31.7 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

OJK Risma

Syukurlah isu pembubaran OJK reda. Dasar isu
itu memang tidak kuat – kecuali sengaja ingin bikin jantung pegawai OJK
berdebar-debar. Bahwa Presiden Jokowi sampai marah besar, mungkin karena
info-memo yang masuk ke beliau sangat provokatif. 

Semua ahli ekonomi tidak ada yang mendukung
pembubaran itu. Baik yang di Zoominar Institut Narasi, maupun yang menghadirkan
Mantan Menkeu Chatib Basri dua hari lalu.

Bahkan Chatib memuji Otoritas Jasa Keuangan
itu. Yang, katanya, dengan cepat merespons krisis ekonomi akibat pandemi. Yakni
dengan relaksasi kredit. Pengusaha bisa menunda pembayaran utang sampai tahun
2021.

Maka isu penggabungan kembali OJK ke dalam
Bank Indonesia memang harus diabaikan. Setidaknya sampai tiga tahun ke depan.
Terlalu banyak pekerjaan lebih sulit yang harus dihadapi sampai tahun
2023. 

Dalam situasi sulit seperti ini tidak baik
kalau kita hanya sibuk berheboh-heboh.

Tapi kan OJK lemah dalam melakukan
pengawasan? Sampai timbul mega-skandal Jiwasraya? 

Ternyata OJK punya penjelasan khusus. Yang
disampaikan oleh bagian Humas-nya. ”Soal Jiwasraya itu sudah terjadi sejak
2004,” katanya.

Seharusnya, dulu, kasus itu diselesaikan
dengan cara penambahan modal. Tapi yang dilakukan adalah meningkatkan
penjualan. Termasuk melalui bancassurance.

Yakni produk baru saat itu, penjualan
asuransi dikaitkan dengan program bank. Itulah yang telah menjadi bom waktu.
Yang baru meledak di tahun 2019.

Baca Juga :  Jadi Calon Survei Lokasi Speectra, Ini Harapan Pemkab Kapuas

Sebagian ahli menilai bancassurance itu memang mirip produsen bom
waktu. Ia bukan bank dan bukan pula asuransi – alias bukan-bukan.

Yang penting kita lupakan dulu heboh-heboh
OJK. Terlalu banyak pekerjaan yang harus dihadapi: apalagi angka penderita
Covid-19 terus naik. Rabu kemarin, sehari saja naiknya 1.800 orang. Tertinggi
dalam sejarah kita –meski kita mulai terbiasa dengan penambahan angka yang
besar itu.

Sampai-sampai wali kota Surabaya, yang selalu
menarik perhatian itu, Tri Rismaharini, naik sepeda motor. Dia masuk ke
kampung-kampung. Ke gang-gang sempit. Sepeda motornyi hanya bisa berjalan
pelan. Penduduk di situ sangat padat.

Lewat pengeras suaranyi, Risma terus
menyerukan pentingnya memakai masker.

Mungkin Risma punya teori sendiri.
Popularitasnyi yang amat tinggi, disangkanyi bisa membuat seruannyi ditaati.

Itu dia anggap sangat penting.

Lebih penting dari penemuan ilmiah seperti
Dokter Andani. Sekali lagi saya malu kepada pembaca DI’s Way.
Harus menyebut nama itu lagi.

Saya heran, pun Melinial Nakal seperti
Alghozi juga dianggap tidak penting. Tiga hari lamanya ia di Surabaya.
Hasilnya: tidak berhasil bertemu beliau.

Apa yang akan terjadi kalau angka Covid-19
itu naik terus?

Anda pun sudah tahu: secara ekonomi akan kian
sulit. Kembali ke PSBB? Juga sulit. Masyarakat sudah lelah dengan PSPB yang
lalu. Daya tahan masyarakat sudah sangat terbatas. Terutama masyarakat golongan
menengah ke bawah. Mereka tidak mungkin tidak keluar rumah: cari penghasilan.

Baca Juga :  Dukung PSBB, Wabup Harapkan Dukungan Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama dan

Itu berbeda dengan golongan menengah ke atas:
yang tetap bisa makan meski tidak bekerja.

Satu-satunya cara –agar mereka mau tinggal
di rumah– adalah bantuan sosial. Yang nilai dan tanggalnya pasti.

Itu berarti harus menggunakan dana negara.
Rakyat miskin harus digaji. Untuk apa? Agar mau tinggal di rumah. Tidak
keluyuran yang bisa tertular Covid-19. Atau menularkan.

Mungkin jumlah mereka sampai 40 juta rumah
tangga. Kalau satu kepala rumah tangga diberi Rp 1 juta/bulan, berarti Rp 40
triliun sebulan. Katakanlah tiga bulan. Hanya Rp 120 triliun.

Uang itu tidak hilang. Nilai itu akan
berputar di roda perekonomian nasional.

Ketika program itu dijalankan, program
kesehatan harus juga dijalankan. Orang seperti dokter Andani dan Alghozi harus
dimanfaatkan. Atau jangan ia dan ia. Siapa pun yang punya kemampuan seperti
mereka.

Dalam tiga bulan, mestinya, Covid-19
terkendali.

Kalau tidak, ya harus kita terima: new reality. Penderita akan terus bertambah. Kita
bisa menyusul India dan Brazil. Dan memang kelas kita setara dengan dua negara
itu. Sama-sama miskin. Sama-sama berpenduduk besar. Sama-sama tidak punya
jaminan sosial. Sama-sama kurang disiplin. 

Kelas kita, sebenarnya, juga sama dengan
Vietnam. Yang bisa hebat.(Dahlan Iskan)

 

Syukurlah isu pembubaran OJK reda. Dasar isu
itu memang tidak kuat – kecuali sengaja ingin bikin jantung pegawai OJK
berdebar-debar. Bahwa Presiden Jokowi sampai marah besar, mungkin karena
info-memo yang masuk ke beliau sangat provokatif. 

Semua ahli ekonomi tidak ada yang mendukung
pembubaran itu. Baik yang di Zoominar Institut Narasi, maupun yang menghadirkan
Mantan Menkeu Chatib Basri dua hari lalu.

Bahkan Chatib memuji Otoritas Jasa Keuangan
itu. Yang, katanya, dengan cepat merespons krisis ekonomi akibat pandemi. Yakni
dengan relaksasi kredit. Pengusaha bisa menunda pembayaran utang sampai tahun
2021.

Maka isu penggabungan kembali OJK ke dalam
Bank Indonesia memang harus diabaikan. Setidaknya sampai tiga tahun ke depan.
Terlalu banyak pekerjaan lebih sulit yang harus dihadapi sampai tahun
2023. 

Dalam situasi sulit seperti ini tidak baik
kalau kita hanya sibuk berheboh-heboh.

Tapi kan OJK lemah dalam melakukan
pengawasan? Sampai timbul mega-skandal Jiwasraya? 

Ternyata OJK punya penjelasan khusus. Yang
disampaikan oleh bagian Humas-nya. ”Soal Jiwasraya itu sudah terjadi sejak
2004,” katanya.

Seharusnya, dulu, kasus itu diselesaikan
dengan cara penambahan modal. Tapi yang dilakukan adalah meningkatkan
penjualan. Termasuk melalui bancassurance.

Yakni produk baru saat itu, penjualan
asuransi dikaitkan dengan program bank. Itulah yang telah menjadi bom waktu.
Yang baru meledak di tahun 2019.

Baca Juga :  Jadi Calon Survei Lokasi Speectra, Ini Harapan Pemkab Kapuas

Sebagian ahli menilai bancassurance itu memang mirip produsen bom
waktu. Ia bukan bank dan bukan pula asuransi – alias bukan-bukan.

Yang penting kita lupakan dulu heboh-heboh
OJK. Terlalu banyak pekerjaan yang harus dihadapi: apalagi angka penderita
Covid-19 terus naik. Rabu kemarin, sehari saja naiknya 1.800 orang. Tertinggi
dalam sejarah kita –meski kita mulai terbiasa dengan penambahan angka yang
besar itu.

Sampai-sampai wali kota Surabaya, yang selalu
menarik perhatian itu, Tri Rismaharini, naik sepeda motor. Dia masuk ke
kampung-kampung. Ke gang-gang sempit. Sepeda motornyi hanya bisa berjalan
pelan. Penduduk di situ sangat padat.

Lewat pengeras suaranyi, Risma terus
menyerukan pentingnya memakai masker.

Mungkin Risma punya teori sendiri.
Popularitasnyi yang amat tinggi, disangkanyi bisa membuat seruannyi ditaati.

Itu dia anggap sangat penting.

Lebih penting dari penemuan ilmiah seperti
Dokter Andani. Sekali lagi saya malu kepada pembaca DI’s Way.
Harus menyebut nama itu lagi.

Saya heran, pun Melinial Nakal seperti
Alghozi juga dianggap tidak penting. Tiga hari lamanya ia di Surabaya.
Hasilnya: tidak berhasil bertemu beliau.

Apa yang akan terjadi kalau angka Covid-19
itu naik terus?

Anda pun sudah tahu: secara ekonomi akan kian
sulit. Kembali ke PSBB? Juga sulit. Masyarakat sudah lelah dengan PSPB yang
lalu. Daya tahan masyarakat sudah sangat terbatas. Terutama masyarakat golongan
menengah ke bawah. Mereka tidak mungkin tidak keluar rumah: cari penghasilan.

Baca Juga :  Dukung PSBB, Wabup Harapkan Dukungan Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama dan

Itu berbeda dengan golongan menengah ke atas:
yang tetap bisa makan meski tidak bekerja.

Satu-satunya cara –agar mereka mau tinggal
di rumah– adalah bantuan sosial. Yang nilai dan tanggalnya pasti.

Itu berarti harus menggunakan dana negara.
Rakyat miskin harus digaji. Untuk apa? Agar mau tinggal di rumah. Tidak
keluyuran yang bisa tertular Covid-19. Atau menularkan.

Mungkin jumlah mereka sampai 40 juta rumah
tangga. Kalau satu kepala rumah tangga diberi Rp 1 juta/bulan, berarti Rp 40
triliun sebulan. Katakanlah tiga bulan. Hanya Rp 120 triliun.

Uang itu tidak hilang. Nilai itu akan
berputar di roda perekonomian nasional.

Ketika program itu dijalankan, program
kesehatan harus juga dijalankan. Orang seperti dokter Andani dan Alghozi harus
dimanfaatkan. Atau jangan ia dan ia. Siapa pun yang punya kemampuan seperti
mereka.

Dalam tiga bulan, mestinya, Covid-19
terkendali.

Kalau tidak, ya harus kita terima: new reality. Penderita akan terus bertambah. Kita
bisa menyusul India dan Brazil. Dan memang kelas kita setara dengan dua negara
itu. Sama-sama miskin. Sama-sama berpenduduk besar. Sama-sama tidak punya
jaminan sosial. Sama-sama kurang disiplin. 

Kelas kita, sebenarnya, juga sama dengan
Vietnam. Yang bisa hebat.(Dahlan Iskan)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru