25.9 C
Jakarta
Sunday, April 13, 2025

Indah Kumuh

Setelah ke Kuil Hanoman saya ke
masjid. Masih di kota suci Hindu Varanasi, negara bagian Uttar Pradesh.

Saya ingin tahu kehidupan
minoritas Islam di pusatnya Hindu ini. Terutama di saat Hinduism lagi pasang
naik secara drastis sepuluh tahun terakhir.

Saya juga ke masjid di Agra.
Masih di negara bagian Uttar Pradesh. Lima jam naik mobil dari Varanasi.
Masjidnya di sebelah pusat turis Taj Mahal.

Tentu, saya juga
ke masjid kuno di Old Delhi. Sisa peninggalan kejayaan Islam di India. Yang
seumur dengan Taj Mahal. Bahkan dibangun oleh raja yang sama. Dengan arsitektur
yang sangat mirip.

Tiga masjid itu beraliran Sunni.
Yang mereka juga lagi gelisah atas serbuan aliran Wahabi. Seminggu sebelum itu
saya ke masjid Ahmadiyah.

Di tempat lahir tokoh sentral
mereka di Desa Qadian, Punjab: Mirza Ghulam Ahmad.

Selama di India saya mendapat dua
macam keterangan yang berbeda.

Sebagian mengaku sekarang ini
lebih tertekan. Sebagian lagi mengatakan biasa-biasa saja.

Waktu di Varanasi, saya bertemu
anak muda. Ia yang mengantar saya ke masjid. “Masjid ini baru tiga
tahun,” katanya. “Dulunya kecil. Dibongkar. Dibangun baru,” tambahnya.

Saya salat Zuhur di situ.
Waktunya sudah lewat sedikit. Tidak bisa ikut berjamaah bersama penduduk
setempat. Tapi masih ada tiga anak kecil yang bersila di karpet: belajar
membaca Al-quran. Dengan Al-quran ditaruh di atas rehal. Seorang ustaz muda mengajari
mereka.

Saya pun duduk bersila di dekat
mereka. Lalu ikut membawa Al-quran. Surah Yasin. Mungkin nada baca saya
kedengaran aneh di telinga anak-anak India itu. Mereka berhenti belajar
–memperhatikan cara saya membaca.

Masjid ini berada di kampung
Islam Varanasi. “Kampung kami ini berpenduduk sekitar 10.000 orang. Semua
Islam,” ujar anak muda itu. “Di sekitar ini ada 15 masjid,”
tambahnya.

Kampung ini juga dikenal sebagai
kampung tekstil. Saya masuk-masuk gang di situ. Semua memproduksi kain. Termasuk
sutra.

Kampung ini cukup rapi dan bersih
–untuk ukuran India. “Kami tidak merasakan kesulitan beragama. Biasa
saja. Sejak dulu begini,” katanya.

Ini agak berbeda dengan
keterangan anak muda Islam di Kota Agra. “Kami khawatir akan ada UU baru.
Yang membuat kami tidak akan mendapat izin bisnis,” katanya. “Juga
tidak bisa menjadi pegawai pemerintah,” tambahnya.

Baca Juga :  BRT Dihadirkan untuk Masyarakat Secara Gratis

Memang sifatnya masih
kekhawatiran. Tapi umat Islam di kotanya sudah sangat gelisah.

Saya sendiri tidak tahu yang
sebenarnya. Hanya kelihatannya tidak seburuk berita yang tersiar ke seluruh
dunia.

Atau seburuk itu –hanya saja
saya tidak tahu. Misalnya soal perbedaan perlakuan hukum –yang sering terbaca
di media.

Yang jelas kini India punya UU
baru –yang sedang dilaksanakan: penertiban penduduk.

Yang jadi korban adalah para
pendatang gelap dari Bangladesh yang lebih miskin. Dan keturunan mereka. Yang
sudah turun temurun di situ.

Ditambah yang baru.

Mereka itu jutaan jumlahnya.
Terutama di negara-negara bagian yang berdekatan dengan Bangladesh –seperti
Assam dan West Bengal.

Mereka itu Islam. Terancam akan
dipulangkan paksa ke Bangladesh.

Lalu menjadi isu agama.

Sebenarnya saya juga ingin ke
lingkungan masyarakat Islam aliran Jamaah Tabligh. Yang mungkin lebih cocok
untuk India-baru sekarang ini.

Tapi waktu saya habis. Harus
segera pulang untuk Tazkia di Malang.

Saya sempatkan salat di masjid di
sebelah Taj Mahal. Saya pikir masjid itu sudah ditutup.

Di kanan-kiri Taj Mahal memang
ada bangunan pendamping. Arsitekturnya mirip Taj Mahal. Hanya lebih kecil. Dan
warna marmernya bukan putih –merah maroon.

Bangunan yang kanan adalah tempat
persinggahan raja –King House. Untuk istirahat saat raja berkunjung ke makam
isterinya di Taj Mahal.

Sekarang bangunan ini sudah tidak
difungsikan.

Bangunan yang kiri adalah masjid.
Masih berfungsi. Salat lima waktu masih berlangsung. Demikian juga salat Jumat.

Saya sempat berbincang dengan
imam masjid itu. Ayahnya juga imam di situ. Demikian juga kakeknya.

Tentu saya juga masuk Taj Mahal.
Sebentar sekali. Yang isinya hanya batu nisan raja yang membangun gedung itu.
Dan istri ketiganya –setelah dua istri sebelumnya tidak memberinya anak.

Batu nisan itu pun hanya replika.
Yang asli ada di lantai bawah. Ditutup untuk umum.

Saya tidak perlu bercerita
tentang keindahan Taj Mahal. Sudah terlalu banyak tulisan tentang ini. Juga
soal keistimewaan marmernya. Yang kalau diberi sinar berubah warna.

Tapi teman saya itu sempat
mengetes keislaman saya.

“Coba tebak, hiasan di pintu
masuk Taj Mahal itu apa?” tanyanya.

Baca Juga :  Peringati HUT Kemerdekaan, Wali Kota Ingatkan tentang Bonus Demografi

Saya pun memperhatikan ukiran
yang melengkung mengikuti bentuk gerbang itu.

“Lho itu seperti tulisan
Arab,” kata saya dalam hati.

Saya pun lebih mendekat. Benar.
Hiasan itu sebuah kaligrafi. Agak lama saya mencoba menghubung-hubungkan ukiran
di marmer itu. Lalu mencari tahu apakah bisa dibunyikan. Dan dari mana tulisan
itu dikutip.

“Oh… Itu surah Al
Fajr,” kata saya pada teman itu. “Satu surah penuh dituangkan dalam
kaligrafi di sini. Bukan main,” tambah saya.

Di dalam masih ada satu kaligrafi
dari Al Quran lagi: Ayatul Kursyi.

Saya belum pernah tahu itu: bahwa
di pintu masuk Taj Mahal ada kutipan Al-quran begitu banyak.

Semua itu menandakan sebuah era
bahwa Islam pernah jaya di India.

Waktu tiba di Delhi pun saya ke
masjid kuno di ibukota India itu.

Indah di dalam, kumuh di luar.

Lingkungan luar Masjid Jami ini
sangat memprihatinkan. Bangunan masjidnya sendiri sangat indah. Dan anggun. Untuk
masuk gerbangnya saja harus naik 30 trap.

Di balik gerbang indah itu
–antara gerbang dan masjid– terdapat plaza yang luas dan megah. Plaza itu
bisa untuk luberan ketika yang salat mencapai 20.000 –di saat Idul Fitri atau
Idhul Adha.

Keindahan masjid ini serupa
dengan Taj Mahal. Banyak turis Barat ke masjid ini. Mereka harus mengenakan
tambahan baju luaran panjang yang disediakan di teras samping.

Pernah ada bom meledak di masjid
ini. Sebagai protes. “Wanita setengah telanjang kok diizinkan masuk ke
masjid,” begitu kritik ke pihak pengurus masjid.

Sejak itu pengurus menyediakan
baju luaran untuk turis wanita.

Tahun pembangunan masjid ini pun
juga sama dengan pembangunan Taj Mahal: 1630-an. Yang membangun pun sama: Raja
Shah Jahan.

Saya salat Asar di situ. Masih
banyak juga pengunjung yang salat di situ.

Tapi lingkungan masjid ini
benar-benar berantakan. Halaman yang mestinya luas dan indah itu benar-benar
berantakan.

Kolam-kolam air
mancur yang berjajar memanjang tidak ada airnya. Rusak. Berdebu. Ditempati kaki
lima. Atau orang yang duduk-duduk sambil merokok.

Pedagang asongan memadati depan
masjid ini. Serba berantakan. Semrawut. Kumuh.

Saya pun meninggalkan masjid ini
dengan sejuta rasa.(Dahlan Iskan)

Setelah ke Kuil Hanoman saya ke
masjid. Masih di kota suci Hindu Varanasi, negara bagian Uttar Pradesh.

Saya ingin tahu kehidupan
minoritas Islam di pusatnya Hindu ini. Terutama di saat Hinduism lagi pasang
naik secara drastis sepuluh tahun terakhir.

Saya juga ke masjid di Agra.
Masih di negara bagian Uttar Pradesh. Lima jam naik mobil dari Varanasi.
Masjidnya di sebelah pusat turis Taj Mahal.

Tentu, saya juga
ke masjid kuno di Old Delhi. Sisa peninggalan kejayaan Islam di India. Yang
seumur dengan Taj Mahal. Bahkan dibangun oleh raja yang sama. Dengan arsitektur
yang sangat mirip.

Tiga masjid itu beraliran Sunni.
Yang mereka juga lagi gelisah atas serbuan aliran Wahabi. Seminggu sebelum itu
saya ke masjid Ahmadiyah.

Di tempat lahir tokoh sentral
mereka di Desa Qadian, Punjab: Mirza Ghulam Ahmad.

Selama di India saya mendapat dua
macam keterangan yang berbeda.

Sebagian mengaku sekarang ini
lebih tertekan. Sebagian lagi mengatakan biasa-biasa saja.

Waktu di Varanasi, saya bertemu
anak muda. Ia yang mengantar saya ke masjid. “Masjid ini baru tiga
tahun,” katanya. “Dulunya kecil. Dibongkar. Dibangun baru,” tambahnya.

Saya salat Zuhur di situ.
Waktunya sudah lewat sedikit. Tidak bisa ikut berjamaah bersama penduduk
setempat. Tapi masih ada tiga anak kecil yang bersila di karpet: belajar
membaca Al-quran. Dengan Al-quran ditaruh di atas rehal. Seorang ustaz muda mengajari
mereka.

Saya pun duduk bersila di dekat
mereka. Lalu ikut membawa Al-quran. Surah Yasin. Mungkin nada baca saya
kedengaran aneh di telinga anak-anak India itu. Mereka berhenti belajar
–memperhatikan cara saya membaca.

Masjid ini berada di kampung
Islam Varanasi. “Kampung kami ini berpenduduk sekitar 10.000 orang. Semua
Islam,” ujar anak muda itu. “Di sekitar ini ada 15 masjid,”
tambahnya.

Kampung ini juga dikenal sebagai
kampung tekstil. Saya masuk-masuk gang di situ. Semua memproduksi kain. Termasuk
sutra.

Kampung ini cukup rapi dan bersih
–untuk ukuran India. “Kami tidak merasakan kesulitan beragama. Biasa
saja. Sejak dulu begini,” katanya.

Ini agak berbeda dengan
keterangan anak muda Islam di Kota Agra. “Kami khawatir akan ada UU baru.
Yang membuat kami tidak akan mendapat izin bisnis,” katanya. “Juga
tidak bisa menjadi pegawai pemerintah,” tambahnya.

Baca Juga :  BRT Dihadirkan untuk Masyarakat Secara Gratis

Memang sifatnya masih
kekhawatiran. Tapi umat Islam di kotanya sudah sangat gelisah.

Saya sendiri tidak tahu yang
sebenarnya. Hanya kelihatannya tidak seburuk berita yang tersiar ke seluruh
dunia.

Atau seburuk itu –hanya saja
saya tidak tahu. Misalnya soal perbedaan perlakuan hukum –yang sering terbaca
di media.

Yang jelas kini India punya UU
baru –yang sedang dilaksanakan: penertiban penduduk.

Yang jadi korban adalah para
pendatang gelap dari Bangladesh yang lebih miskin. Dan keturunan mereka. Yang
sudah turun temurun di situ.

Ditambah yang baru.

Mereka itu jutaan jumlahnya.
Terutama di negara-negara bagian yang berdekatan dengan Bangladesh –seperti
Assam dan West Bengal.

Mereka itu Islam. Terancam akan
dipulangkan paksa ke Bangladesh.

Lalu menjadi isu agama.

Sebenarnya saya juga ingin ke
lingkungan masyarakat Islam aliran Jamaah Tabligh. Yang mungkin lebih cocok
untuk India-baru sekarang ini.

Tapi waktu saya habis. Harus
segera pulang untuk Tazkia di Malang.

Saya sempatkan salat di masjid di
sebelah Taj Mahal. Saya pikir masjid itu sudah ditutup.

Di kanan-kiri Taj Mahal memang
ada bangunan pendamping. Arsitekturnya mirip Taj Mahal. Hanya lebih kecil. Dan
warna marmernya bukan putih –merah maroon.

Bangunan yang kanan adalah tempat
persinggahan raja –King House. Untuk istirahat saat raja berkunjung ke makam
isterinya di Taj Mahal.

Sekarang bangunan ini sudah tidak
difungsikan.

Bangunan yang kiri adalah masjid.
Masih berfungsi. Salat lima waktu masih berlangsung. Demikian juga salat Jumat.

Saya sempat berbincang dengan
imam masjid itu. Ayahnya juga imam di situ. Demikian juga kakeknya.

Tentu saya juga masuk Taj Mahal.
Sebentar sekali. Yang isinya hanya batu nisan raja yang membangun gedung itu.
Dan istri ketiganya –setelah dua istri sebelumnya tidak memberinya anak.

Batu nisan itu pun hanya replika.
Yang asli ada di lantai bawah. Ditutup untuk umum.

Saya tidak perlu bercerita
tentang keindahan Taj Mahal. Sudah terlalu banyak tulisan tentang ini. Juga
soal keistimewaan marmernya. Yang kalau diberi sinar berubah warna.

Tapi teman saya itu sempat
mengetes keislaman saya.

“Coba tebak, hiasan di pintu
masuk Taj Mahal itu apa?” tanyanya.

Baca Juga :  Peringati HUT Kemerdekaan, Wali Kota Ingatkan tentang Bonus Demografi

Saya pun memperhatikan ukiran
yang melengkung mengikuti bentuk gerbang itu.

“Lho itu seperti tulisan
Arab,” kata saya dalam hati.

Saya pun lebih mendekat. Benar.
Hiasan itu sebuah kaligrafi. Agak lama saya mencoba menghubung-hubungkan ukiran
di marmer itu. Lalu mencari tahu apakah bisa dibunyikan. Dan dari mana tulisan
itu dikutip.

“Oh… Itu surah Al
Fajr,” kata saya pada teman itu. “Satu surah penuh dituangkan dalam
kaligrafi di sini. Bukan main,” tambah saya.

Di dalam masih ada satu kaligrafi
dari Al Quran lagi: Ayatul Kursyi.

Saya belum pernah tahu itu: bahwa
di pintu masuk Taj Mahal ada kutipan Al-quran begitu banyak.

Semua itu menandakan sebuah era
bahwa Islam pernah jaya di India.

Waktu tiba di Delhi pun saya ke
masjid kuno di ibukota India itu.

Indah di dalam, kumuh di luar.

Lingkungan luar Masjid Jami ini
sangat memprihatinkan. Bangunan masjidnya sendiri sangat indah. Dan anggun. Untuk
masuk gerbangnya saja harus naik 30 trap.

Di balik gerbang indah itu
–antara gerbang dan masjid– terdapat plaza yang luas dan megah. Plaza itu
bisa untuk luberan ketika yang salat mencapai 20.000 –di saat Idul Fitri atau
Idhul Adha.

Keindahan masjid ini serupa
dengan Taj Mahal. Banyak turis Barat ke masjid ini. Mereka harus mengenakan
tambahan baju luaran panjang yang disediakan di teras samping.

Pernah ada bom meledak di masjid
ini. Sebagai protes. “Wanita setengah telanjang kok diizinkan masuk ke
masjid,” begitu kritik ke pihak pengurus masjid.

Sejak itu pengurus menyediakan
baju luaran untuk turis wanita.

Tahun pembangunan masjid ini pun
juga sama dengan pembangunan Taj Mahal: 1630-an. Yang membangun pun sama: Raja
Shah Jahan.

Saya salat Asar di situ. Masih
banyak juga pengunjung yang salat di situ.

Tapi lingkungan masjid ini
benar-benar berantakan. Halaman yang mestinya luas dan indah itu benar-benar
berantakan.

Kolam-kolam air
mancur yang berjajar memanjang tidak ada airnya. Rusak. Berdebu. Ditempati kaki
lima. Atau orang yang duduk-duduk sambil merokok.

Pedagang asongan memadati depan
masjid ini. Serba berantakan. Semrawut. Kumuh.

Saya pun meninggalkan masjid ini
dengan sejuta rasa.(Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru