DAMPAK krisis pandemi kini menjadi fokus perhatian pemerintah.
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 dibubarkan pada 20 Juli kemarin,
digantikan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Peleburan 18 lembaga (satuan, badan, dan komite) lain terkait ekonomi juga dilakukan
di bawah Komite PEN ini.
Melalui Perpres No. 82/2020,
Presiden Joko Widodo menyerahkan mandat pada Menko Perekonomian sebagai ketua
komite dan Menteri BUMN sebagai ketua pelaksana.
Seluruh anggaran penanganan pandemi
mencapai Rp 695,2 triliun. Jika dikurangi pendanaan di klaster kesehatan, dana
PEN mencapai Rp 607,05 triliun. Selain melalui Kementerian dan Lembaga (K/L)
untuk pendistribusian beberapa program, BUMN ditetapkan sebagai penerima
sekaligus instrumen penyaluran mayoritas dana PEN.
Muncul pertanyaan tentang pilihan
menjadikan BUMN sebagai lokomotif pemulihan ekonomi. Mampukah BUMN diharapkan
dengan kondisi internalnya yang masih penuh catatan? Ini penting dipikirkan,
mengingat di saat normal pun BUMN masih butuh pembenahan.
Kondisi BUMN
Program PEN diatur dalam Perpres
No.72/2020 tentang besaran anggaran, dan PP No. 23/2020 sebagai aturan
pelaksana. Pendanaannya dibagi beberapa klaster, yaitu: pembiayaan korporasi Rp
53,57 triliun, kesehatan Rp 87,55 triliun, sektoral K/L dan Pemda Rp 106,11
triliun, insentif usaha Rp 120,61 triliun, UMKM Rp 123,46 triliun, dan
perlindungan sosial Rp 203,9 triliun.
Pada klaster korporasi saja, dana
diserap untuk modal dan bantuan lain bagi BUMN. Ternyata hal serupa terjadi
pula di pendanaan insentif usaha dan UMKM (Rp 244,07 triliun atau 35,1 persen
dana PEN). Dana PEN mayoritas dialokasi sebagai insentif pajak dan subsidi
bunga nasabah dengan mengoptimalisasi BUMN perbankan. Banyak kritik potensi
salah sasaran, karena mengasumsikan usaha para debitur (pelaku usaha) tetap
normal. Padahal ada fakta gelombang kebangkrutan usaha dan pengangguran.
Hingga kini, masyarakat sendiri
belum sepenuhnya mengerti strategi penggunaan anggaran dan tolok ukur kinerja (key performance indeks) Program PEN.
Namun, Menteri Keuangan melaporkan dana PEN klaster korporasi telah meng-cover
12 BUMN untuk subsidi, Penyertaan Modal Negara (PMN), dan dana talangan yang
mencapai Rp 52,57 triliun (awal Juni). DPR pun kembali menyetujui Rp 151,1
triliun kucuran langsung ke BUMN dalam Raker 15 Juli.
Banyak negara memang mengambil
langkah mengamankan state-owned
enterprises (BUMN) di masa pandemi. Tetapi, ada yang mesti dicatat saat
memutuskan BUMN sebagai lokomotif pemulihan ekonomi di Indonesia.
Pertama, masalah tata kelola
BUMN. Di awal tahun, Menteri BUMN Erick Thohir pernah mengatakan bahwa dari
total yang eksis, hanya 15 BUMN mampu memenuhi target negara. Minimnya
akuntabilitas membuat BUMN menjadi struktur raksasa. Dari 142 BUMN sebagai
induk, ada 800 anak-cucu perusahaan yang tidak punya keterkaitan bisnis,
tumpang-tindih ranah garapannya, dan selalu merugi. Pada 2019 saja, KPK
melaporkan adanya 60 kasus korupsi BUMN. Jumlah itu belum termasuk yang
ditangani Kepolisian dan Kejaksaan.
Laporan dampak pandemi dari Organisation for Economic Co-operation and
Development (OECD) 25 Juni lalu sebenarnya sudah menjelaskan state-owned enterprises (BUMN) yang
lekat intervensi politik akan kalah saing dengan swasta. Bicara kepentingan
politik, ini agaknya sangat menyentil kondisi BUMN dalam negeri. Pergantian
direksi relatif mudah, disebabkan alasan politik. Kepentingan politik pun lebih
kentara di penunjukan kursi komisaris. Banyak ketidakpastian yang membuat BUMN
lemah mengimplementasi roadmap
bisnisnya.
Kedua, masalah kapasitas BUMN.
Kontribusi laba bersih seluruh BUMN hanya menyumbang 1 persen dari total PDB
(2018). Rasio laba bersih ini selalu turun sejak 2014 (1,5 persen). Kecilnya
laba menunjukkan keterbatasan BUMN menjalankan bisnis meski terus disuntik
modal. Membandingkan dengan state-owned
enterprises Temasek di Singapura, rasio laba bersihnya mencapai 4,6 persen
dari PDB. Inefisiensi kinerja membuat kapasitas BUMN di Indonesia minimalis di
tengah besarnya struktur lembaga.
Keterbatasan kapasitas BUMN juga
dapat dilihat pada laju bisnis yang tidak ekspansif. Hingga kini, belum ada
BUMN yang mampu bermain signifikan di pasar global. Dari daftar 15 BUMN yang
memenuhi target negara, kesemuanya berada di sektor perbankan, telekomunikasi,
konstruksi, dan migas. Catatan profit mereka “aman†karena ada tugas penyediaan
layanan di pasar domestik.
Trickle-Down Effect
Di satu sisi, kita memang perlu
memahami pemerintah yang memprioritaskan metode penyelamatan BUMN di tengah
krisis. Total aset BUMN meningkat 12,2 persen pada 2018, menjadi Rp 8.092
triliun.
Tetapi, ekspektasi publik
sekarang bukan sekadar soal kesehatan. Publik butuh dibuka peluang dan dukungan
membangkitkan usaha kembali. Sehingga, Program PEN mesti turut mempertimbangkan
esensi pemulihan yang lebih holistik. Di sinilah perlu ada seni mengelola
kebijakan di masa krisis dari para policy
makers. Momentum pemulihan di tengah krisis (recovery in crisis) mensyaratkan penyeimbangan fungsi penyelamatan
(rescue), penyiapan (preparation), dan pemulihan (recovery) secara bersamaan.
Refocusing proyek-proyek
pembangunan dan kegiatan padat karya (labor
intensive) bisa menjadi agenda yang merengkuh ketiga fungsi sekaligus. Sebenarnya langkah
Presiden Joko Widodo baru-baru ini sudah menunjukkan titik terang. Ada arahan
menggenjot pembangunan wisata, proyek lahan pertanian baru, dan keberhasilan
menarik investasi asing merelokasi industrinya. Dana sektoral K/L dan Pemda
pada Program PEN (Rp 106,11 triliun) juga bisa dijadikan dorongan integralnya.
Proyek pembangunan selalu menjadi
faktor penggerak (enabler) instrumen
ekonomi lain, sekaligus berfungsi penyiapan (preparation) yang penting. Jikapun memprioritaskan penyelamatan
aset BUMN, dana Program PEN tetap bisa dilewatkan BUMN sebagaimana maksud
semula. Yang paling penting, keterkaitan antara BUMN dan visi pembangunan ini
bisa melahirkan imbas kucuran (trickle-down
effect) yang sudah diharap-harap para pelaku usaha dan masyarakat luas.
Amanah menanggung pemulihan
memang tidak mudah, apalagi mengingat masa pandemi. Selain membereskan soal
tata kelola dan kapasitas usaha, BUMN juga dituntut mampu menerapkan kolaborasi
dengan berbagai pihak (UMKM, privat, dan Daerah).
Tanpa pembenahan, alih-alih trickle-down, yang terjadi justru
potensi amblasnya dana penanganan pandemi yang amat besar ini. Imbas kucuran
bagaimanapun menjadi urgen sifatnya, karena jangan sampai BUMN selamat dari
pandemi tapi daya beli dan kapasitas usaha masyarakat tetap tiarap.
(Penulis adalah pengamat kebijakan publik di Bantul, Yogyakarta)