28.4 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Tiba-tiba Tiada

Tulisan saya hari ini tidak objektif. Hati-hati membacanya.

Banyak orang lain yang juga meninggal dunia kok
yang ini saya tulis di DI’s Way. Betul.

Yang meninggal ini teman baik saya. Sesama
pengusaha. Hanya saja ia pengusaha besar sekali.

Namanya: Mohammad Nadjikh.

Umur: 55 tahun.

Bidang usaha: perikanan.

Ia tokoh Muhammadiyah. Jabatannya saat ini:
Ketua Bidang Perekonomian Pengurus Pusat Muhammadiyah.

Ia alumnus Institut Pertanian Bogor, IPB. Yang
sekarang menjadi salah satu anggota wali amanat di universitas itu.

Saya selalu hormat padanya –biarpun saya lebih tua. Kalau ia minta
sesuatu saya tidak bisa menolak.

Misalnya dua bulan lalu. Ia minta saya ke Bali.
Untuk jadi pembicara di depan pengusaha Muhammadiyah se-Indonesia.

Ketika berulang tahun ke-50, ia menerbitkan
buku. Saya juga diminta menulis kata pengantar.

Pokoknya saya tidak bisa mengatakan tidak
padanya. Maka saya terkejut ketika kemarin sore dapat kabar: ia meninggal
dunia.

Kekayaan menjadi seperti tidak ada artinya.

Lalu saya telepon putranya. Tidak tersambung.
Saya hubungi manajemennya. Tidak tersambung. Saya hubungi istrinya. Tidak
tersambung.

Di masa seperti ini begitu sulit mendapatkan
konfirmasi. Apalagi bagi orang seperti saya yang imunitas badan sengaja justru
harus diturunkan.

Hanya satu potong keterangan yang bisa saya
dapat: beliau sudah empat hari dirawat di Rumah Sakit Husada Utama Surabaya.
”Sakit jantung dan paru-paru”.

Itulah penjelasan tertulis putranya. Yang
kemudian beredar luas –terutama di lingkungan Muhammadiyah.

Saya memang jarang kepo. Termasuk ketika
teman-teman saya heboh membicarakan tetangga mereka.

Saya memang dikirimi fotonya segala. Foto rumah
besar yang didatangi polisi dan ambulans.

Namun saya tetap tidak kepo. Termasuk ketika
pembicaraan mereka sampai pada: virus sudah masuk ke Graha Famili.

Graha Famili adalah salah satu kompleks
perumahan termahal di Surabaya –terutama yang di sekitar lapangan golf.

Bahkan saya tidak tahu kalau Nadjikh sudah
pindah ke situ. Rasanya hanya segelintir pengusaha muslim yang punya rumah di
situ –Nadjikh dan pemilik Gajah Duduk misalnya.

Saya punya banyak sekali teman di Graha Famili.
Semua menghebohkan masuknya virus ke perumahan itu. Termasuk membicarakan bahwa
pemilik rumah itu masih jalan-jalan di komplek Graha Famili minggu sebelumnya.

Baca Juga :  Pemkab Dukung Pilkada Kalteng Berjalan Lancar dan Aman

Namun saya sama sekali tidak menyangka kalau
foto rumah yang beredar itu adalah rumah barunya Nadjikh.

Saya menyesal tidak kepo.

Saya tidak menyangka.

Ia masih sangat muda –untuk ukuran saya.

Ia energik sekali. Tidak menyangka kalau ia
punya sakit jantung –salah satu yang paling rawan di musim Covid-19 ini.

Banyak yang saya harus angkat topi: Nadjikh itu
luar biasa. Di banyak bidang. Terutama bagaimana ia yang sudah kaya masih mau
ngurus pergerakan keagamaan.

Saat menulis untuk buku ulang tahunnya, saya
lebih banyak menjadikan Nadjikh sebagai contoh pengusaha muslim yang hebat.

Waktu itu saya lebih banyak melihat Nadjikh
dari sisi ”tauhid” – nya. Yakni ”tauhid bisnis”.

Dalam hal bisnis itu Nadjikh adalah orang yang
sangat bertauhid. Dan karena itu sukses besar. Dalam bisnisnya.

Inti dari tauhid adalah ”meng-esa-kan”. Tidak
menduakan. Apalagi menigakan.

Inti dari ”meng-esa-kan” adalah fokus. Khusuk.
Pikirannya tidak ke mana-mana.

Maka saya menilai Nadjikh itu sangat khusuk.
Sangat fokus. Sangat bertauhid. Dalam bisnis.

Khusyuk pertama adalah bidang pilihan bisnisnya:
perikanan. Satu bidang ini ia tangani secara mati-matian. All-out. Dari hulu
sampai hilir. Dari kecil sampai besar. Lalu besar sekali.

Bukan berarti ia tidak mau bisnis lain. Tapi ia
pilih tekuni dulu fokusnya itu sampai benar-benar makrifat. Sampai benar-benar
dijiwai. Dikuasai.

Sampai ke detailnya yang paling detail. Mulai
produksinya, pengolahannya sampai ke pasarnya. Juga sampai ke teknologinya.
Manajemennya.

Rasanya sampai 10 tahun pertama ia tidak
menoleh ke mana-mana. Tidak juga coba-coba bidang lain.

Saya tahu kelak, setelah bisnis perikanannya
besar sekali, barulah ia merambah ke bisnis lain.

Yang seperti itu tidak bisa lagi disebut tidak
fokus. Yang seperti itu ada sebutannya sendiri. Yang akan saya uraian di bawah
nanti.

Hal lain yang menjadi bukti kekhusyukan Nadjikh
adalah ini: tidak mau terjun ke politik.

Padahal modal ada. Nama, ada. Network, ada. Basis masa,
ada. Lengkap. Tinggal pijit tombol.

Namun ia tidak mau.

Baca Juga :  Kalah di Enam Kecamatan di Mura, Sugianto - Edy Masih Tetap Unggul

Itu luar biasa. Saya kagum akan keteguhan
hatinya. Saya bangga ada orang yang tahan godaan seperti itu.

Padahal godaan politik adalah godaan yang
sangat menggiurkan. Meski juga sangat menjerumuskan. Ia sangat waspada. Tidak
mau terjerumus ke dalamnya.

Mengapa saya bangga pada keteguhannya itu?

Karena politik adalah musuh bisnis. Jiwa
politik sangat bertentangan dengan jiwa bisnis.

Jiwa bisnis adalah jiwa yang harus bisa
dipercaya. Harus memegang teguh komitmen. Apa yang diucapkan harus bisa
dipegang.

Saya prihatin melihat begitu banyak pengusaha
muda yang terjun ke politik. Padahal usahanya belum besar. Belum mapan pula.

Maka saya pastikan mereka itu tidak akan bisa
tekun lagi berusaha. Mereka sudah terbiasa melewati jalan mudah. Jalan pintas.

Sedang berbisnis itu jalannya sulit. Harus
ulet. Harus merintis dari bawah. Harus bekerja keras.

Sebenarnya, menurut saya, Nadjikh sudah boleh
terjun ke politik. Jiwa bisnisnya sudah menyatu di hatinya. Karakternya sudah
kuat. Prinsip hidupnya sudah teguh.

Kalaupun ia terjun ke politik rasanya politik
sudah tidak akan bisa merusaknya. Justru orang seperti ia yang bisa memperbaiki
perpolitikan.

Namun memang lebih baik Nadjikh tetap dalam
keteguhannya itu. Begitulah kesimpulan tulisan saya untuk bukunya itu.

Mengapa itu menjadi catatan khusus saya
untuknya?

Karena Nadjikh itu pribumi. Nadjikh itu aktivis
Islam. Nadjikh itu orang daerah.

Pribumi-Islam-daerah biasanya tidak tertarik
pada bisnis. Lebih tertarik jadi politisi. Atau pegawai.

Karena itu posisi ekonomi pribumi-Islam-daerah
sangat lemah. Betapa pentingnya memperbanyak orang sukses seperti Nadjikh.

Nadjikh adalah model. Contoh nyata bagaimana
pribumi-Islam-Daerah bisa sukses. Lewat jalan fokus. Tidak mudah tergoda.
Khusyuk. Bertauhid.

Kita harus bersyukur pernah ada sosok seperti
Nadjikh. Coba saja kalau ia tidak bertauhid, ia belum tentu berhasil.

Orang yang tidak bertauhid itu, Anda tahu:
disebut musyrik. Orang musyrik masuk neraka. Begitu juga orang bisnis yang
”musyrik bisnis”. Ia akan masuk neraka. Nerakanya orang bisnis adalah bangkrut!

Begitu pentingnya ajaran tauhid. Termasuk untuk
bidang bisnis.

Nadjikh tiba-tiba tiada. Namun jiwanya akan
terus hidup pada siapa saja yang pernah mengenalnya.(***)

Tulisan saya hari ini tidak objektif. Hati-hati membacanya.

Banyak orang lain yang juga meninggal dunia kok
yang ini saya tulis di DI’s Way. Betul.

Yang meninggal ini teman baik saya. Sesama
pengusaha. Hanya saja ia pengusaha besar sekali.

Namanya: Mohammad Nadjikh.

Umur: 55 tahun.

Bidang usaha: perikanan.

Ia tokoh Muhammadiyah. Jabatannya saat ini:
Ketua Bidang Perekonomian Pengurus Pusat Muhammadiyah.

Ia alumnus Institut Pertanian Bogor, IPB. Yang
sekarang menjadi salah satu anggota wali amanat di universitas itu.

Saya selalu hormat padanya –biarpun saya lebih tua. Kalau ia minta
sesuatu saya tidak bisa menolak.

Misalnya dua bulan lalu. Ia minta saya ke Bali.
Untuk jadi pembicara di depan pengusaha Muhammadiyah se-Indonesia.

Ketika berulang tahun ke-50, ia menerbitkan
buku. Saya juga diminta menulis kata pengantar.

Pokoknya saya tidak bisa mengatakan tidak
padanya. Maka saya terkejut ketika kemarin sore dapat kabar: ia meninggal
dunia.

Kekayaan menjadi seperti tidak ada artinya.

Lalu saya telepon putranya. Tidak tersambung.
Saya hubungi manajemennya. Tidak tersambung. Saya hubungi istrinya. Tidak
tersambung.

Di masa seperti ini begitu sulit mendapatkan
konfirmasi. Apalagi bagi orang seperti saya yang imunitas badan sengaja justru
harus diturunkan.

Hanya satu potong keterangan yang bisa saya
dapat: beliau sudah empat hari dirawat di Rumah Sakit Husada Utama Surabaya.
”Sakit jantung dan paru-paru”.

Itulah penjelasan tertulis putranya. Yang
kemudian beredar luas –terutama di lingkungan Muhammadiyah.

Saya memang jarang kepo. Termasuk ketika
teman-teman saya heboh membicarakan tetangga mereka.

Saya memang dikirimi fotonya segala. Foto rumah
besar yang didatangi polisi dan ambulans.

Namun saya tetap tidak kepo. Termasuk ketika
pembicaraan mereka sampai pada: virus sudah masuk ke Graha Famili.

Graha Famili adalah salah satu kompleks
perumahan termahal di Surabaya –terutama yang di sekitar lapangan golf.

Bahkan saya tidak tahu kalau Nadjikh sudah
pindah ke situ. Rasanya hanya segelintir pengusaha muslim yang punya rumah di
situ –Nadjikh dan pemilik Gajah Duduk misalnya.

Saya punya banyak sekali teman di Graha Famili.
Semua menghebohkan masuknya virus ke perumahan itu. Termasuk membicarakan bahwa
pemilik rumah itu masih jalan-jalan di komplek Graha Famili minggu sebelumnya.

Baca Juga :  Pemkab Dukung Pilkada Kalteng Berjalan Lancar dan Aman

Namun saya sama sekali tidak menyangka kalau
foto rumah yang beredar itu adalah rumah barunya Nadjikh.

Saya menyesal tidak kepo.

Saya tidak menyangka.

Ia masih sangat muda –untuk ukuran saya.

Ia energik sekali. Tidak menyangka kalau ia
punya sakit jantung –salah satu yang paling rawan di musim Covid-19 ini.

Banyak yang saya harus angkat topi: Nadjikh itu
luar biasa. Di banyak bidang. Terutama bagaimana ia yang sudah kaya masih mau
ngurus pergerakan keagamaan.

Saat menulis untuk buku ulang tahunnya, saya
lebih banyak menjadikan Nadjikh sebagai contoh pengusaha muslim yang hebat.

Waktu itu saya lebih banyak melihat Nadjikh
dari sisi ”tauhid” – nya. Yakni ”tauhid bisnis”.

Dalam hal bisnis itu Nadjikh adalah orang yang
sangat bertauhid. Dan karena itu sukses besar. Dalam bisnisnya.

Inti dari tauhid adalah ”meng-esa-kan”. Tidak
menduakan. Apalagi menigakan.

Inti dari ”meng-esa-kan” adalah fokus. Khusuk.
Pikirannya tidak ke mana-mana.

Maka saya menilai Nadjikh itu sangat khusuk.
Sangat fokus. Sangat bertauhid. Dalam bisnis.

Khusyuk pertama adalah bidang pilihan bisnisnya:
perikanan. Satu bidang ini ia tangani secara mati-matian. All-out. Dari hulu
sampai hilir. Dari kecil sampai besar. Lalu besar sekali.

Bukan berarti ia tidak mau bisnis lain. Tapi ia
pilih tekuni dulu fokusnya itu sampai benar-benar makrifat. Sampai benar-benar
dijiwai. Dikuasai.

Sampai ke detailnya yang paling detail. Mulai
produksinya, pengolahannya sampai ke pasarnya. Juga sampai ke teknologinya.
Manajemennya.

Rasanya sampai 10 tahun pertama ia tidak
menoleh ke mana-mana. Tidak juga coba-coba bidang lain.

Saya tahu kelak, setelah bisnis perikanannya
besar sekali, barulah ia merambah ke bisnis lain.

Yang seperti itu tidak bisa lagi disebut tidak
fokus. Yang seperti itu ada sebutannya sendiri. Yang akan saya uraian di bawah
nanti.

Hal lain yang menjadi bukti kekhusyukan Nadjikh
adalah ini: tidak mau terjun ke politik.

Padahal modal ada. Nama, ada. Network, ada. Basis masa,
ada. Lengkap. Tinggal pijit tombol.

Namun ia tidak mau.

Baca Juga :  Kalah di Enam Kecamatan di Mura, Sugianto - Edy Masih Tetap Unggul

Itu luar biasa. Saya kagum akan keteguhan
hatinya. Saya bangga ada orang yang tahan godaan seperti itu.

Padahal godaan politik adalah godaan yang
sangat menggiurkan. Meski juga sangat menjerumuskan. Ia sangat waspada. Tidak
mau terjerumus ke dalamnya.

Mengapa saya bangga pada keteguhannya itu?

Karena politik adalah musuh bisnis. Jiwa
politik sangat bertentangan dengan jiwa bisnis.

Jiwa bisnis adalah jiwa yang harus bisa
dipercaya. Harus memegang teguh komitmen. Apa yang diucapkan harus bisa
dipegang.

Saya prihatin melihat begitu banyak pengusaha
muda yang terjun ke politik. Padahal usahanya belum besar. Belum mapan pula.

Maka saya pastikan mereka itu tidak akan bisa
tekun lagi berusaha. Mereka sudah terbiasa melewati jalan mudah. Jalan pintas.

Sedang berbisnis itu jalannya sulit. Harus
ulet. Harus merintis dari bawah. Harus bekerja keras.

Sebenarnya, menurut saya, Nadjikh sudah boleh
terjun ke politik. Jiwa bisnisnya sudah menyatu di hatinya. Karakternya sudah
kuat. Prinsip hidupnya sudah teguh.

Kalaupun ia terjun ke politik rasanya politik
sudah tidak akan bisa merusaknya. Justru orang seperti ia yang bisa memperbaiki
perpolitikan.

Namun memang lebih baik Nadjikh tetap dalam
keteguhannya itu. Begitulah kesimpulan tulisan saya untuk bukunya itu.

Mengapa itu menjadi catatan khusus saya
untuknya?

Karena Nadjikh itu pribumi. Nadjikh itu aktivis
Islam. Nadjikh itu orang daerah.

Pribumi-Islam-daerah biasanya tidak tertarik
pada bisnis. Lebih tertarik jadi politisi. Atau pegawai.

Karena itu posisi ekonomi pribumi-Islam-daerah
sangat lemah. Betapa pentingnya memperbanyak orang sukses seperti Nadjikh.

Nadjikh adalah model. Contoh nyata bagaimana
pribumi-Islam-Daerah bisa sukses. Lewat jalan fokus. Tidak mudah tergoda.
Khusyuk. Bertauhid.

Kita harus bersyukur pernah ada sosok seperti
Nadjikh. Coba saja kalau ia tidak bertauhid, ia belum tentu berhasil.

Orang yang tidak bertauhid itu, Anda tahu:
disebut musyrik. Orang musyrik masuk neraka. Begitu juga orang bisnis yang
”musyrik bisnis”. Ia akan masuk neraka. Nerakanya orang bisnis adalah bangkrut!

Begitu pentingnya ajaran tauhid. Termasuk untuk
bidang bisnis.

Nadjikh tiba-tiba tiada. Namun jiwanya akan
terus hidup pada siapa saja yang pernah mengenalnya.(***)

Terpopuler

Artikel Terbaru