Beduk dipukul bertalu-talu. Tepat jam 5 pagi. Cuaca masih
gelap di Kota Amritsar, negara bagian Punjab, India.
Seperti di kampung saya, tabuhan beduk itu pertanda akan
dimulainya salat subuh. Tapi suara beduk ini tidak datang dari masjid. beduk
itu ada di dalam gurdwara –masjidnya agama Sikh. Yang benduknya begitu mirip
dengan masjid.
Agama Sikh juga punya ibadah di waktu subuh.
Ketika beduk berbunyi itulah tanda peribadatan agama Sikh
akan dimulai.
Itu jam 5 pagi.
Saya sudah tiba di gurdwara sebelum beduk itu bertalu-talu.
Saya ingin tahu lebih banyak agama ini. Saya pilih ke gurdwara yang dianggap
paling suci oleh agama Sikh. Yakni gurdwara di Kota Amritsar, Punjab. Sembilan
jam naik mobil dari New Delhi. Ke arah utara.
Gurdwara Amritsar ini sangat besar. Ada halaman luas di
depannya. Mirip halaman depan masjid Madinah.
Lalu ada gerbang masuk gurdwara. Di depan gerbang itu ada
kolam air sedalam 10 cm.
Yang masuk gurdwara harus melewati kolam itu. Dengan kaki
telanjang. Agar ketika masuk gurdwara kaki dalam keadaan bersih.
Itu juga mirip dengan di banyak masjid di banyak tempat.
Sepatu sudah harus dilepas di samping halaman. Ada
penitipan sepatu gratis di situ. Yang dilayani oleh puluhan petugas gurdwara.
Ruangan untuk sepatu itu sendiri sudah sangat besar. Dengan loker-loker yang
ribuan jumlahnya.
Subuh di awal Desember itu sudah dingin: 16 derajat
celsius. Begitu melewati kolam itu kaki terasa lebih dingin. Apalagi harus
menapaki lantai marmer.
Di gerbang itu saya di tegur ramah oleh petugas jaga. Mirip
petugas saja di pintu masuk Masjidilharam di Makkah.
Saya diingatkan: kalau masuk gurdwara harus memakai penutup
kepala.
Saya tidak siap dengan kopiah.
Tapi di dekat kolam itu ada keranjang besar. Isinya kain
segi tiga yang bisa dipakai menutup kepala. Warna apa saja boleh.
Saya menuju keranjang itu. Saya minta tolong jemaah subuh
yang baru tiba untuk memasangkan penutup kepala saya –takut salah. Ia sendiri
mengenakan ‘kopiah’ model Sikh yang khas itu.
Saya pun kembali menyeberang melewati kolam cuci kaki tadi.
Gerbangnya cukup tebal. Lebih tebal dari gerbang
Masjidilharam di Makkah.
Setelah gerbang ini semua orang harus menuruni tangga ke
pelataran yang lebih rendah.
Saya juga membayangkan kok mirip dengan di Makkah –ketika
jemaah haji harus menuruni tangga ke pelataran sekitar Ka’bah.
Setiba di pelataran inilah saya memandang ke segala penjuru
angin: ternyata banyak gerbang lain menuju bagian dalam gurdwara ini. Mirip
dengan banyaknya gerbang masuk Masjidilharam. Hanya saja gerbangnya tidak
sebanyak di Makkah itu.
Dari pelataran di dalam gurdwara ini saya melihat begitu
banyak menara dan kubah. Mirip kalau saya berada di pelataran Ka’bah.
Pemandangan dari gurdwara ini sangat indah: lampu-lampu
dari menara memancar sangat terang. Juga lampu yang menyoroti kubah-kubah
besar. Pinggiran pelataran ini terbuat dari marmer. Tidak luas. Yang luas
adalah air danau buatan di tengah gurdwara itu.
Cahaya dari menara, dari kubah dan dari lampu penerangan
terpantul dengan gemerlap ke permukaan air itu.
Indah sekali.
Lebih indah lagi karena: di tengah danau itu ada bangunan
kecil berlapis emas. Arsitektur bangunan emas itu mirip masjid kecil. Cahaya
kuningnya memantul pula ke danau buatan itu.
Itulah bangunan terpenting dari keseluruhan gurdwara ini.
Yang terletak di tengah danau itu.
Mirip seperti masjid terapung (lihat foto utama).
Maka kalau di tengah pelataran Masjidilharam ada Ka’bah, di
tengah danau gurdwara ini ada kuil emas.
Kuil emas ini dihubungkan dengan koridor warna keemasan
pula ke kuil putih di pinggir danau.
Pusat ibadah subuh itu adalah di kuil emas itu.
Saya ikuti saja gelombang jamaah di situ. Saya ikut
mengalir di arus manusia di situ.
Saya berjalan di pelataran di pinggir danau itu –menuju
kuil yang berwarna putih. Saya harus melewati banyak orang yang masih tidur di
pinggir pelataran –serasa mereka itu jemaah haji yang lagi kelelahan.
Rupanya banyak juga orang yang bermalam di dalam gurdwara.
Setelah bertafakur semalam suntuk di situ.
Di sepanjang pelataran itu banyak juga orang yang lagi
duduk-duduk. Laki-laki dan perempuan. Banyak di antaranya yang lagi membaca
kitab suci Sikh.
Bayangan saya benar-benar ke Makkah. Mirip sekali
pemandangan di Masjidilharam.
Tiba di kuil putih itu saya belum telat. Tapi manusia sudah
memenuhi halaman kuil itu. Setiap yang baru datang terlihat berdiri dulu
menghadap kuil emas. Lalu bersujud. Mirip dengan sujud dalam salat. Hanya saja
sujudnya sekali.
Saya ikut duduk di halaman kuil putih itu. Menunggu jam 5
tepat.
Begitu terdengar suara beduk bertalu-talu saya naik terap
sembilan tangga. Saya masuk ke dalam kuil putih. Di dalam kuil putih itulah
beduk itu berada.
Ulama-ulama Sikh pun masuk ke kuil putih. Salah satunya
berpedang di ikat pinggangnya.
Para ulama itu bersujud ke arah ruang tengah di dalam kuil
itu.
Dari kuil putih inilah urutan ritual dimulai.
Pagi itu ada ritual khusus: membawa kitab suci Sikh dari
kuil putih ke kuil emas. Melewati koridor di atas air sepanjang 70 meter.
Kuil putih adalah ‘kamar tidur’ kitab suci itu. Jam 5 pagi
Sang Suci ‘dibangunkan’ dan diusung menuju kuil emas. Sepanjang hari kitab suci
berada di kuil emas. Sampai jam 10 malam. Pada jam itu ada ritual malam. Untuk
mengusung kembali Sang Suci. Dari kuil emas ‘pulang’ ke ‘kamar tidur’ di kuil
putih.
‘Kamar tidur’ Sang Suci ini dijaga petugas 24 jam.
Lantainya karpet mahal. Tempat tidurnya dibuat indah. Demikian juga selimut
yang menutupi Sang Suci.
Dari kuil putih ini Sang Suci dimasukkan tandu emas. Saat
memasukkan pun melalui rituil khusus yang magis.
Demikian juga ketika tandu suci itu dipikul menuju kuil
emas. Barisan pemikulnya cukup panjang. Paling depan adalah peniup trompet
sangkakala.
Sesekali trompet ditiup dengan bunyi melengking –awas,
Sang Suci mau lewat.
Di belakang trompet adalah para ulama. Lalu pemikul tandu.
Di belakang tandu masih banyak pengiring. Mereka mendendangkan
puji-pujian.
Saya tidak ikut mengiringi tandu suci. Saya ke depan lewat
koridor di sebelahnya. Agar bisa melihat dengan jelas ketika tandu suci itu
lewat di sebelah saya.
Perjalanan tandu suci itu sangat pelan. Ketika tiba di kuil
emas, jamaah yang mengiringinya masih mengular sampai di halaman kuil putih.
Di dalam kuil emas, kitab suci itu ditempatkan di altar
khusus di tengah ruangan. Beberapa ulama duduk tafakur menghadap kitab suci.
Setelah semua sujud ke Sang Suci barulah ada ceramah agama.
Selama 20 menit. Saya tidak mengerti isinya –dalam bahasa Punjab.
Usai ceramah itu barulah jamaah diperbolehkan masuk ke kuil
emas. Satu persatu. Berbaris. Antri mengular sampai kuil putih. Tidak
henti-hentinya sepanjang hari.
Sambil antri itu seseorang memperbaiki posisi penutup
kepala saya. Rupanya ada rambut saya yang terlihat –kain penutupnya berubah
posisi.
Di antrian itu saya berdekatan dengan wanita setengah baya.
Dia bersama putri dan suaminya. Dia bertanya saya dari negara mana dan apakah
baru sekali ini ke kuil emas.
Ternyata dia dari Inggris. Dia generasi ketiga yang lahir
di Inggris. Pekerjaannyi konsultan keuangan.
“Sudah berapa kali ke sini?” tanya saya.
“Sudah sering sekali. Hampir tiap tahun. Sejak saya
masih kecil,” katanyi.
“Ada keluarga di sini atau sengaja hanya ke sini?“
tanya saya lagi.
“Hanya khusus ke sini. Tiga hari. Lusa pulang,”
katanyi.
Ternyata dia satu hotel dengan saya, di Hotel Taj Swarna
Amritsar. Yang tarif termurahnya Rp 7 juta semalam. Sulit mencari hotel yang
tidak penuh.
Setelah antre setengah jam akhirnya saya tiba di pintu
masuk kuil emas. Saya ikuti saja apa yang dilakukan orang sebelum saya.
Ada yang sujud di depan pintu. Ada yang hanya menunduk
sambil menyentuhkan jari ke lantai.
Di dalam ruang kuil emas ini banyak yang tidak disiplin.
Seharusnya mereka hanya sebentar di dalam. Hanya untuk sujud atau menghormat ke
kitab suci. Lalu keluar. Agar antrean lancar.
Tapi banyak sekali yang duduk berlama-lama di pojok-pojok
ruangan. Sampai saya harus melangkahi mereka. Banyak juga yang
mengelap-ngelapkan tangan ke pagar pembatas kitab suci –seperti minta berkah.
Saya jadi ingat di Makkah. Begitu banyak yang memaksakan
diri salat di dekat Makam Ibrahim –sampai yang tawaf mengelilingi Ka’bah
tersandung-sandung tubuh yang salat.
Atau begitu banyak yang berlama-lama di Multazam –belum
mau meninggalkan ruang sempit dekat Ka’bah itu sebelum diusir petugas.
Tentu saya hanya sebentar di ruang itu.
Di satu sudut dekat kitab suci itu terlihat lima pemain
musik. Merekalah yang mengiringi lantunan lagu-lagu suci. Sepanjang hari. Tidak
berhenti.
Lagunya seperti irama sufi –tapi tidak sehalus lagu-lagu
sufi Mavlana Rumi di Turki. Gendang India-nya membuat lagu sufi ini bercampur
nada dinamis.
Lagu-lagu rohani itu dipancarkan ke mana-mana. Lewat
jaringan pengeras suara. Pun sampai ke pojok-pojok pertokoan di sekitar
gurdwara.
Keluar dari ruang di kuil emas ini mereka antre lagi. Menuju
teras kuil. Untuk mengambil air suci dan meminumnya. Ada juga yang membawa
jirigen kecil. Mengambil air itu untuk dibawa pulang.
Setelah minum air suci itu ibadah subuh pun selesai. Ada
yang langsung keluar gurdwara. Ada juga yang duduk-duduk di halaman kuil putih.
Sambil terus membaca kitab suci.
Yang akan meninggalkan gurdwara mereka bersujud dulu ke
arah kuil emas. Sujud wada’.
Di luar masih gelap. Matahari baru setengah jam lagi
terbit.
Saya pun meninggalkan gurdwara dengan berjuta rasa.(Dahlan Iskan)