26.3 C
Jakarta
Wednesday, April 9, 2025

Sujud Risma

Anda sudah tahu: Bu Risma (Tri
Rismaharini) sampai sujud-sujud. Di depan para dokter. Senin kemarin. 

Hasilnya nyata: diketahuilah
kenapa rumah-rumah sakit di Surabaya terlalu penuh penderita Covid-19.

Setelah adegan heboh itu jalan
keluar pun ditemukan. 

Penyebab utama lubernya rumah
sakit itu bisa diketahui. Jumlah penderita Covid-19 masih naik. Tapi ada
penyebab lain: pasien Covid-19 terlalu lama berada di rumah sakit.

Mengapa?

Karena yang sudah negatif tidak
boleh pulang. Harus menunggu hasil tes swab yang kedua. Padahal jarak tes
pertama dan kedua itu bisa lima sampai enam hari.

Prosedur yang seperti itu sesuai
dengan peraturan yang tidak bisa dilanggar. Itulah peraturan Kementerian
Kesehatan.

Bagaimana kalau dilanggar?

Akibatnya bisa fatal: biaya
perawatan tidak ditanggung BPJS.

Wali kota Surabaya pun ternyata
bisa menerima masukan itu. Setelah tenang Bu Risma pun mengambil keputusan:
pasien negatif harus cepat dipulangkan. Biar pun itu baru hasil tes swab
pertama.

Bagaimana kalau BPJS tidak mau
mengganti biayanya?

Di sinilah hebatnya Bu Risma:
”Pemda Surabaya yang akan mengganti,” katanyi di forum itu.

Peserta rapat pun lega. Ada jalan
keluar. Rapat bisa selesai dengan baik. 

Padahal rapat itu sempat
menegangkan. Terutama setelah berlangsung setengah jam. Tiba-tiba Bu Risma
berdiri dari tempat duduknyi. Dia maju ke depan meja pimpinan. Dia bersujud di
lantai. Sampai ndelosor.

Yang hadir di rapat itu pun
tertegun. Sebagian nimbrung ke tempat Bu Risma ndelosor di aspal.
Termasuk moderator rapat itu, Ketua IDI Surabaya, dr Brahmana.

Mereka memapah Bu Risma agar
bangkit dari ndelosornyi. Bu Risma kembali ke kursinyi.

Baca Juga :  Tingkatkan Minat Membaca

Yang mengadakan rapat itu: wali
kota Surabaya sendiri. Yang diundang: IDI (Ikatan Dokter Indonesia) Surabaya,
pimpinan rumah-rumah sakit, relawan Covid-19, dan gugus tugas wabah itu.

Rapatnya diadakan di halaman
depan kantor wali kota. Di seberang kantor Harian DI’s Way.

Bu Risma, sejak tiga bulan lalu,
memang berkantor di halaman. Di bawah tenda. Lantainya aspal.

Ke halaman itulah meja kerjanyi
dipindah. Di halaman itu pula rapat-rapat dengan wali kota dilangsungkan.

”Saya sendiri sudah tiga-empat
kali diajak beliau rapat di tempat terbuka itu,” ujar Dokter Brahmana. 

Senin kemarin pun dr. Brahmana
yang diminta memimpin rapat. Acara pertamanya pidato pengantar dari wali kota.
Bu Risma berpidato kira-kira setengah jam.

Setelah itu giliran para pimpinan
rumah sakit yang berbicara. 

Drama itu sendiri terjadi ketika
dokter Sudarsono tengah memberikan paparan. Ia adalah Ketua Tim Penyakit
Infeksi Emerging dan Remerging (Pinere) RSUD dr. Soetomo Surabaya, milik
Provinsi Jatim.

Dokter Sudarsono lagi
menceritakan keadaan rumah sakit yang ia pimpin. Tiba-tiba, itu tadi. Bu Risma ndelosor di
lantai –yang tak lain adalah aspal yang biasa untuk tempat berhenti
mobil. 

Begitu lama Bu Risma ndelosor.
Beberapa orang sampai ikut merayu untuk mengakhiri adegan itu.

Bu Risma pun kembali duduk di
kursinyi.

Setelah kembali duduk dia pun
mengungkapkan kejengkelannyi pada RSUD dr. Soetomo. Yang, katanyi, sulit diajak
koordinasi. Dari ucapannyi itu, terkesan, pasien Covid-19 dari Surabaya tidak
bisa masuk ke situ. Kesan lainnya lagi: Pemprov, sebagai pemilik RS itu, tidak
mendukung program Covid-19 wali kota. 

Baca Juga :  96 Bakal Paslon Perseorangan Diterima, 14 Ditolak

Kesan, di zaman medsos ini, bisa
lebih dominan dari data. Menurut data, pasien RS Dr Soetomo kebanyakan adalah
warga Surabaya.

Kalau pun ada pasien Surabaya
yang ditolak itu karena rumah sakitnya lagi penuh. Bukan karena wali kota
Surabaya lagi bertengkar dengan gubernur Jatim.

Jatim memang lagi punya gubernur
dan wali kota yang sama-sama wanitanya. Hanya beda partainya.

Baru sekitar dua menit Bu Risma
mengungkapkan kejengkelannyi ke RS dr. Soetomo, dia berdiri lagi. Maju ke depan
lagi. Sujud lagi. Ndelosor lagi. Untuk
yang kedua kalinya. 

IDI Surabaya pun mengusulkan
terobosan. Rapat setuju. Tinggal menunggu persetujuan. Juga menunggu anggaran.

Usul Dokter Brahmana adalah: agar
setiap Puskesmas di Surabaya disediakan alat pengukur oksigen. Banyak pasien
yang tidak ada gejala Covid-19 tapi kekurangan oksigen.

Menurut Brahmana, pasien yang
oksigennya sudah merosot harus segera dibawa ke rumah sakit.

Itu bisa mengurangi risiko
kematian. Juga bisa mengurangi beban rumah sakit.

”Alatnya murah kok. Hanya kisaran
ratusan ribu rupiah,” ujar dr. Brahmana.

Alat itu disebut ”pulse oximeter
fingertip”, alat pengukur kadar oksigen.

Begitulah. Semoga drama Senin
lalu itu yang terakhir kali.

Saya pun harus meralat tulisan DI’s
Way kemarin. Yang menyimpulkan bahwa berita terbesar minggu ini adalah marah
besarnya Presiden Jokowi. 

Ternyata di kampung saya sendiri
ada berita yang lebih besar lagi. Gajah di pelupuk memang bisa membuat mata
tertutup. (Dahlan Iskan)

 

Anda sudah tahu: Bu Risma (Tri
Rismaharini) sampai sujud-sujud. Di depan para dokter. Senin kemarin. 

Hasilnya nyata: diketahuilah
kenapa rumah-rumah sakit di Surabaya terlalu penuh penderita Covid-19.

Setelah adegan heboh itu jalan
keluar pun ditemukan. 

Penyebab utama lubernya rumah
sakit itu bisa diketahui. Jumlah penderita Covid-19 masih naik. Tapi ada
penyebab lain: pasien Covid-19 terlalu lama berada di rumah sakit.

Mengapa?

Karena yang sudah negatif tidak
boleh pulang. Harus menunggu hasil tes swab yang kedua. Padahal jarak tes
pertama dan kedua itu bisa lima sampai enam hari.

Prosedur yang seperti itu sesuai
dengan peraturan yang tidak bisa dilanggar. Itulah peraturan Kementerian
Kesehatan.

Bagaimana kalau dilanggar?

Akibatnya bisa fatal: biaya
perawatan tidak ditanggung BPJS.

Wali kota Surabaya pun ternyata
bisa menerima masukan itu. Setelah tenang Bu Risma pun mengambil keputusan:
pasien negatif harus cepat dipulangkan. Biar pun itu baru hasil tes swab
pertama.

Bagaimana kalau BPJS tidak mau
mengganti biayanya?

Di sinilah hebatnya Bu Risma:
”Pemda Surabaya yang akan mengganti,” katanyi di forum itu.

Peserta rapat pun lega. Ada jalan
keluar. Rapat bisa selesai dengan baik. 

Padahal rapat itu sempat
menegangkan. Terutama setelah berlangsung setengah jam. Tiba-tiba Bu Risma
berdiri dari tempat duduknyi. Dia maju ke depan meja pimpinan. Dia bersujud di
lantai. Sampai ndelosor.

Yang hadir di rapat itu pun
tertegun. Sebagian nimbrung ke tempat Bu Risma ndelosor di aspal.
Termasuk moderator rapat itu, Ketua IDI Surabaya, dr Brahmana.

Mereka memapah Bu Risma agar
bangkit dari ndelosornyi. Bu Risma kembali ke kursinyi.

Baca Juga :  Tingkatkan Minat Membaca

Yang mengadakan rapat itu: wali
kota Surabaya sendiri. Yang diundang: IDI (Ikatan Dokter Indonesia) Surabaya,
pimpinan rumah-rumah sakit, relawan Covid-19, dan gugus tugas wabah itu.

Rapatnya diadakan di halaman
depan kantor wali kota. Di seberang kantor Harian DI’s Way.

Bu Risma, sejak tiga bulan lalu,
memang berkantor di halaman. Di bawah tenda. Lantainya aspal.

Ke halaman itulah meja kerjanyi
dipindah. Di halaman itu pula rapat-rapat dengan wali kota dilangsungkan.

”Saya sendiri sudah tiga-empat
kali diajak beliau rapat di tempat terbuka itu,” ujar Dokter Brahmana. 

Senin kemarin pun dr. Brahmana
yang diminta memimpin rapat. Acara pertamanya pidato pengantar dari wali kota.
Bu Risma berpidato kira-kira setengah jam.

Setelah itu giliran para pimpinan
rumah sakit yang berbicara. 

Drama itu sendiri terjadi ketika
dokter Sudarsono tengah memberikan paparan. Ia adalah Ketua Tim Penyakit
Infeksi Emerging dan Remerging (Pinere) RSUD dr. Soetomo Surabaya, milik
Provinsi Jatim.

Dokter Sudarsono lagi
menceritakan keadaan rumah sakit yang ia pimpin. Tiba-tiba, itu tadi. Bu Risma ndelosor di
lantai –yang tak lain adalah aspal yang biasa untuk tempat berhenti
mobil. 

Begitu lama Bu Risma ndelosor.
Beberapa orang sampai ikut merayu untuk mengakhiri adegan itu.

Bu Risma pun kembali duduk di
kursinyi.

Setelah kembali duduk dia pun
mengungkapkan kejengkelannyi pada RSUD dr. Soetomo. Yang, katanyi, sulit diajak
koordinasi. Dari ucapannyi itu, terkesan, pasien Covid-19 dari Surabaya tidak
bisa masuk ke situ. Kesan lainnya lagi: Pemprov, sebagai pemilik RS itu, tidak
mendukung program Covid-19 wali kota. 

Baca Juga :  96 Bakal Paslon Perseorangan Diterima, 14 Ditolak

Kesan, di zaman medsos ini, bisa
lebih dominan dari data. Menurut data, pasien RS Dr Soetomo kebanyakan adalah
warga Surabaya.

Kalau pun ada pasien Surabaya
yang ditolak itu karena rumah sakitnya lagi penuh. Bukan karena wali kota
Surabaya lagi bertengkar dengan gubernur Jatim.

Jatim memang lagi punya gubernur
dan wali kota yang sama-sama wanitanya. Hanya beda partainya.

Baru sekitar dua menit Bu Risma
mengungkapkan kejengkelannyi ke RS dr. Soetomo, dia berdiri lagi. Maju ke depan
lagi. Sujud lagi. Ndelosor lagi. Untuk
yang kedua kalinya. 

IDI Surabaya pun mengusulkan
terobosan. Rapat setuju. Tinggal menunggu persetujuan. Juga menunggu anggaran.

Usul Dokter Brahmana adalah: agar
setiap Puskesmas di Surabaya disediakan alat pengukur oksigen. Banyak pasien
yang tidak ada gejala Covid-19 tapi kekurangan oksigen.

Menurut Brahmana, pasien yang
oksigennya sudah merosot harus segera dibawa ke rumah sakit.

Itu bisa mengurangi risiko
kematian. Juga bisa mengurangi beban rumah sakit.

”Alatnya murah kok. Hanya kisaran
ratusan ribu rupiah,” ujar dr. Brahmana.

Alat itu disebut ”pulse oximeter
fingertip”, alat pengukur kadar oksigen.

Begitulah. Semoga drama Senin
lalu itu yang terakhir kali.

Saya pun harus meralat tulisan DI’s
Way kemarin. Yang menyimpulkan bahwa berita terbesar minggu ini adalah marah
besarnya Presiden Jokowi. 

Ternyata di kampung saya sendiri
ada berita yang lebih besar lagi. Gajah di pelupuk memang bisa membuat mata
tertutup. (Dahlan Iskan)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru