26.1 C
Jakarta
Friday, April 18, 2025

Kiai Migas

Dari Lombok saya
langsung ke Tebu Ireng, Jombang. Kemarin. Itu sudah hari ketiga sejak
KH Salahuddin Wahid meninggal dunia di Jakarta.

Di gerbang pondok
pesantren itu saya disambut Gus Irfan. Beliau adalah salah satu dari 12 cucu KH
Hasyim Asy’ari yang masih ada. KH Hasyim Asy’ari adalah pendiri Tebu Ireng.
Beliaulah ayah Menteri Agama KH Wahid Hasyim. Beliaulah kakek Presiden
Abdurrahman Wahid.

“Mungkin karena
sudah empat bulan tidak ketemu sehingga DI’s Way menulis cucu Kiai Hasyim
Asy’ari sudah habis. Saya tertawa,” ujar Gus Irfan.

Saya tahu DI’s Way
telah membunuh 12 cucu yang masih ada itu –tanpa menguburkannya.

Empat bulan yang lalu
–dan bulan-bulan sebelumnya– saya memang runtang-runtung dengan Gus Irfan.
Termasuk bermobil bersama jalan darat dari Jakarta ke Surabaya.

Saya pun, dulu, sering
bertemu ayah beliau: KH Yusuf Hasyim.

Gus Irfan tidak pernah
mau tampil menjadi kiai utama Tebu Ireng.

KH Yusuf Hasyim, ayah
Gus Irfan, memang pernah menjadi kiai utama di pondok itu. Tapi anaknya tidak
harus otomatis menjadi pengganti sang ayah.

Demikian juga ketika
Gus Sholah –nama panggilan almarhum KH Ir Salahuddin Wahid– meninggal. Bukan
anak Gus Sholah, Ipang Wahid, yang menjadi penggantinya.

Padahal Ipang punya kemampuan leadership yang unggul. Ipang yang pernah
menjadi sutradara banyak film Indonesia itu lantas beralih ke konsultan
politik. Ia begitu dekat dengan presiden. Jasanya sangat besar untuk kemenangan
Presiden Jokowi. Di periode pertama maupun kedua.

Ipang-lah yang di hari-hari duka ini menjadi tuan
rumah di Tebu Ireng.

Waktu saya masuk ruang tamu, masih banyak
pelayat yang di rumah itu. Ipang bercerita bagaimana almarhum ayahnya di
hari-hari akhir beliau.

Ketika ibunya muncul dari ruang dalam, Ipang
berdiri. Ganti ibunya yang bercerita. Mulai Gus Sholah masuk RS Harapan Kita
sampai jantung almarhum sukses diablasi –dan kemudian boleh pulang. Tapi Gus
Sholah harus masuk RS lagi. Diketahuilah banyak cairan di jantung beliau.
Cairan itu lantas disedot. Mencapai 500 mililiter. Ternyata cairan itu muncul
lagi di jantung beliau. Disedot lagi. Tiap setengah jam.

Dokter pun sempat curiga. Jangan-jangan telah
terjadi kesalahan dalam proses ablasi. Meski rasanya tidak mungkin. Untuk
memastikannya dokter memutuskan membuka dada almarhum. Dilihatlah kondisi fisik
jantung beliau. “Ternyata dokter tidak menemukan kesalahan apa pun dalam
proses ablasi,” ujar Ny. Farida, istri Gus Sholah.

Kondisi Gus Sholah pun kian serius. Jam 4 sore
Ny Farida bertanya ke dokter. “Secara teknis-medis apakah masih ada
harapan?“ ujar Ny Farida menirukan pertanyaannyi ke dokter.

Baca Juga :  Kotim Bercahaya Akan Sejahterakan Masyarakat Lewat Perubahan

“Harus lebih banyak doa,” jawab
dokter seperti ditirukannyi.

Dari jawaban itu Ny Farida tahu bahwa Gus
Sholah sudah sulit diselamatkan. Maka ditanyakan lagi kemungkinan berikutnya.

“Secara teknis-medis kira-kira bisa
bertahan berapa lama?” tanyanyi seperti ditirukannyi.

“Paling lama sampai jam 12 malam,”
jawab dokter, seperti yang ditirukan beliau.

Sejak itu Ny Farida bersama tiga anaknyi terus
di sebelah Gus Sholah. Sang ibu terus memegang telapak tangan kanan Gus Sholah.
“Dia yang memegang telapak tangan kiri,” ujar Ny Farida sambil
menatap putrinyi, Acha, yang berdiri di belakang ibunyi.

Di saat bersamaan, Ipang terus menempelkan
mulutnya di telinga kanan sang ayah. Adik Ipang, Billy, menempelkan mulut di telinga
kiri.

Mereka terus membisikkan kalimat-kalimat
pengingat Tuhan ke telinga Gus Sholah. Tidak pernah berhenti. Sampai pun jam 12
malam, misalnya –saat diperkirakan Gus Sholah meninggal dunia.

Tapi pada jam 8.50 malam itu pintu ruangan
terbuka. Ada sapa “Assalamualaikum” dari orang yang masuk saat itu.
Ternyata itu Prof Yoga, salah satu dokter beliau di RS Harapan Kita.

Melihat dokter masuk, mereka tetap memegangi
dan membisiki Gus Sholah dengan kalimat-kalimat pujian pada Tuhan.

“Sebenarnya Gus Sholah ini sudah
wafat,” ujar sang dokter seperti ditirukan Ny. Farida.

Mereka pun melepaskan Gus Sholah. Selama itu
mereka sama sekali tidak mengira Gus Sholat sudah wafat.

Mereka menyangka akan mengetahui saat-saat
terakhir Gus Sholah meninggal dunia. Bukankah biasanya detik terakhir itu
ditandai dengan gerakan tertentu? Dan orang yang memeganginya akan bisa
merasakan gerakan itu?

“Kami berempat sama sekali tidak merasakan
ada gerakan apa pun,” ujar Ny Farida.

Begitu damainya perjalanan terakhir nafas Gus
Sholah.

Khusnul khotimah.

Amin.

Dari kediaman Gus Sholah ini saya menuju makam.
Yang letaknya hanya beberapa belas langkah di depan rumah itu.

Di makam itulah Presiden Gus Dur dimakamkan. Di
situ juga Gus Sholah dikebumikan.

Begitu banyak orang yang datang. Termasuk yang
dari Blitar, Bondowoso, Situbondo, dan banyak lagi. Mereka duduk bersila untuk
mengucapkan tahlil di dekat makam itu.

Saya pun beralih lagi ke rumah induk di Pondok
Tebu Ireng itu. Yang hanya tiga rumah di sebelah rumah Gus Sholah. Saya masih
juga terus bersama Gus Irfan.

Di rumah induk inilah saya ditemui Gus Kikin.
Yang nama lengkapnya adalah Abdul Hakim Mahfudz.

Baca Juga :  Proyek Food Estate Harus Diawasi dan Didukung

Suguhan tamu di situ banyak sekali. Saya pilih
makan duku saja. Yang sangat manis dan lezat itu.

Gus Kikin itulah yang telah ditunjuk
menggantikan Gus Sholah menjadi pimpinan tertinggi Tebu Ireng.

Kami duduk bersila di ruang depan rumah induk
itu. Ngobrol banyak hal. Tapi saya yang memulai bicara.

“Jadi, Gus Kikin ini ternyata mondok di
mana-mana ya?” kata saya. Ada semacam permintaan maaf di balik pertanyaan
itu.

“Awalnya di pondok Sunan Ampel, lalu ke
pondok Seblak,” ujar Gus Kikin. “Setelah itu lebih banyak ngaji ke
ayah,” tambahnya.

Pondok Sunan Ampel adalah pondok kecil di dalam
kota Jombang. Sedang lokasi pondok Seblak hanya selemparan batu dari Tebu
Ireng.

Ayah Gus Kikin sendiri seorang kiai. Ibunya
adalah sepupu Gus Dur. Kakek dari ayahnya juga kiai besar, KH Maksum. Yang
karya beliau menjadi buku pegangan di pesantren: Kitab Amshilatut Yashrifiyah.

Itulah kitab etimologi yang sampai sekarang
masih diajarkan di Pondok Tebu Ireng.

Kini Gus Kikin sendiri yang mengajarkan kitab
kuning itu kepada para santrinya.

Gus Kikin juga masih mengajarkan kitab kuning
populer lainnya: Durusul Falaqiyah.

Dari pesantren itu Gus Kikin masuk akademi yang
tidak akan Anda sangka: Akademi Pelayaran di Jakarta. Sampai selesai. Sampai
memiliki kemampuan mengemudikan kapal.

Setamat akademi itu Gus Kikin berkarir di BUMN:
menjadi pegawai Djakarta Lloyd. Dengan karir yang moncer pula: umur 30 tahun
sudah menjadi kepala cabang di Cilegon.

Itulah masa jaya Djakarta Lloyd. Dengan grup
band terkemukanya: D’Lloyd.

Setelah lebih 10 tahun di Djakarta Lloyd –dan
pindah-pindah ke beberapa cabang– Gus Kikin pun keluar. “Saya melihat ada
yang tidak sehat di situ. Suatu saat akan bahaya,” ujar beliau.

Saat kelak Djakarta Lloyd benar-benar di bibir
kebangkrutannya Gus Kikin sudah lama jadi pengusaha. “Saya jadi
eksportir,” ujarnya.

Yang diekspor adalah komoditi seperti pinang,
minyak atsiri, dan banyak lagi. Tujuan utamanya Korea Selatan.

Belakangan Gus Kikin punya usaha minyak dan gas
bumi. Sumur pertama gasnya ada di Madura. Tepatnya di Sumenep. “Sebentar
lagi gasnya sudah mengalir,” kata Gus Kikin.

Luar biasa.

Dan Kini Gus Kikin menjadi kiai utama di Tebu
Ireng. Waktunya pun akan terbagi di tiga lokasi: Surabaya, Jakarta, dan Tebu
Ireng.

Inilah babak baru dunia perkiaian
Indonesia.(Dahlan Iskan)

Dari Lombok saya
langsung ke Tebu Ireng, Jombang. Kemarin. Itu sudah hari ketiga sejak
KH Salahuddin Wahid meninggal dunia di Jakarta.

Di gerbang pondok
pesantren itu saya disambut Gus Irfan. Beliau adalah salah satu dari 12 cucu KH
Hasyim Asy’ari yang masih ada. KH Hasyim Asy’ari adalah pendiri Tebu Ireng.
Beliaulah ayah Menteri Agama KH Wahid Hasyim. Beliaulah kakek Presiden
Abdurrahman Wahid.

“Mungkin karena
sudah empat bulan tidak ketemu sehingga DI’s Way menulis cucu Kiai Hasyim
Asy’ari sudah habis. Saya tertawa,” ujar Gus Irfan.

Saya tahu DI’s Way
telah membunuh 12 cucu yang masih ada itu –tanpa menguburkannya.

Empat bulan yang lalu
–dan bulan-bulan sebelumnya– saya memang runtang-runtung dengan Gus Irfan.
Termasuk bermobil bersama jalan darat dari Jakarta ke Surabaya.

Saya pun, dulu, sering
bertemu ayah beliau: KH Yusuf Hasyim.

Gus Irfan tidak pernah
mau tampil menjadi kiai utama Tebu Ireng.

KH Yusuf Hasyim, ayah
Gus Irfan, memang pernah menjadi kiai utama di pondok itu. Tapi anaknya tidak
harus otomatis menjadi pengganti sang ayah.

Demikian juga ketika
Gus Sholah –nama panggilan almarhum KH Ir Salahuddin Wahid– meninggal. Bukan
anak Gus Sholah, Ipang Wahid, yang menjadi penggantinya.

Padahal Ipang punya kemampuan leadership yang unggul. Ipang yang pernah
menjadi sutradara banyak film Indonesia itu lantas beralih ke konsultan
politik. Ia begitu dekat dengan presiden. Jasanya sangat besar untuk kemenangan
Presiden Jokowi. Di periode pertama maupun kedua.

Ipang-lah yang di hari-hari duka ini menjadi tuan
rumah di Tebu Ireng.

Waktu saya masuk ruang tamu, masih banyak
pelayat yang di rumah itu. Ipang bercerita bagaimana almarhum ayahnya di
hari-hari akhir beliau.

Ketika ibunya muncul dari ruang dalam, Ipang
berdiri. Ganti ibunya yang bercerita. Mulai Gus Sholah masuk RS Harapan Kita
sampai jantung almarhum sukses diablasi –dan kemudian boleh pulang. Tapi Gus
Sholah harus masuk RS lagi. Diketahuilah banyak cairan di jantung beliau.
Cairan itu lantas disedot. Mencapai 500 mililiter. Ternyata cairan itu muncul
lagi di jantung beliau. Disedot lagi. Tiap setengah jam.

Dokter pun sempat curiga. Jangan-jangan telah
terjadi kesalahan dalam proses ablasi. Meski rasanya tidak mungkin. Untuk
memastikannya dokter memutuskan membuka dada almarhum. Dilihatlah kondisi fisik
jantung beliau. “Ternyata dokter tidak menemukan kesalahan apa pun dalam
proses ablasi,” ujar Ny. Farida, istri Gus Sholah.

Kondisi Gus Sholah pun kian serius. Jam 4 sore
Ny Farida bertanya ke dokter. “Secara teknis-medis apakah masih ada
harapan?“ ujar Ny Farida menirukan pertanyaannyi ke dokter.

Baca Juga :  Kotim Bercahaya Akan Sejahterakan Masyarakat Lewat Perubahan

“Harus lebih banyak doa,” jawab
dokter seperti ditirukannyi.

Dari jawaban itu Ny Farida tahu bahwa Gus
Sholah sudah sulit diselamatkan. Maka ditanyakan lagi kemungkinan berikutnya.

“Secara teknis-medis kira-kira bisa
bertahan berapa lama?” tanyanyi seperti ditirukannyi.

“Paling lama sampai jam 12 malam,”
jawab dokter, seperti yang ditirukan beliau.

Sejak itu Ny Farida bersama tiga anaknyi terus
di sebelah Gus Sholah. Sang ibu terus memegang telapak tangan kanan Gus Sholah.
“Dia yang memegang telapak tangan kiri,” ujar Ny Farida sambil
menatap putrinyi, Acha, yang berdiri di belakang ibunyi.

Di saat bersamaan, Ipang terus menempelkan
mulutnya di telinga kanan sang ayah. Adik Ipang, Billy, menempelkan mulut di telinga
kiri.

Mereka terus membisikkan kalimat-kalimat
pengingat Tuhan ke telinga Gus Sholah. Tidak pernah berhenti. Sampai pun jam 12
malam, misalnya –saat diperkirakan Gus Sholah meninggal dunia.

Tapi pada jam 8.50 malam itu pintu ruangan
terbuka. Ada sapa “Assalamualaikum” dari orang yang masuk saat itu.
Ternyata itu Prof Yoga, salah satu dokter beliau di RS Harapan Kita.

Melihat dokter masuk, mereka tetap memegangi
dan membisiki Gus Sholah dengan kalimat-kalimat pujian pada Tuhan.

“Sebenarnya Gus Sholah ini sudah
wafat,” ujar sang dokter seperti ditirukan Ny. Farida.

Mereka pun melepaskan Gus Sholah. Selama itu
mereka sama sekali tidak mengira Gus Sholat sudah wafat.

Mereka menyangka akan mengetahui saat-saat
terakhir Gus Sholah meninggal dunia. Bukankah biasanya detik terakhir itu
ditandai dengan gerakan tertentu? Dan orang yang memeganginya akan bisa
merasakan gerakan itu?

“Kami berempat sama sekali tidak merasakan
ada gerakan apa pun,” ujar Ny Farida.

Begitu damainya perjalanan terakhir nafas Gus
Sholah.

Khusnul khotimah.

Amin.

Dari kediaman Gus Sholah ini saya menuju makam.
Yang letaknya hanya beberapa belas langkah di depan rumah itu.

Di makam itulah Presiden Gus Dur dimakamkan. Di
situ juga Gus Sholah dikebumikan.

Begitu banyak orang yang datang. Termasuk yang
dari Blitar, Bondowoso, Situbondo, dan banyak lagi. Mereka duduk bersila untuk
mengucapkan tahlil di dekat makam itu.

Saya pun beralih lagi ke rumah induk di Pondok
Tebu Ireng itu. Yang hanya tiga rumah di sebelah rumah Gus Sholah. Saya masih
juga terus bersama Gus Irfan.

Di rumah induk inilah saya ditemui Gus Kikin.
Yang nama lengkapnya adalah Abdul Hakim Mahfudz.

Baca Juga :  Proyek Food Estate Harus Diawasi dan Didukung

Suguhan tamu di situ banyak sekali. Saya pilih
makan duku saja. Yang sangat manis dan lezat itu.

Gus Kikin itulah yang telah ditunjuk
menggantikan Gus Sholah menjadi pimpinan tertinggi Tebu Ireng.

Kami duduk bersila di ruang depan rumah induk
itu. Ngobrol banyak hal. Tapi saya yang memulai bicara.

“Jadi, Gus Kikin ini ternyata mondok di
mana-mana ya?” kata saya. Ada semacam permintaan maaf di balik pertanyaan
itu.

“Awalnya di pondok Sunan Ampel, lalu ke
pondok Seblak,” ujar Gus Kikin. “Setelah itu lebih banyak ngaji ke
ayah,” tambahnya.

Pondok Sunan Ampel adalah pondok kecil di dalam
kota Jombang. Sedang lokasi pondok Seblak hanya selemparan batu dari Tebu
Ireng.

Ayah Gus Kikin sendiri seorang kiai. Ibunya
adalah sepupu Gus Dur. Kakek dari ayahnya juga kiai besar, KH Maksum. Yang
karya beliau menjadi buku pegangan di pesantren: Kitab Amshilatut Yashrifiyah.

Itulah kitab etimologi yang sampai sekarang
masih diajarkan di Pondok Tebu Ireng.

Kini Gus Kikin sendiri yang mengajarkan kitab
kuning itu kepada para santrinya.

Gus Kikin juga masih mengajarkan kitab kuning
populer lainnya: Durusul Falaqiyah.

Dari pesantren itu Gus Kikin masuk akademi yang
tidak akan Anda sangka: Akademi Pelayaran di Jakarta. Sampai selesai. Sampai
memiliki kemampuan mengemudikan kapal.

Setamat akademi itu Gus Kikin berkarir di BUMN:
menjadi pegawai Djakarta Lloyd. Dengan karir yang moncer pula: umur 30 tahun
sudah menjadi kepala cabang di Cilegon.

Itulah masa jaya Djakarta Lloyd. Dengan grup
band terkemukanya: D’Lloyd.

Setelah lebih 10 tahun di Djakarta Lloyd –dan
pindah-pindah ke beberapa cabang– Gus Kikin pun keluar. “Saya melihat ada
yang tidak sehat di situ. Suatu saat akan bahaya,” ujar beliau.

Saat kelak Djakarta Lloyd benar-benar di bibir
kebangkrutannya Gus Kikin sudah lama jadi pengusaha. “Saya jadi
eksportir,” ujarnya.

Yang diekspor adalah komoditi seperti pinang,
minyak atsiri, dan banyak lagi. Tujuan utamanya Korea Selatan.

Belakangan Gus Kikin punya usaha minyak dan gas
bumi. Sumur pertama gasnya ada di Madura. Tepatnya di Sumenep. “Sebentar
lagi gasnya sudah mengalir,” kata Gus Kikin.

Luar biasa.

Dan Kini Gus Kikin menjadi kiai utama di Tebu
Ireng. Waktunya pun akan terbagi di tiga lokasi: Surabaya, Jakarta, dan Tebu
Ireng.

Inilah babak baru dunia perkiaian
Indonesia.(Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru