.

Pragmatisme partai politik
menjadikan Pilkada sekadar untuk memenangi pertarungan pun menjadi sangat kuat.
Strategi “borong gerbong” demi calon tunggal merupakan salah satu
bentuknya. Idealisme partai menjadikan pilkada sebagai alat pengaderan
kepemimpinan semakin dilupakan. Perlu ada upaya sungguh-sungguh untuk menjaga
pelak-sanaan Pilkada tetap berjalan di relnya. Tanpa itu, hal ini akan
menghabiskan waktu tanpa tujuan tidak menentu. Komisi Pemilihan Umum, Badan
Pengawas Pemilu, lembaga negara, perguruan tinggi, masyarakat madani, dan
terlebih parpol yang sudah terlelap semoga segera terjaga.

Baca Juga :  Tanpa Pemerintahan

Asa Pilkada 2020 untuk menghasilkan
kepala daerah yang bermutu juga semakin jauh dari harapan, terbukti mantan
koruptor masih diperbolehkan maju dalam Pilkada, walaupun berdasarkan keputusan
MK tanggal 11 Desember 2019, mereka harus “istirahat dulu” selama 5 tahun
sebelum maju dalam Pilkada. Seharusnya, jika sistem demokrasi dan politik di
negara ini sudah tertata dengan baik, maka peluang mantan koruptor maju dalam
Pilkada ditutup rapat, karena tidak elok “bekas maling” menjadi pemimpin.

Alasan bahwa setiap orang
mempunyai hak politik dan demokrasi yang merupakan bagian dari hak asasi
manusia, namun kita harus bertanya kembali apakah ketika mereka “mencopet dan
mencuri atau mengorupsi” uang negara memperhatikan hak asasi manusia kelompok
masyarakat rentan yang hidupnya semakin susah akibat praktik korupsi yang masif
atau mereka melupakan HAM orang lain saat jadi “maling alias koruptor”?

Bangsa ini akan semakin aneh dan
dijauhi oleh komunitas masyarakat global jika sampai mantan koruptor terpilih
dalam Pilkada, karena terpilihnya mereka seakan-akan efek dari banyak sebab
antara lain : kegagalan kaderisasi Parpol (sehingga perlu dipertanyakan dana
bantuan Parpol); muncul image di negara ini tidak ada stok pemimpin yang
bermoral baik dan tidak pernah korupsi; investor akan semakin kabur dari
Indonesia karena korupsi memperparah penyakit ekonomi bangsa ini; muncul
sentimen negatif bahwa bangsa ini adalah bangsa bodoh karena memilih mantan
“copet alias maling alias koruptor” sebagai pemimpinnya.

Last but not least, tidak menutup kemungkinan mereka akan kembali
korupsi ketika menjabat, apalagi hukuman terhadap koruptor di Indonesia
terbilang masih remeh temeh. (***)

(Penulis adalah pemerhati masalah strategis Indonesia)

PEMILIHAN kepala daerah atau Pilkada yang sudah digelar sejak tahun
2005 sampai 2018 berjalan melewati banyak fase, termasuk “onak dan durinya”.
Tujuan hajatan politik tersebut sebenarnya mulia yaitu meningkatkan kualitas
demokrasi clan kesejahteraan, namun faktanya seringkali diganggu pragmatisme politik
yang mengental dan libido politik untuk berkuasa yang tidak terkendalikan.

Mulai era reformasi, tahun 1999,
bangsa ini sepakat memperkuat kewenangan daerah dan memangkas hegemoni
pemerintah pusat. Demi menguatkan kedaulatan rakyat dan mengikis oligarki elite
dan terjadinya plutarki politik, sejak tahun 2005 kepala daerah dipilih
langsung oleh rakyat, seperti halnya presiden. Di era Orde Baru, gubernur, wali
kota, dan bupati dipilih oleh DPRD.

Tujuan pemilihan langsung,
pertama, untuk meningkatkan kedaulatan dan partisipasi politik rakyat Kedua,
mendorong kemunculan pemimpin yang berakar. Ketiga, meningkatkan efektivitas
pemerintahan daerah. Keempat, meningkatkan kesejahteraan daerah. Kelima,
terciptanya tata kelola pemerintahan yang semakin membaik. Keenam, dukungan
masyarakat atau sense of belonging atas hasil Pilkada semakin menguat. Ketujuh,
demokrasi semakin sehat.

Tahun 2015, Pilkada memasuki fase
penting berikutnya. Untuk mengurangi gejolak politik dari Pilkada yang
berlangsung sangat banyak dan hampir setiap pekan, tetapi tidak mengurangi
partisipasi politik rakyat, bangsa ini sepakat menyelaraskan pelaksanaan
Pilkada digelar secara serentak, walaupun “nama serentak” ternyata juga bukan
perkara mudah untuk direalisasikan, karena Pilkada 2017 dan Pilkada 2018
walaupun ada embel-embel “serentak”, tapi faktanya ada juga beberapa daerah
yang mengalami penundaan pelaksanaan Pilkadanya tidak seperti hari H yang
dijadwalkan secara nasional. Penyebabnya sangat beragam mulai politis, teknis
sampai non teknis.

Pengelompokan Pilkada dilakukan
mulai tahun 2015, 2017, dan 2018. Proses transisi akan dimatangkan tahun 2020,
dan sesuai pasal 201 ayat (9) UU No 10/2016 tentang Pemitihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota, akan digelar Pilkada serentak secara nasional tahun 2024.
Harapannya, Pilkada serentak itu dapat menguatkan sistem pemerintahan
presidensial. Kita berharap perjalanan panjang Pilkada itu pada akhirnya akan
mengantarkan bangsa ini pada tujuan.

Baca Juga :  Hanya Iseng Ikut Lomba, “Sungaimu Bukan Jambanmu” Raih Juara III

Sayangnya, mencermati perjalanan
itu selalu ada upaya secara sistematis atau sporadis untuk membalikkan atau
membelokan arah. Tahun 2014 pernah ada upaya untuk mengembalikan pernilihan
kepala daerah kepada DPRD. Upaya itu mendapat tentangan keras dari kelompok
masyarakat madani sehingga rencana itu pun diurungkan. Proses pencalonan kepala
daerah yang elitis masih terus terjadi, bahkan cenderung semakin menjadi di
Pilkada 2020, bahkan ada keinginan menjadikan masa depan politik Indonesia
menjadi oligarki, plutarki bahkan monarki. Penjaringan calon belum proaktif mencari
sosok potensial demi terpilihnya pemimpin terbaik, tetapi lebih mengutamakan
kepentingan kelompok atau golongan. Ketimbang mencari tokoh potensial di akar
rumput, lebih senang menerima drop-dropan dari petinggi. Proses penetapan calon
pun ada kecenderungn makin didominasi elite partai di pusat ketimbang mendidik
pengurus partai di daerah untuk semakin meningkatkan kualitas berdemokrasi.

Pragmatisme partai politik
menjadikan Pilkada sekadar untuk memenangi pertarungan pun menjadi sangat kuat.
Strategi “borong gerbong” demi calon tunggal merupakan salah satu
bentuknya. Idealisme partai menjadikan pilkada sebagai alat pengaderan
kepemimpinan semakin dilupakan. Perlu ada upaya sungguh-sungguh untuk menjaga
pelak-sanaan Pilkada tetap berjalan di relnya. Tanpa itu, hal ini akan
menghabiskan waktu tanpa tujuan tidak menentu. Komisi Pemilihan Umum, Badan
Pengawas Pemilu, lembaga negara, perguruan tinggi, masyarakat madani, dan
terlebih parpol yang sudah terlelap semoga segera terjaga.

Baca Juga :  Tanpa Pemerintahan

Asa Pilkada 2020 untuk menghasilkan
kepala daerah yang bermutu juga semakin jauh dari harapan, terbukti mantan
koruptor masih diperbolehkan maju dalam Pilkada, walaupun berdasarkan keputusan
MK tanggal 11 Desember 2019, mereka harus “istirahat dulu” selama 5 tahun
sebelum maju dalam Pilkada. Seharusnya, jika sistem demokrasi dan politik di
negara ini sudah tertata dengan baik, maka peluang mantan koruptor maju dalam
Pilkada ditutup rapat, karena tidak elok “bekas maling” menjadi pemimpin.

Alasan bahwa setiap orang
mempunyai hak politik dan demokrasi yang merupakan bagian dari hak asasi
manusia, namun kita harus bertanya kembali apakah ketika mereka “mencopet dan
mencuri atau mengorupsi” uang negara memperhatikan hak asasi manusia kelompok
masyarakat rentan yang hidupnya semakin susah akibat praktik korupsi yang masif
atau mereka melupakan HAM orang lain saat jadi “maling alias koruptor”?

Bangsa ini akan semakin aneh dan
dijauhi oleh komunitas masyarakat global jika sampai mantan koruptor terpilih
dalam Pilkada, karena terpilihnya mereka seakan-akan efek dari banyak sebab
antara lain : kegagalan kaderisasi Parpol (sehingga perlu dipertanyakan dana
bantuan Parpol); muncul image di negara ini tidak ada stok pemimpin yang
bermoral baik dan tidak pernah korupsi; investor akan semakin kabur dari
Indonesia karena korupsi memperparah penyakit ekonomi bangsa ini; muncul
sentimen negatif bahwa bangsa ini adalah bangsa bodoh karena memilih mantan
“copet alias maling alias koruptor” sebagai pemimpinnya.

Last but not least, tidak menutup kemungkinan mereka akan kembali
korupsi ketika menjabat, apalagi hukuman terhadap koruptor di Indonesia
terbilang masih remeh temeh. (***)

(Penulis adalah pemerhati masalah strategis Indonesia)

Terpopuler

Artikel Terbaru