Apa itu rasis?
Saya bisa merasakan tapi sulit
membuat rumusan.
Seorang wanita di St Louis,
Missouri, kirim email ke penerbit kamus terkenal Merriam-Webster. â€Saya protes
atas rumusan rasis di kamus itu,†ujar Kennedy Mitchum di MPR News Radio
Minneapolis.
â€Janganlah rasis diartikan ’tidak
menyukai seseorang karena beda ras’ saja,†tulisnyi di email itu.
Mitchum juga menuliskan protesnyi
itu di Facebook. Dia seorang doktor hukum, politik, dan ilmu sosial.
Tentu protesnyi itu tidak lepas
dari situasi terakhir –setelah George Floyd tewas karena lehernya di dengkul
polisi di Minneapolis itu.
Media di sana pun mulai
mempersoalkan apakah polisi kulit putih itu, Derek Chauvin, seorang rasis. Kan
istrinya sendiri suku Hmong. Yang masih lahir di Laos.
Tidakkah ada alasan lain.
Misalnya bukankah latar belakang Floyd sendiri juga kriminal –bahkan pernah
dihukum 5 tahun.
Ruwet.
Rasis telah mengalahkan akal
sehat –bahkan mengalahkan hukum sekali pun. Begitu dalamnya sentimen ras ini.
â€Semua itu gara-gara kamus,†ujar
komentar di Facebook. Seperti setengah bergurau. â€Kamus terlalu sederhana dalam
mendefinasikan rasis,†tulis wanita itu.
Menurut Mitchum rumusan di kamus
itu tidak cocok lagi dengan kenyataan di lapangan. Dalam definisi rasis hanya
disebutkan ’sebuah kepercayaan bahwa ras adalah penentu utama dari sifat-sifat
dan kapasitas manusia’. Ditambah dengan penjelasan ’bahwa perbedaan ras
menghasilkan rasa keunggulan yang melekat pada ras tertentu’.
Hebatnya penerbit kamus
Merriam-Webster sangat responsif. Perubahan langsung dilakukan.
Peter Sokolowski, editor
at large di Merriam-Webster menjelaskan: di edisi terbaru online sudah
diadakan perubahan.
Rasis, menurut rumusan baru itu,
terdiri dari dua jenis ekspresi: eksplisit dan implisit.
Yang eksplisit adalah: ekspresi
bias institusional terhadap orang lain yang disebabkan perbedaan ras.
Yang implisit adalah: ekspresi
bias implisit yang sangat luas yang juga bisa menghasilkan struktur kekuasaan
yang asimetris.
Haha… masih ruwet juga. Baca
sendiri sajalah aslinya. Buka sendirilah kamusnya.
Kebetulan saya juga terus
berkomunikasi dengan John Mohn. Lebih intensif lagi sejak maraknya demo di
Amerika belakangan ini. Termasuk diskusi soal ras.
John baru pindah rumah. Dari kota
amat kecil, Hays, ke kota besar Lawrence –empat jam bermobil ke arah timur. Di
masa pensiunnya John dan Chris ingin lebih dekat dengan rumah anak-anaknya.
Saya pun akan kangen Hays. Tidak
ada alasan lagi ke sana. Saya juga tidak akan tahu lagi bagaimana nasib masjid
kecil terbuat dari kayu itu. Yang jamaah salat Jumat-nya kadang hanya tiga
orang.
â€Bahwa istri Chauvin orang Hmong
benar. Tapi itu tidak bisa jadi pembenar bahwa ia tidak rasialis,†ujar John.
â€Sepanjang masih ada sikap ras
tertentu lebih unggul dari ras lain, itulah rasis,†tambahnya. â€Rasis harus
dibedakan dengan perbedaan budaya,†katanya. â€Orang Madiun suka pecel, saya
suka hamburger, itu bukan karena ras,†guraunya.
Selama berbulan-bulan tinggal di
rumah John pun saya sering diskusi soal ras dengannya. Kami sudah seperti
keluarga. Anak saya pernah menjadi anaknya –ketika sekolah SMA di pedalaman
Kansas dulu.
Dari diskusi ras itu kami pun
melangkah lebih jauh: sama-sama menjalani tes ras.
Selama itu John merasa keturunan
Jerman. Saya merasa orang Jawa.
Hasil tes ras itu membuat kami
tertawa. Kami pun langsung beradu telapak tangan sekeras-kerasnya. Kami
ternyata masih ada hubungan keluarga. Sedikit.
Kami sama-sama punya darah
Neanderthal. Sama-sama 2,5 persen.
Neanderthal adalah suku kuno.
Yang hidup di gua-gua. Di bagian selatan Jerman. Yang sudah lama punah.
Kami juga sama-sama keturunan
Indian. Hanya saja darah kulit merah saya 2,5 persen. Sedang darah Indian John
5 persen.
Suku Indian sendiri dipercaya
datang dari Asia Utara atau Timur. Mereka sampai ke Amerika ketika daratan dua
benua itu masih tersambung. Di dekat Alaska itu.
â€Saya tidak percaya ada ras
tertentu lebih unggul dari ras lainnya,†ujar John. â€Tapi itulah yang
dikembangkan di Eropa sejak ratusan tahun lalu,†tambahnya.
Teknologi tes ras sendiri kian
maju. Dulu hanya ada satu lab di Amerika yang bisa melakukannya. Ke situlah
kami melakukan tes.
Kini sudah banyak lab sejenis.
Tiongkok pun sudah membuka praktik seperti itu. Sudah menjadi ladang bisnis
baru yang laris. Lab-lab baru terus dibuka. Di Tiongkok saja kini sudah ada
beberapa.
Orang begitu emosional soal ras.
Orang begitu ingin tahu: saya ini orang apa. Bisnis yang terkait emosi adalah
bisnis yang pantang resesi.
Teknologi mungkin juga akan
menyelesaikan perbedaan ras. Rasanya tidak ada lagi orang yang masih 100 persen
dari ras yang mereka percaya.
Saya yang merasa Jawa ternyata
keturunan campuran: Neanderthal, Indian, Tionghoa, Arab, dan Asia Tenggara.
Kelak, kalau teknologi ras di
Asia sudah semaju Amerika, mungkin yang disebut â€ras Asia Tenggara†itu bisa
lebih dirinci lagi.
Jangan-jangan yang disebut ras
Asia Tenggara itu Sunda Empire. (Dahlan Iskan)