28.7 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Part Nyanyi pun Dibuat Se-Jibles Aslinya

Tantangan terberat generasi Z seperti para
personel Neo Jibles dalam memainkan lagu-lagu Koes Plus: bagaimana menghadirkan
sound retro 1960–1970-an dengan instrumen masa kini. Dipuji pendengar kategori
”idealis”, juga mampu menjaring penggemar muda.

 

FAHMI SAMASTUTI, Surabaya

 

COBA eksperimen kecil-kecilan ini, sendirian
atau bareng beberapa teman seselera. Cari lagu Hidup yang Sepi yang dimainkan
Neo Jibles di YouTube.

Klik, tapi jangan lihat videonya. Dengarkan
saja baik-baik vokalnya. Dan, kalau Anda mengenal baik Koes Plus, bakal sulit
untuk tidak mbatin, ”Asem, itu kan suaranya Yon (Koeswoyo)…!”

Demikian jibles (mirip sekali dalam bahasa
Jawa). Pengamat musik Bens Leo pernah menyebut vokal Yon, gitaris sekaligus
vokalis utama Koes Plus (KP), jernih, punya jangkauan lebar, serta memiliki
warna suara yang lembut dan mendayu-dayu.

Demikian pula yang dikatakan banyak orang
tentang suara Ario Yudha Prasetyo, vokalis dan rhythm guitarist Neo Jibles. Itu
masih ditambah ke-jibles-an ketukan drumer Muhammad Rizal dengan Murry,
penggebuk drum KP. Juga gaya permainan secara keseluruhan band asal Pacitan,
Jawa Timur, tersebut dengan Koes Plus.

Dari sanalah nama Neo Jibles berasal. Mereka tak
memakai Jibles saja karena sudah ada nama band pelestari KP lain yang terlebih
dulu menggunakan nama itu. ”Kalau mirip, kembali ke pendapat yang mendengarkan.
Tapi, dari kami sendiri, ya masih jauh,” kata Yudha kepada Jawa Pos.

Dengan hampir 1.000 lagu yang terangkum dalam
hampir 100 album, pengaruh Koes Bersaudara yang kemudian menjadi Koes Plus (ini
pun punya banyak sekali formasi) melintas zaman hingga sekarang. Tak heran jika
ada ratusan band pelestarinya di berbagai kota di penjuru tanah air.

Tak sedikit pula di antaranya yang para
personelnya dari generasi Z, satu generasi di bawah angkatan milenial. Termasuk
Neo Jibles yang personel tertuanya berusia 26 tahun dan tiga lainnya baru
berumur 22 tahun.

Bayangkan, band yang personelnya angkatan Baby
Boomer, mulai berkarir di era 1960-an, kini lagu-lagunya dilestarikan
”cucu-cicit” mereka dari generasi Z, dua dekade setelah milenium baru, dengan
penuh girah (semangat) dan presisi.

Meski muda, mereka punya basis fans yang kuat
lagi militan. Pada 4 Juni lalu contohnya. Mereka mengunggah Kolang-kaling,
salah satu lagu pop Jawa KP, di kanal YouTube mereka.

Dalam waktu sejam, jumlah view-nya sudah
melebihi seribu. Kolom komentar pun ramai, ada sekitar seratus pesan. Neo
Jibles dipuji mirip dengan Koes Plus. Dari cengkok, permainan, hingga
penampilan, plek dengan band legendaris Indonesia itu.

Yudha, Rizal, Taufik Eko Hidayanto (lead
guitarist, keyboardist, dan leader), serta Ricky Eka Atmaja (bassist) memang
berprinsip, permainan mereka memang harus semirip mungkin dengan aslinya.
Se-jibles mungkin dengan KP yang mereka kenal lewat orang tua mereka yang rutin
menyetelnya di rumah.

Baca Juga :  Hasil Rapid Test Sama: Nonreaktif

Sebagaimana KP ”Kembali ke Jakarta”, begitu
pula keinginan Neo Jibles: kembali ke KP yang se-jibles mungkin. Meski memang
tidak mungkin 100 persen identik. ”Alat-alatnya saja beda, suaranya sulit sama.
Tapi, kami mengusahakan biar terasa KP banget,” kata Yudha.

Neo Jibles juga mengikuti KP yang punya
”banyak” vokalis. Melakukan pembagian part menyanyi. ”Misalnya di lagu Diana.
Suara satunya dibawakan yang pegang rhythm guitar, suara duanya yang (pegang)
kibor,” papar Taufik yang dihubungi Jawa Pos secara terpisah.

Taufik menjelaskan, poin itu sering dilewatkan
band pelestari KP yang lain. Bagian menyanyi diserahkan kepada vokalis. Atau,
paling pol, dibagi dengan basis (bassist) atau gitaris.

Padahal, dari keempatnya, hanya Yudha yang
punya skill bernyanyi mumpuni. Lainnya terpaksa belajar. Mereka menatar diri
lewat mendengarkan rekaman-rekaman KP. ”Lama-lama kami terbiasa. Suaranya
amburadul, tapi enjoy aja,” katanya.

Taufik menambahkan, tantangan lain adalah
menghadirkan sound retro khas 1960–1970. Dalam ngeband, Neo Jibles menggunakan
instrumen entry level.

Tidak mahal, kualitasnya menengah. Namun,
Taufik cermat mengolah sound. Pria yang juga mengelola rental studio itu tidak
memaksakan alat-alat musiknya harus berasal dari merek yang plek ketiplek
(mirip sekali) dengan KP.

Taufik menyebutkan, nyawa KP ada di kibor.
”Rata-rata isian melodinya pakai kibor jadul. Jadi, saya cari kibor masa kini
yang sekiranya karakter suaranya sama,” ungkap ”pemeran” Tonny Koeswoyo (leader
Koes Plus) di Neo Jibles itu.

Mikrofon, gitar, bas, dan drum yang digunakan
relatif standar. ”Kalau terlalu menyamakan, jatuhnya di speaker zaman sekarang
kurang enak di telinga,” imbuhnya.

Contohnya bass drum. Di rekaman KP, suara
duk-duk yang dihasilkan cenderung tipis. Jika memaksakan suara serupa, suara
tersebut bisa hilang saat diputar di pelantang suara masa kini. ”Semacam hybrid
(gabungan) antara sound jadul dan alat baru,” ujar Taufik.

Menjadi band pelestari KP juga membuat Neo
Jibles harus rajin-rajin mengulik genre lain. ”KP mainnya dari pop, pop Jawa,
keroncong, Melayu, sampai rock n roll. Kalau nggak menguasai genre tadi, susah
membawakannya,” terang Yudha.

Lantaran sudah menguatkan diri di segi musik,
penampilan mereka relatif sederhana. Tidak ada kostum. ”Di cover saja, mereka
pakai oblong dan cutbray,” kata Yudha.

Rambut pun dibiarkan apa adanya. Tidak dibuat
gondrong. Jika ada event khusus yang mengharuskan ber-dress code, barulah
mereka sedikit ”berdandan”. ”Sepatutnya, pakai jas-jasan,” lanjutnya.

Baca Juga :  Mengintip Menu Makan Siang Presiden Jokowi di Pulang Pisau

Neo Jibles memang unggul dalam sisi musik dan
energi saat bermusik. Ditambah poin plus: punya akun YouTube yang aktif.

Namun, mereka terhalang lokasi. Tinggal di
Pacitan, yang basis komunitasnya tidak ”membara” seperti Surakarta atau
Jogjakarta, membuat mereka kesulitan mendapat panggung. ”Di event pribadi,
seperti khitan atau wedding, warga sini lebih milih hiburan organ tunggal atau
dangdut,” kata Yudha.

Di era pandemi ini, mereka juga kehilangan
banyak kesempatan tampil live. Banyak agenda dibatalkan. Termasuk kesempatan
manggung di rumah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di Karanganyar.

”Base camp kami sempat didatangi keluarga Pak
Wo (Ganjar, Red). Beliau minta jadwal saat Lebaran dikosongkan, diminta datang
di halalbihalal di rumahnya,” kata Yudha.

Dia menambahkan, keluarga Ganjar tergolong
maniak KP. ”Lebaran tahun lalu, mereka juga mengundang band pelestari KP asal
Solo,” imbuhnya.

Namun, meski kehilangan panggung, Neo Jibles
tidak patah arang. Mereka tetap pamer karya lewat YouTube. Yudha maupun Taufik
sepakat memutuskan tidak mengikuti langkah mainstream melakukan konser virtual.
Alasannya, mereka tidak didukung koneksi serta fasilitas memadai. Sehingga
penampilan delay. Kualitas suara pun tidak jernih. ”Kami juga khawatir ada yang
ngerekam lalu dijual. Risiko diperkarakan tinggi,” kata Taufik.

Tapi, setidaknya mereka sudah sempat 2 kali
manggung di Lokananta, studio legendaris di Solo; 2 kali di TMII (Taman Mini
Indonesia Indah), Jakarta; dan 2 kali di Bekasi. Di TMII, mereka tampil di
peringatan berpulangnya drumer Koes Plus Murry. ”Ketemu langsung sama Mas Rico
(Murry) dan sempat main bareng,” kenang Yudha.

Neo Jibles boleh muda. Namun, mereka punya
performa yang tidak kalah dengan seniornya. Hal itu diakui staf Lokananta dan
pemerhati musik Anggit Wicaksono. ”Dibanding (band) cover lainnya, buat saya
lebih segar. Penampilan panggung mereka energik, nyenengke,” ucapnya.

 

Pria yang juga kolektor kaset lawas tersebut
menyatakan, Neo Jibles mendapat sambutan hangat saat bermain di Surakarta yang
notabene basis fans KP garis keras. ”Fans di sini yang sudah berumur cenderung
idealis. Pengin mendengarkan KP yang seperti aslinya,” terang Anggit.

Neo Jibles juga tak kesulitan untuk menjaring
fans yang lebih muda. Selain punya modal akun YouTube yang aktif, kualitas
rekaman cover-nya berkualitas bagus karena dilakukan di studio.

Anggit juga memuji para
personel Neo Jibles yang tidak cuma suka musik. ”Saya sempat ngobrol panjang
dengan keyboardist-nya. Dia sangat paham musik dan teknisnya,” katanya.

Tantangan terberat generasi Z seperti para
personel Neo Jibles dalam memainkan lagu-lagu Koes Plus: bagaimana menghadirkan
sound retro 1960–1970-an dengan instrumen masa kini. Dipuji pendengar kategori
”idealis”, juga mampu menjaring penggemar muda.

 

FAHMI SAMASTUTI, Surabaya

 

COBA eksperimen kecil-kecilan ini, sendirian
atau bareng beberapa teman seselera. Cari lagu Hidup yang Sepi yang dimainkan
Neo Jibles di YouTube.

Klik, tapi jangan lihat videonya. Dengarkan
saja baik-baik vokalnya. Dan, kalau Anda mengenal baik Koes Plus, bakal sulit
untuk tidak mbatin, ”Asem, itu kan suaranya Yon (Koeswoyo)…!”

Demikian jibles (mirip sekali dalam bahasa
Jawa). Pengamat musik Bens Leo pernah menyebut vokal Yon, gitaris sekaligus
vokalis utama Koes Plus (KP), jernih, punya jangkauan lebar, serta memiliki
warna suara yang lembut dan mendayu-dayu.

Demikian pula yang dikatakan banyak orang
tentang suara Ario Yudha Prasetyo, vokalis dan rhythm guitarist Neo Jibles. Itu
masih ditambah ke-jibles-an ketukan drumer Muhammad Rizal dengan Murry,
penggebuk drum KP. Juga gaya permainan secara keseluruhan band asal Pacitan,
Jawa Timur, tersebut dengan Koes Plus.

Dari sanalah nama Neo Jibles berasal. Mereka tak
memakai Jibles saja karena sudah ada nama band pelestari KP lain yang terlebih
dulu menggunakan nama itu. ”Kalau mirip, kembali ke pendapat yang mendengarkan.
Tapi, dari kami sendiri, ya masih jauh,” kata Yudha kepada Jawa Pos.

Dengan hampir 1.000 lagu yang terangkum dalam
hampir 100 album, pengaruh Koes Bersaudara yang kemudian menjadi Koes Plus (ini
pun punya banyak sekali formasi) melintas zaman hingga sekarang. Tak heran jika
ada ratusan band pelestarinya di berbagai kota di penjuru tanah air.

Tak sedikit pula di antaranya yang para
personelnya dari generasi Z, satu generasi di bawah angkatan milenial. Termasuk
Neo Jibles yang personel tertuanya berusia 26 tahun dan tiga lainnya baru
berumur 22 tahun.

Bayangkan, band yang personelnya angkatan Baby
Boomer, mulai berkarir di era 1960-an, kini lagu-lagunya dilestarikan
”cucu-cicit” mereka dari generasi Z, dua dekade setelah milenium baru, dengan
penuh girah (semangat) dan presisi.

Meski muda, mereka punya basis fans yang kuat
lagi militan. Pada 4 Juni lalu contohnya. Mereka mengunggah Kolang-kaling,
salah satu lagu pop Jawa KP, di kanal YouTube mereka.

Dalam waktu sejam, jumlah view-nya sudah
melebihi seribu. Kolom komentar pun ramai, ada sekitar seratus pesan. Neo
Jibles dipuji mirip dengan Koes Plus. Dari cengkok, permainan, hingga
penampilan, plek dengan band legendaris Indonesia itu.

Yudha, Rizal, Taufik Eko Hidayanto (lead
guitarist, keyboardist, dan leader), serta Ricky Eka Atmaja (bassist) memang
berprinsip, permainan mereka memang harus semirip mungkin dengan aslinya.
Se-jibles mungkin dengan KP yang mereka kenal lewat orang tua mereka yang rutin
menyetelnya di rumah.

Baca Juga :  Hasil Rapid Test Sama: Nonreaktif

Sebagaimana KP ”Kembali ke Jakarta”, begitu
pula keinginan Neo Jibles: kembali ke KP yang se-jibles mungkin. Meski memang
tidak mungkin 100 persen identik. ”Alat-alatnya saja beda, suaranya sulit sama.
Tapi, kami mengusahakan biar terasa KP banget,” kata Yudha.

Neo Jibles juga mengikuti KP yang punya
”banyak” vokalis. Melakukan pembagian part menyanyi. ”Misalnya di lagu Diana.
Suara satunya dibawakan yang pegang rhythm guitar, suara duanya yang (pegang)
kibor,” papar Taufik yang dihubungi Jawa Pos secara terpisah.

Taufik menjelaskan, poin itu sering dilewatkan
band pelestari KP yang lain. Bagian menyanyi diserahkan kepada vokalis. Atau,
paling pol, dibagi dengan basis (bassist) atau gitaris.

Padahal, dari keempatnya, hanya Yudha yang
punya skill bernyanyi mumpuni. Lainnya terpaksa belajar. Mereka menatar diri
lewat mendengarkan rekaman-rekaman KP. ”Lama-lama kami terbiasa. Suaranya
amburadul, tapi enjoy aja,” katanya.

Taufik menambahkan, tantangan lain adalah
menghadirkan sound retro khas 1960–1970. Dalam ngeband, Neo Jibles menggunakan
instrumen entry level.

Tidak mahal, kualitasnya menengah. Namun,
Taufik cermat mengolah sound. Pria yang juga mengelola rental studio itu tidak
memaksakan alat-alat musiknya harus berasal dari merek yang plek ketiplek
(mirip sekali) dengan KP.

Taufik menyebutkan, nyawa KP ada di kibor.
”Rata-rata isian melodinya pakai kibor jadul. Jadi, saya cari kibor masa kini
yang sekiranya karakter suaranya sama,” ungkap ”pemeran” Tonny Koeswoyo (leader
Koes Plus) di Neo Jibles itu.

Mikrofon, gitar, bas, dan drum yang digunakan
relatif standar. ”Kalau terlalu menyamakan, jatuhnya di speaker zaman sekarang
kurang enak di telinga,” imbuhnya.

Contohnya bass drum. Di rekaman KP, suara
duk-duk yang dihasilkan cenderung tipis. Jika memaksakan suara serupa, suara
tersebut bisa hilang saat diputar di pelantang suara masa kini. ”Semacam hybrid
(gabungan) antara sound jadul dan alat baru,” ujar Taufik.

Menjadi band pelestari KP juga membuat Neo
Jibles harus rajin-rajin mengulik genre lain. ”KP mainnya dari pop, pop Jawa,
keroncong, Melayu, sampai rock n roll. Kalau nggak menguasai genre tadi, susah
membawakannya,” terang Yudha.

Lantaran sudah menguatkan diri di segi musik,
penampilan mereka relatif sederhana. Tidak ada kostum. ”Di cover saja, mereka
pakai oblong dan cutbray,” kata Yudha.

Rambut pun dibiarkan apa adanya. Tidak dibuat
gondrong. Jika ada event khusus yang mengharuskan ber-dress code, barulah
mereka sedikit ”berdandan”. ”Sepatutnya, pakai jas-jasan,” lanjutnya.

Baca Juga :  Mengintip Menu Makan Siang Presiden Jokowi di Pulang Pisau

Neo Jibles memang unggul dalam sisi musik dan
energi saat bermusik. Ditambah poin plus: punya akun YouTube yang aktif.

Namun, mereka terhalang lokasi. Tinggal di
Pacitan, yang basis komunitasnya tidak ”membara” seperti Surakarta atau
Jogjakarta, membuat mereka kesulitan mendapat panggung. ”Di event pribadi,
seperti khitan atau wedding, warga sini lebih milih hiburan organ tunggal atau
dangdut,” kata Yudha.

Di era pandemi ini, mereka juga kehilangan
banyak kesempatan tampil live. Banyak agenda dibatalkan. Termasuk kesempatan
manggung di rumah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di Karanganyar.

”Base camp kami sempat didatangi keluarga Pak
Wo (Ganjar, Red). Beliau minta jadwal saat Lebaran dikosongkan, diminta datang
di halalbihalal di rumahnya,” kata Yudha.

Dia menambahkan, keluarga Ganjar tergolong
maniak KP. ”Lebaran tahun lalu, mereka juga mengundang band pelestari KP asal
Solo,” imbuhnya.

Namun, meski kehilangan panggung, Neo Jibles
tidak patah arang. Mereka tetap pamer karya lewat YouTube. Yudha maupun Taufik
sepakat memutuskan tidak mengikuti langkah mainstream melakukan konser virtual.
Alasannya, mereka tidak didukung koneksi serta fasilitas memadai. Sehingga
penampilan delay. Kualitas suara pun tidak jernih. ”Kami juga khawatir ada yang
ngerekam lalu dijual. Risiko diperkarakan tinggi,” kata Taufik.

Tapi, setidaknya mereka sudah sempat 2 kali
manggung di Lokananta, studio legendaris di Solo; 2 kali di TMII (Taman Mini
Indonesia Indah), Jakarta; dan 2 kali di Bekasi. Di TMII, mereka tampil di
peringatan berpulangnya drumer Koes Plus Murry. ”Ketemu langsung sama Mas Rico
(Murry) dan sempat main bareng,” kenang Yudha.

Neo Jibles boleh muda. Namun, mereka punya
performa yang tidak kalah dengan seniornya. Hal itu diakui staf Lokananta dan
pemerhati musik Anggit Wicaksono. ”Dibanding (band) cover lainnya, buat saya
lebih segar. Penampilan panggung mereka energik, nyenengke,” ucapnya.

 

Pria yang juga kolektor kaset lawas tersebut
menyatakan, Neo Jibles mendapat sambutan hangat saat bermain di Surakarta yang
notabene basis fans KP garis keras. ”Fans di sini yang sudah berumur cenderung
idealis. Pengin mendengarkan KP yang seperti aslinya,” terang Anggit.

Neo Jibles juga tak kesulitan untuk menjaring
fans yang lebih muda. Selain punya modal akun YouTube yang aktif, kualitas
rekaman cover-nya berkualitas bagus karena dilakukan di studio.

Anggit juga memuji para
personel Neo Jibles yang tidak cuma suka musik. ”Saya sempat ngobrol panjang
dengan keyboardist-nya. Dia sangat paham musik dan teknisnya,” katanya.

Terpopuler

Artikel Terbaru