30.1 C
Jakarta
Tuesday, April 22, 2025

Humor Tower

Saya dapat kiriman foto. Seorang
lelaki muda lagi termangu berdiri di tengah banyak sandal jepit yang
berserakan. Ia seperti bingung mencari-cari mana pasangan sandal untuk kaki
kirinya.

Di bawah foto itu disertakan
teks: Jangan kecil hati. Serumit-rumit problem Anda masih rumit problem orang
itu.

Agak lama saya memandangi foto
itu. Tapi lebih lama lagi mengingat siapa pengirimnya.

“Saya Bambang
Triwibowo,” tulisnya di WA.

Saya masih belum ingat sepenuhnya
siapa ia. Saya memang seperti melupakan masa lalu saya. Tapi humor itu terlalu
menarik. Saya kepo.
Lalu saya selidiki dengan pertanyaan tidak langsung.

“Sekarang sibuk di
mana?” tanya saya.

“Sejak berhenti dari PP
tahun 2016 saya mendapat tugas sebagai Dirut Perumnas. Mohon doa,”
jawabnya.

Nah, ketahuanlah siapa pengirim
lelucon itu.

Saya menjadi ingat bahwa ia
satu-satunya Dirut BUMN yang berani kirim humor ke HP menteri, saat itu. Stok
humornya begitu banyak.

Bahkan ia juga berani memarahi
menteri –ketika sama-sama bermain ketoprak humor– karena naskah sandiwaranya
mengharuskan begitu.

Tapi soal kerja Bambang Triwibowo
tidak pernah guyon. Idenya banyak. Melaksanakannya serius.

Tepat sekali Bambang ditunjuk
mengembangkan Perumnas.

Mungkin, kalau saya, tidak sampai
hati ‘menurunkan derajat’ orang yang begitu berprestasi di perusahaan besar ke
perusahaan yang lebih kecil. Dengan jabatan sama-sama direktur utama.

Baca Juga :  PSKH Diterapkan Pemko Tidak Berbeda dengan PSBB

Tapi Bambang tidak merasa
dijatuhkan. Ia selalu bisa nikmati apa yang ada. Selera humornya mengalahkan
perasaan tertekan di hatinya. Dan hasilnya nyata. Perumnas berkibar lebih
tinggi di tangannya.

Dan yang paling saya puji adalah
idenya ini: membangun rumah tinggi di tanah stasiun kereta api.

Saya jadi teringat Hongkong.
Begitulah di sana. Apartemen dibangun di dekat stasiun bawah tanah. Agar efisien.

Dua-duanya diuntungkan –kereta
dan pembeli rumahnya. Pun perusahaan pengembangnya.

KRL adalah angkutan kota yang
sangat murah: Rp 3000.

Tapi karena banyak perumahan yang
jauh dari stasiun biaya transportasi mereka menjadi mahal sekali. Bisa memakan
lebih separo dari gaji. Alangkah ekonomisnya kalau semua pelanggan KRL punya
rumah di dekat stasiun.

Bayangkan, naik KRL-nya Rp 3000.
Tapi untuk menuju stasiun perlu naik ojek Rp 10.000.

Kemahalan seperti itu akan
terpangkas lewat program Perumnas seperti ini.

Dan menegakkan akal sehat seperti
itulah yang dilakukan Bambang. Ia membangun tower-tower di tanah stasiun.
Bekerja sama dengan KAI.

Tahap pertama dibangun di tiga
stasiun dulu: Tanjung Barat, Margonda, dan Serpong.

Baca Juga :  Pemko Akan Meningkatkan Ritme Kerja Aparatur Berbasis Teknologi

Di Tanjung Barat dibangun dua
tower. Tidak jauh dari Kampus UI Depok itu. Masing-masing 22 lantai. Bisa untuk
1.200 rumah di situ.

Itulah proyek Mahata Tanjung
Barat.

Di Margonda dibangun tiga tower.
Tingginya 28 lantai. Lebih banyak lagi rumah yang tersedia.

Itulah proyek Mahata Margonda.

Bahkan tiga tower yang di stasiun
Serpong tingginya 33 lantai.

Itulah Mahata Serpong.

“Kenapa namanya
Mahata?” tanya saya.

“Mahata itu bahasa Arab.
Artinya stasiun,” ujar Bambang. Yang lulusan fakultas teknik UGM itu.

“Kami sudah cari stasiun di
banyak bahasa asing. Kok yang cocok yang dari bahasa Arab itu,” tambahnya.

Ternyata semuanya laris.
“Bagaimana tidak laris,” ujar Bambang. “Kami jual rumah bonusnya
kereta api,” tambahnya –dengan humornya yang kaya.

Sebenarnya ada lagi akal sehat
yang masih harus ditegakkan: banyaknya rumah susun ternyata tidak banyak
mengurangi kampung kumuh di Jakarta.

Itu karena rumah susun tidak
diprogram untuk ‘bedol RT’ kampung kumuh.

Mungkin Bambang bisa menggunakan
Perumnas untuk memodernkan kampung kumuh di mana-mana.

Lewat akalnya yang banyak. Dan
lewat kesegaran pikirannya yang distimulir oleh humor-humornya.(Dahlan Iskan)

Saya dapat kiriman foto. Seorang
lelaki muda lagi termangu berdiri di tengah banyak sandal jepit yang
berserakan. Ia seperti bingung mencari-cari mana pasangan sandal untuk kaki
kirinya.

Di bawah foto itu disertakan
teks: Jangan kecil hati. Serumit-rumit problem Anda masih rumit problem orang
itu.

Agak lama saya memandangi foto
itu. Tapi lebih lama lagi mengingat siapa pengirimnya.

“Saya Bambang
Triwibowo,” tulisnya di WA.

Saya masih belum ingat sepenuhnya
siapa ia. Saya memang seperti melupakan masa lalu saya. Tapi humor itu terlalu
menarik. Saya kepo.
Lalu saya selidiki dengan pertanyaan tidak langsung.

“Sekarang sibuk di
mana?” tanya saya.

“Sejak berhenti dari PP
tahun 2016 saya mendapat tugas sebagai Dirut Perumnas. Mohon doa,”
jawabnya.

Nah, ketahuanlah siapa pengirim
lelucon itu.

Saya menjadi ingat bahwa ia
satu-satunya Dirut BUMN yang berani kirim humor ke HP menteri, saat itu. Stok
humornya begitu banyak.

Bahkan ia juga berani memarahi
menteri –ketika sama-sama bermain ketoprak humor– karena naskah sandiwaranya
mengharuskan begitu.

Tapi soal kerja Bambang Triwibowo
tidak pernah guyon. Idenya banyak. Melaksanakannya serius.

Tepat sekali Bambang ditunjuk
mengembangkan Perumnas.

Mungkin, kalau saya, tidak sampai
hati ‘menurunkan derajat’ orang yang begitu berprestasi di perusahaan besar ke
perusahaan yang lebih kecil. Dengan jabatan sama-sama direktur utama.

Baca Juga :  PSKH Diterapkan Pemko Tidak Berbeda dengan PSBB

Tapi Bambang tidak merasa
dijatuhkan. Ia selalu bisa nikmati apa yang ada. Selera humornya mengalahkan
perasaan tertekan di hatinya. Dan hasilnya nyata. Perumnas berkibar lebih
tinggi di tangannya.

Dan yang paling saya puji adalah
idenya ini: membangun rumah tinggi di tanah stasiun kereta api.

Saya jadi teringat Hongkong.
Begitulah di sana. Apartemen dibangun di dekat stasiun bawah tanah. Agar efisien.

Dua-duanya diuntungkan –kereta
dan pembeli rumahnya. Pun perusahaan pengembangnya.

KRL adalah angkutan kota yang
sangat murah: Rp 3000.

Tapi karena banyak perumahan yang
jauh dari stasiun biaya transportasi mereka menjadi mahal sekali. Bisa memakan
lebih separo dari gaji. Alangkah ekonomisnya kalau semua pelanggan KRL punya
rumah di dekat stasiun.

Bayangkan, naik KRL-nya Rp 3000.
Tapi untuk menuju stasiun perlu naik ojek Rp 10.000.

Kemahalan seperti itu akan
terpangkas lewat program Perumnas seperti ini.

Dan menegakkan akal sehat seperti
itulah yang dilakukan Bambang. Ia membangun tower-tower di tanah stasiun.
Bekerja sama dengan KAI.

Tahap pertama dibangun di tiga
stasiun dulu: Tanjung Barat, Margonda, dan Serpong.

Baca Juga :  Pemko Akan Meningkatkan Ritme Kerja Aparatur Berbasis Teknologi

Di Tanjung Barat dibangun dua
tower. Tidak jauh dari Kampus UI Depok itu. Masing-masing 22 lantai. Bisa untuk
1.200 rumah di situ.

Itulah proyek Mahata Tanjung
Barat.

Di Margonda dibangun tiga tower.
Tingginya 28 lantai. Lebih banyak lagi rumah yang tersedia.

Itulah proyek Mahata Margonda.

Bahkan tiga tower yang di stasiun
Serpong tingginya 33 lantai.

Itulah Mahata Serpong.

“Kenapa namanya
Mahata?” tanya saya.

“Mahata itu bahasa Arab.
Artinya stasiun,” ujar Bambang. Yang lulusan fakultas teknik UGM itu.

“Kami sudah cari stasiun di
banyak bahasa asing. Kok yang cocok yang dari bahasa Arab itu,” tambahnya.

Ternyata semuanya laris.
“Bagaimana tidak laris,” ujar Bambang. “Kami jual rumah bonusnya
kereta api,” tambahnya –dengan humornya yang kaya.

Sebenarnya ada lagi akal sehat
yang masih harus ditegakkan: banyaknya rumah susun ternyata tidak banyak
mengurangi kampung kumuh di Jakarta.

Itu karena rumah susun tidak
diprogram untuk ‘bedol RT’ kampung kumuh.

Mungkin Bambang bisa menggunakan
Perumnas untuk memodernkan kampung kumuh di mana-mana.

Lewat akalnya yang banyak. Dan
lewat kesegaran pikirannya yang distimulir oleh humor-humornya.(Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru