31.2 C
Jakarta
Monday, October 14, 2024

Gangguan Kesenangan

TERGANGGU lagi. Kegembiraan kita masih harus tertunda tahun ini –gara-gara Irjenpol Ferdy Sambo dengan peristiwa Duren Tiganya.

Dua tahun terakhir perayaan kemerdekaan tenggelam oleh pandemi Covid. Kali ini tenggelam oleh gemuruh cinta segi tiga, segi empat, atau bahkan tidak bersegi sama sekali.

Merdeka!

Peristiwa besar sering bisa melahirkan perubahan besar. Kalau mau. Kalau bisa.

TNI sudah membuktikan di awal reformasi: berubah. Besar sekali. Sakit sekali. Tapi bisa. Sukses. Kembali ke barak. Tanpa gejolak politik yang besar.

Adakah peristiwa besar yang sampai menenggelamkan perayaan kemerdekaan ini melahirkan perubahan besar?

Merdeka!

Polisi sudah dipisah dari TNI. Agar tidak lagi jadi adik bungsu setelah TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, dan TNI Angkatan Udara.

Kegagalan Polri mereformasi diri bisa menimbulkan dampak yang dalam. Misalnya soal penempatan personel Polri yang bisa ke mana saja –termasuk ke jabatan politik itu.

Polri yang kini berada langsung di bawah presiden ternyata masih banyak sisi negatifnya. Polisi yang netral masih sulit diharap. Bahkan bisa menular. Kini mulai disuarakan perlunya TNI bisa mendapatkan penugasan sefleksibel Polri.

Yang menyuarakan itu bukan orang Duren Satu atau Dua. Yang bicara ini Jenderal Luhut B. Pandjaitan, menko yang terbanyak mendapat penugasan di luar bidangnya.

“Saya sudah lama mengusulkan perubahan Undang-Undang TNI,” ujar Luhut di Sentul, 5 Agustus lalu. Yakni UU Nomor 34 Tahun 2004. “Yakni sejak saya menjabat Menko Polhukam,” tambahnya.

Baca Juga :  Camat Gembira

Luhut ingin anggota TNI bisa ditugaskan di kementerian. Atau lembaga negara lain. Tentu atas permintaan dari institusi tersebut. Juga harus mendapat persetujuan Presiden.

Luhut melihat sekarang ini begitu banyak bintang di lingkungan TNI. Kalau mereka bisa ditugaskan di kementerian atau lembaga, TNI akan sangat efisien. “Yang perlu dijaga, jangan sampai sesama bintang berkelahi untuk mendapat penugasan itu,” katanya.

Luhut memberi contoh di Kemenko yang ia pimpin. “Saya tidak bisa mendapat bantuan tenaga dari TNI. Yang bisa dari Polri,” katanya. Polri bisa ditempatkan di mana-mana. Bahkan termasuk di perhubungan –yang di zaman dulu identik dengan ”jatah” TNI-AL atau TNI-AU.

Kalau penempatan seperti itu dimungkinkan maka tidak semua perwira tinggi berebut menjadi KSAD. “Di luar negeri perwira militer bisa ke mana saja,” katanya.

Tidak ada nada cemburu di pernyataan Luhut. Atau ada. Tergantung yang siapa yang merasakan.

Merdeka!

Di kalangan TNI, dulu, ada kelompok yang disebut ”kelompok intelektual-profesional”. Begitu banyak jenderal yang membahas secara kritis dwifungsi ABRI.

Waktu itu muncul pemikiran-pemikiran kebangsaan dan kenegaraan dari para jendral tersebut. Yakni pemikiran yang melampaui kepentingan sempit TNI sendiri.

Terjadi juga dialog intelektual yang intensif antara para pemikir di TNI dengan para intelektual dari universitas.

Baca Juga :  Semua Pihak Bisa Jaga Keamanan

Kelompok ini terus menyuarakan sisi-sisi negatif dwifungsi ABRI. Terutama dalam pembangunan bangsa yang kuat. Perjuangan kelompok ini bisa dikatakan berhasil. Tentara berhasil mengubah dirinya. Dengan berbagai pengorbanan kenikmatan fasilitas yang menggiurkan.

Merdeka!

Peristiwa Duren Tiga, yang dilanjutkan ke Kelapa Dua, telah menimbulkan begitu banyak sorotan. Begitu kompak opini di masyarakat. Inilah untuk kali pertama cebong dan kampret bisa bersatu. Satu suara: mengecam Ferdy Sambo, perbuatannya, lembaga yang ia pimpin, dan terutama Satgassus itu.

Itulah satu-satunya sisi positif Ferdy Sambo: mempersatukan kampret dan cebong.

Merdeka!

Tentu banyak juga intelektual profesional di tubuh Polri. Yakni mereka yang menginginkan Polri yang ideal. Hanya saja mereka belum terlihat oleh publik.

Dulu publik bisa dengan mudah menyebut 15 jenderal TNI-AD yang tergolong intelektual-profesional. Padahal itu di zaman pemerintahan otoriter. Intelektualitas bisa berkembang begitu hebat di tengah militer itu sendiri.

Mungkin banyak juga perwira Polri yang kritis, rajin melakukan otokritik, dan menginginkan perubahan. Saya tidak tahu apakah mereka punya kelompok yang kuat seperti di TNI-AD di zaman Orba.

Kalau tidak maka momentum sebesar Ferdy Sambo pun akan lewat begitu saja.

Merdeka!

Sampai akhir Agustus ini kelihatannya kita belum bisa merdeka dari heboh Duren Tiga.

Merdeka! (Dahlan Iskan)

TERGANGGU lagi. Kegembiraan kita masih harus tertunda tahun ini –gara-gara Irjenpol Ferdy Sambo dengan peristiwa Duren Tiganya.

Dua tahun terakhir perayaan kemerdekaan tenggelam oleh pandemi Covid. Kali ini tenggelam oleh gemuruh cinta segi tiga, segi empat, atau bahkan tidak bersegi sama sekali.

Merdeka!

Peristiwa besar sering bisa melahirkan perubahan besar. Kalau mau. Kalau bisa.

TNI sudah membuktikan di awal reformasi: berubah. Besar sekali. Sakit sekali. Tapi bisa. Sukses. Kembali ke barak. Tanpa gejolak politik yang besar.

Adakah peristiwa besar yang sampai menenggelamkan perayaan kemerdekaan ini melahirkan perubahan besar?

Merdeka!

Polisi sudah dipisah dari TNI. Agar tidak lagi jadi adik bungsu setelah TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, dan TNI Angkatan Udara.

Kegagalan Polri mereformasi diri bisa menimbulkan dampak yang dalam. Misalnya soal penempatan personel Polri yang bisa ke mana saja –termasuk ke jabatan politik itu.

Polri yang kini berada langsung di bawah presiden ternyata masih banyak sisi negatifnya. Polisi yang netral masih sulit diharap. Bahkan bisa menular. Kini mulai disuarakan perlunya TNI bisa mendapatkan penugasan sefleksibel Polri.

Yang menyuarakan itu bukan orang Duren Satu atau Dua. Yang bicara ini Jenderal Luhut B. Pandjaitan, menko yang terbanyak mendapat penugasan di luar bidangnya.

“Saya sudah lama mengusulkan perubahan Undang-Undang TNI,” ujar Luhut di Sentul, 5 Agustus lalu. Yakni UU Nomor 34 Tahun 2004. “Yakni sejak saya menjabat Menko Polhukam,” tambahnya.

Baca Juga :  Camat Gembira

Luhut ingin anggota TNI bisa ditugaskan di kementerian. Atau lembaga negara lain. Tentu atas permintaan dari institusi tersebut. Juga harus mendapat persetujuan Presiden.

Luhut melihat sekarang ini begitu banyak bintang di lingkungan TNI. Kalau mereka bisa ditugaskan di kementerian atau lembaga, TNI akan sangat efisien. “Yang perlu dijaga, jangan sampai sesama bintang berkelahi untuk mendapat penugasan itu,” katanya.

Luhut memberi contoh di Kemenko yang ia pimpin. “Saya tidak bisa mendapat bantuan tenaga dari TNI. Yang bisa dari Polri,” katanya. Polri bisa ditempatkan di mana-mana. Bahkan termasuk di perhubungan –yang di zaman dulu identik dengan ”jatah” TNI-AL atau TNI-AU.

Kalau penempatan seperti itu dimungkinkan maka tidak semua perwira tinggi berebut menjadi KSAD. “Di luar negeri perwira militer bisa ke mana saja,” katanya.

Tidak ada nada cemburu di pernyataan Luhut. Atau ada. Tergantung yang siapa yang merasakan.

Merdeka!

Di kalangan TNI, dulu, ada kelompok yang disebut ”kelompok intelektual-profesional”. Begitu banyak jenderal yang membahas secara kritis dwifungsi ABRI.

Waktu itu muncul pemikiran-pemikiran kebangsaan dan kenegaraan dari para jendral tersebut. Yakni pemikiran yang melampaui kepentingan sempit TNI sendiri.

Terjadi juga dialog intelektual yang intensif antara para pemikir di TNI dengan para intelektual dari universitas.

Baca Juga :  Semua Pihak Bisa Jaga Keamanan

Kelompok ini terus menyuarakan sisi-sisi negatif dwifungsi ABRI. Terutama dalam pembangunan bangsa yang kuat. Perjuangan kelompok ini bisa dikatakan berhasil. Tentara berhasil mengubah dirinya. Dengan berbagai pengorbanan kenikmatan fasilitas yang menggiurkan.

Merdeka!

Peristiwa Duren Tiga, yang dilanjutkan ke Kelapa Dua, telah menimbulkan begitu banyak sorotan. Begitu kompak opini di masyarakat. Inilah untuk kali pertama cebong dan kampret bisa bersatu. Satu suara: mengecam Ferdy Sambo, perbuatannya, lembaga yang ia pimpin, dan terutama Satgassus itu.

Itulah satu-satunya sisi positif Ferdy Sambo: mempersatukan kampret dan cebong.

Merdeka!

Tentu banyak juga intelektual profesional di tubuh Polri. Yakni mereka yang menginginkan Polri yang ideal. Hanya saja mereka belum terlihat oleh publik.

Dulu publik bisa dengan mudah menyebut 15 jenderal TNI-AD yang tergolong intelektual-profesional. Padahal itu di zaman pemerintahan otoriter. Intelektualitas bisa berkembang begitu hebat di tengah militer itu sendiri.

Mungkin banyak juga perwira Polri yang kritis, rajin melakukan otokritik, dan menginginkan perubahan. Saya tidak tahu apakah mereka punya kelompok yang kuat seperti di TNI-AD di zaman Orba.

Kalau tidak maka momentum sebesar Ferdy Sambo pun akan lewat begitu saja.

Merdeka!

Sampai akhir Agustus ini kelihatannya kita belum bisa merdeka dari heboh Duren Tiga.

Merdeka! (Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru