25.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Uang Mengalir

Mungkin ada yang berpendapat
begini: tidak peduli utang atau cetak uang, yang penting uangnya dibagi untuk
kita-kita.

Seperti juga prinsip ”amplop
merah itu tidak penting, yang penting isinya”. 

Maka utang atau pun cetak uang,
yang penting uangnya akan dialirkan ke mana?

Kalau utang, yang akan terima
uang adalah kementerian keuangan. Masuk APBN. Dari sini uang hasil utang bisa
dialirkan ke mana saja –sesuai dengan program pemerintah.

Kalau cetak uang, hasil cetak
uang itu menjadi milik bank sentral –Bank Indonesia.

Maka, kalau keputusannya nanti
cetak uang, dari mana pemerintah dapat uang? Pinjam ke BI? Kan tidak ada
pintunya?

Berarti pemerintah memang
benar-benar sulit –harus lebih banyak kita doakan. Mau cari utang, sulit.
Tidak mudah cari utangan di situasi sekarang –semua negara mau utang. Mau
cetak uang, uangnya menjadi milik Bank Indonesia. 

Sekarang sudah berbeda dengan
zaman tahun 1956. Ketika itu pemerintah bisa memerintahkan cetak uang. Sekarang
tidak bisa lagi. Bank Indonesia itu independen.

Bahkan Bank Indonesia sendiri
tidak bisa cetak uang begitu saja. Bank Indonesia itu diadakan dengan tugas
khusus yang tunggal: menjaga nilai mata uang rupiah.

Tidak ada lagi tugas lain dari
BI. Tugas lamanya yang satu itu –sebagai Stasiun Balapan, lender
of the last resort
— sudah dihapus. 

BI tidak boleh lagi jadi
sandaran akhir bank-bank pelaksana. Tidak ada lagi sumber dana yang dulu
disebut ”Bantuan Likuiditas Bank Indonesia” itu. Bank yang mengalami kesulitan
uang sudah punya tempat sendiri untuk meminjam.

Itulah sebabnya tidak mudah
bagi BI didesak untuk cetak uang. Setiap cetak uang pasti akan memerosotkan
nilai mata uang rupiah –inflasi.

Kalau sampai itu terjadi
berarti BI telah gagal melakukan tugas satu-satunya.

Tapi tanpa cetak uang BI kan
juga gagal menjaga nilai mata uang? Bulan lalu? Sampai satu dolar menjadi Rp
16.000?

Baca Juga :  Maksimalkan Potensi Serapan Pendapatan Daerah

Orang seperti Mukhamad
Misbakhun akan menggunakan lubang seperti itu untuk berargumentasi. ”Harus saya
akui Misbakhun sangat pintar,” ujar Prof. Didik Rachbini dari INDEF kepada saya
kemarin.

Prof Didik, Misbakhun, dan saya
memang jadi pembicara dalam Webinar Sabtu lalu. Soal ekonomi pasca Covid-19.
Yang diadakan oleh Pengurus Pusat KB PII –organisasi alumnus Pelajar Islam
Indonesia.

Di situlah Misbakhun
menjelaskan konsep pemikirannya untuk cetak uang. Yang kemudian menjadi sikap
DPR. Sedang Prof Didik Rachbini menjelaskan bahayanya cetak uang.

Di forum KB PII itu, sikap
Misbakhun jelas: BI harus cetak uang.

”Ia pinter. Ia tidak menyebut
cetak uang. Ia menamakannya quantitative easing,” ujar
Prof. Didik. ”Seperti di Amerika saja,” tambahnya.

Menurut Misbakhun, hasil cetak
uang itu disalurkan ke bank-bank pelaksana. Dipinjamkan ke bank. Sebagai
pinjaman khusus. Dengan bunga khusus –yang sangat murah. Bahkan harus 0 persen
–karena BI tidak boleh berbisnis.

Lantas bank meminjamkan dana
itu ke pengusaha. Dengan bunga sangat murah. Misalnya 2 persen.

Pengusaha lantas menggunakannya
untuk menggerakkan perusahaan –menciptakan lapangan kerja. 

Ekonomi pun bergerak.

Sampai di sini akan terjadi
perdebatan yang panjang: pengusaha mana yang bisa mendapat kredit khusus dengan
bunga khusus itu.

Untuk UKM? Perusahaan umum?
Perusahaan besar? Atau siapa saja yang selama ini punya pinjaman ke bank yang
tidak bisa membayar –karena Covid-19?

Bagaimana dengan perusahaan
yang sebelum ada Covid-19 pun sudah sempoyongan?

Belum lagi: berapa sebenarnya
kebutuhan uang semua pengusaha besar dan kecil itu? Agar cetak uangnya cukup?

Lalu: siapa yang akan
menghitung kebutuhan uang itu? Lewat mekanisme apa? Mekanisme bank?

Kalau ternyata kebutuhan itu,
misalnya, mencapai 2.000 triliun rupiah, apakah BI akan cetak uang sebanyak
itu?

Pasti rupiah langsung terjun
bebas.

Baca Juga :  Tes SKB CPNS Selesai, Ini Enam Peserta Nilai Tertinggi

Maka Prof. Didik menawarkan
jalan kompromi: cetak uangnya sedikit dulu. ”Kalau harus cetak uang, haruslah
bertahap. Sedikit-sedikit dulu,” ujar Prof Didik.

Misbakhun pun setuju dengan
usul itu. Ternyata Misbakhun juga bisa mendengarkan ide dari Prof. Didik itu.

Belum selesai. Persoalan pun
timbul. Tidak kalah krusialnya. Siapa yang mendapat prioritas mendapatkan uang
yang ”sedikit” itu?

Kalau cetak uangnya sedikit,
untuk UKM pun tidak cukup. Apalagi menjangkau yang besar.

Kalau hanya sebagian kecil UKM
yang bisa mendapatkannya: siapa yang sedikit itu? Siapa yang menentukan?

Rasanya cetak uang pun ternyata
akan menemukan jalan buntu –di tingkat pelaksanaan. Kecuali, tidak usah
mempertimbangkan fair atau tidak, adil atau tidak. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani
pun rupanya sudah membayangkan kesulitan di tingkat detail seperti itu. 

Tapi lantas apa?

Sudah jelas, mencari pinjaman
juga sulit. Mengeluarkan obligasi tidak lagi laku.

Kementerian Keuangan pun
memutuskan untuk cari jalan lain: menjual obligasi ke Bank Indonesia. Menurut
Prof. Didik nilai obligasi itu mencapai Rp 150 triliun.

Apakah boleh pemerintah menjual
obligasi dan menugaskan BI agar membelinya? 

Sebenarnya itu sama saja dengan
Kementerian Keuangan memerintahkan BI untuk mencetak uang. Sebanyak Rp 150
triliun itu.

Tentu BI akan menolak
permintaan seperti itu. Selama ini BI berpegang pada UU yang mengatur dirinya.
Yang melarang perbuatan seperti itu. 

Tapi pemerintah kini menerobos
aturan itu. Dengan cara yang kita semua sudah tahu: lewat Perppu baru, yang
disahkan kemarin itu.

Ups… Serba sulit.

Berarti tidak lagi hanya
politisi (DPR) yang berhadapan dengan teknokrat di pemerintahan. Teknokrat yang
di kementerian pun harus berhadapan dengan teknokrat yang ada di Bank
Indonesia.

Belum ada jalan keluar.

Bagi kita, ternyata lebih enak
kalau Tung Desem saja yang kembali beraksi: menyebar uang kontan dari udara.
(Dahlan Iskan)

Mungkin ada yang berpendapat
begini: tidak peduli utang atau cetak uang, yang penting uangnya dibagi untuk
kita-kita.

Seperti juga prinsip ”amplop
merah itu tidak penting, yang penting isinya”. 

Maka utang atau pun cetak uang,
yang penting uangnya akan dialirkan ke mana?

Kalau utang, yang akan terima
uang adalah kementerian keuangan. Masuk APBN. Dari sini uang hasil utang bisa
dialirkan ke mana saja –sesuai dengan program pemerintah.

Kalau cetak uang, hasil cetak
uang itu menjadi milik bank sentral –Bank Indonesia.

Maka, kalau keputusannya nanti
cetak uang, dari mana pemerintah dapat uang? Pinjam ke BI? Kan tidak ada
pintunya?

Berarti pemerintah memang
benar-benar sulit –harus lebih banyak kita doakan. Mau cari utang, sulit.
Tidak mudah cari utangan di situasi sekarang –semua negara mau utang. Mau
cetak uang, uangnya menjadi milik Bank Indonesia. 

Sekarang sudah berbeda dengan
zaman tahun 1956. Ketika itu pemerintah bisa memerintahkan cetak uang. Sekarang
tidak bisa lagi. Bank Indonesia itu independen.

Bahkan Bank Indonesia sendiri
tidak bisa cetak uang begitu saja. Bank Indonesia itu diadakan dengan tugas
khusus yang tunggal: menjaga nilai mata uang rupiah.

Tidak ada lagi tugas lain dari
BI. Tugas lamanya yang satu itu –sebagai Stasiun Balapan, lender
of the last resort
— sudah dihapus. 

BI tidak boleh lagi jadi
sandaran akhir bank-bank pelaksana. Tidak ada lagi sumber dana yang dulu
disebut ”Bantuan Likuiditas Bank Indonesia” itu. Bank yang mengalami kesulitan
uang sudah punya tempat sendiri untuk meminjam.

Itulah sebabnya tidak mudah
bagi BI didesak untuk cetak uang. Setiap cetak uang pasti akan memerosotkan
nilai mata uang rupiah –inflasi.

Kalau sampai itu terjadi
berarti BI telah gagal melakukan tugas satu-satunya.

Tapi tanpa cetak uang BI kan
juga gagal menjaga nilai mata uang? Bulan lalu? Sampai satu dolar menjadi Rp
16.000?

Baca Juga :  Maksimalkan Potensi Serapan Pendapatan Daerah

Orang seperti Mukhamad
Misbakhun akan menggunakan lubang seperti itu untuk berargumentasi. ”Harus saya
akui Misbakhun sangat pintar,” ujar Prof. Didik Rachbini dari INDEF kepada saya
kemarin.

Prof Didik, Misbakhun, dan saya
memang jadi pembicara dalam Webinar Sabtu lalu. Soal ekonomi pasca Covid-19.
Yang diadakan oleh Pengurus Pusat KB PII –organisasi alumnus Pelajar Islam
Indonesia.

Di situlah Misbakhun
menjelaskan konsep pemikirannya untuk cetak uang. Yang kemudian menjadi sikap
DPR. Sedang Prof Didik Rachbini menjelaskan bahayanya cetak uang.

Di forum KB PII itu, sikap
Misbakhun jelas: BI harus cetak uang.

”Ia pinter. Ia tidak menyebut
cetak uang. Ia menamakannya quantitative easing,” ujar
Prof. Didik. ”Seperti di Amerika saja,” tambahnya.

Menurut Misbakhun, hasil cetak
uang itu disalurkan ke bank-bank pelaksana. Dipinjamkan ke bank. Sebagai
pinjaman khusus. Dengan bunga khusus –yang sangat murah. Bahkan harus 0 persen
–karena BI tidak boleh berbisnis.

Lantas bank meminjamkan dana
itu ke pengusaha. Dengan bunga sangat murah. Misalnya 2 persen.

Pengusaha lantas menggunakannya
untuk menggerakkan perusahaan –menciptakan lapangan kerja. 

Ekonomi pun bergerak.

Sampai di sini akan terjadi
perdebatan yang panjang: pengusaha mana yang bisa mendapat kredit khusus dengan
bunga khusus itu.

Untuk UKM? Perusahaan umum?
Perusahaan besar? Atau siapa saja yang selama ini punya pinjaman ke bank yang
tidak bisa membayar –karena Covid-19?

Bagaimana dengan perusahaan
yang sebelum ada Covid-19 pun sudah sempoyongan?

Belum lagi: berapa sebenarnya
kebutuhan uang semua pengusaha besar dan kecil itu? Agar cetak uangnya cukup?

Lalu: siapa yang akan
menghitung kebutuhan uang itu? Lewat mekanisme apa? Mekanisme bank?

Kalau ternyata kebutuhan itu,
misalnya, mencapai 2.000 triliun rupiah, apakah BI akan cetak uang sebanyak
itu?

Pasti rupiah langsung terjun
bebas.

Baca Juga :  Tes SKB CPNS Selesai, Ini Enam Peserta Nilai Tertinggi

Maka Prof. Didik menawarkan
jalan kompromi: cetak uangnya sedikit dulu. ”Kalau harus cetak uang, haruslah
bertahap. Sedikit-sedikit dulu,” ujar Prof Didik.

Misbakhun pun setuju dengan
usul itu. Ternyata Misbakhun juga bisa mendengarkan ide dari Prof. Didik itu.

Belum selesai. Persoalan pun
timbul. Tidak kalah krusialnya. Siapa yang mendapat prioritas mendapatkan uang
yang ”sedikit” itu?

Kalau cetak uangnya sedikit,
untuk UKM pun tidak cukup. Apalagi menjangkau yang besar.

Kalau hanya sebagian kecil UKM
yang bisa mendapatkannya: siapa yang sedikit itu? Siapa yang menentukan?

Rasanya cetak uang pun ternyata
akan menemukan jalan buntu –di tingkat pelaksanaan. Kecuali, tidak usah
mempertimbangkan fair atau tidak, adil atau tidak. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani
pun rupanya sudah membayangkan kesulitan di tingkat detail seperti itu. 

Tapi lantas apa?

Sudah jelas, mencari pinjaman
juga sulit. Mengeluarkan obligasi tidak lagi laku.

Kementerian Keuangan pun
memutuskan untuk cari jalan lain: menjual obligasi ke Bank Indonesia. Menurut
Prof. Didik nilai obligasi itu mencapai Rp 150 triliun.

Apakah boleh pemerintah menjual
obligasi dan menugaskan BI agar membelinya? 

Sebenarnya itu sama saja dengan
Kementerian Keuangan memerintahkan BI untuk mencetak uang. Sebanyak Rp 150
triliun itu.

Tentu BI akan menolak
permintaan seperti itu. Selama ini BI berpegang pada UU yang mengatur dirinya.
Yang melarang perbuatan seperti itu. 

Tapi pemerintah kini menerobos
aturan itu. Dengan cara yang kita semua sudah tahu: lewat Perppu baru, yang
disahkan kemarin itu.

Ups… Serba sulit.

Berarti tidak lagi hanya
politisi (DPR) yang berhadapan dengan teknokrat di pemerintahan. Teknokrat yang
di kementerian pun harus berhadapan dengan teknokrat yang ada di Bank
Indonesia.

Belum ada jalan keluar.

Bagi kita, ternyata lebih enak
kalau Tung Desem saja yang kembali beraksi: menyebar uang kontan dari udara.
(Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru