33.2 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Julinten Edan

Edan. Julinten tidak terlalu
takut berada di sekitar Wuhan. Wali Kota Wuhan sendiri pilih mengundurkan diri.
Kini sorotan pindah ke Wali Kota Xianning, tetangga Wuhan. Kota Xianning
dianggap kurang sukses membentengi diri dari penularan virus Wuhan.

Di Xianning inilah tinggal banyak
mahasiswa Indonesia. Salah satunya Julinten Iman Sallo. Asal Tana Toraja,
Sulsel.

“Dibanding minggu lalu,
apakah ketakutan Anda sekarang meningkat?” tanya saya tadi malam.

“Sama saja, Pak,” jawab
Julinten.

“Kok Anda tidak kian takut?“

“Kami tahu apa yang harus
kami lakukan,” jawabnyi.

“Apa yang Anda
lakukan?”

“Tidak keluar asrama. Hidup
sehat,” katanyi.

“Hidup sehat seperti apa
yang Anda jalankan sekarang?”

“Bangun tidur minum air
putih, lalu makan buah yang banyak mengandung anti oksidan, olahraga,
istirahat,” katanyi.

“Berapa gelas air putih yang
Anda minum saat bangun tidur?”

“Kami tidak pakai gelas.
Kami punya botol berisi 600ml. Saya minum habis. Siang dan sore minum dua botol
lagi.”

“Buah apa yang Anda makan
tadi pagi?”

“Pisang satu biji dan apel
satu butir,” jawabnyi.

Julinten sudah 2,5 tahun di Kota
Xianning. Kini dia semester 5 di fakultas kedokteran di sana.

“Apakah sudah mendengar
mahasiswa Indonesia akan dijemput pulang oleh pemerintah?” tanya saya.

“Sudah mendengar. Ada surat
resmi dari pemerintah Indonesia ke pihak universitas,” jawab Julinten.

“Apakah Anda ikut pulang
atau tidak?”

“Ya ikut pulang lah,
Pak,” jawabnyi.

“Kan Anda tidak terlalu
takut…”

“Keinginan kami untuk pulang
atau tidak 50:50. Tapi kami harus menghargai upaya pemerintah. Kan pesawat
sudah diterbangkan dari Jakarta. Masak pulangnya kosong. Kita harus menghargai
upaya pemerintah,” jawabnyi.

“Kalau kelak virus Wuhan
sudah reda apakah Anda akan balik lagi ke Xianning atau tidak?”

“Ya harus balik ke sini,
Pak. Kan kami harus menuntut ilmu,” jawabnyi.

“Tingkat ketakutan Anda
sekarang ini di skala berapa? Skala 1 sama sekali tidak takut. Skala 10 sangat
takut.”

“Di skala 5 Pak,” jawabnyi.

“Apakah tingkat ketakutan
teman-teman Anda juga di skala 5?”

Baca Juga :  FBIM Jadi Ajang Promosi Pariwisata

“Tidak sama. Ada yang takut
sekali. Misalnya adik angkatan yang baru tiba di sini tahun lalu. Lebih takut
dari kami-kami. Mereka masih harus menyesuaikan diri hidup secara lebih
disiplin. Apalagi mereka yang anak orang mampu yang biasa hidup enak,”
jawabnyi.

“Kenapa Anda lebih tidak
takut?“

“Kebetulan tiga bulan lalu
pelajaran kami tentang virus, bakteri, dan sejenis itu. Kami tahu virus itu
seperti apa dan bagaimana kami harus bersikap.”

Julinten lantas menjelaskan semua
itu. Penjelasannyi bagus sekali. Gaya bicaranyi menarik. Intonasi suaranyi
bagus. Saya bayangkan kalau kelak jadi dokter Julinten termasuk yang pandai
memberi penjelasan pada pasien di pedalaman Toraja.

Dia juga sudah tahu bahwa virus
tersebut tidak akan hidup di suhu udara 35 derajat celsius. Julinten juga mampu
merinci bagaimana serangan virus Wuhan itu ke alat pernapasan atas dan alat
pernapasan bawah.

Yang disebut alat penafasan atas
adalah hidung dan mulut.

“Yang alat penafasan bawah
itu vagina dan dubur?” sela saya sok tahu.

“Hehehe…. Bukan pak,”
jawabnyi lucu.

Saya memang awam soal virus. Saya
juga terlalu terpengaruh bacaan. Saya memang baru membaca literatur tentang
virus yang masuk ke orang lain lewat organ yang tidak dilapisi tisu sel. Ada
lima bagian yang tidak dilapisi tisu: mulut, hidung, lubang telinga, subur dan
vagina.

Dua kata yang terakhir itu masih
melekat di otak saya. Maka saat disinggung soal atas dan bawah pikiran saya
langsung bahwa yang bawah itu ya yang dua itu.

“Yang dimaksud alat
penafasan bawah itu paru-paru, Pak,” katanyi.

“Maafkan, saya salah.”

Julinten pun menjelaskan
bagaimana virus itu menyerang paru-paru. Juga bagaimana proses penularannya.
Yang lewat percikan liur dari mulut atau sentuhan orang yang sudah terkena
virus.

Maka isolasi adalah cara yang
terbaik untuk tidak tertular.

“Anda kan tidak keluar
asrama. Tolong ceritakan kegiatan sehari penuh Anda.”

“Setelah minum air putih dan
makan buah, nonton video, baca buku, main game. Makan siang. Lalu tidur. Lalu
baca-baca. Mengunjungi teman-teman di kamar lain. Ngobrol. Olahraga ringan.
Nonton video. Tidur.”

Baca Juga :  Mantan Politisi Gerindra Ini Siap Maju Independen di Pilkada Kotim

“Nonton video di mana. Kan
di asrama tidak boleh ada TV?”

“Nonton video di
ponsel,” katanyi.

“Berapa suhu udara di
Xianning sekarang (jam 7 tadi malam)?”

Julinten minta waktu sebentar.
Dia mengecek suhu udara di ponselnyi.

“Sekarang 8 derajat,
Pak.”

“Anda nyalakan pemanas?“

“Iya, pak. Tidak kuat
dingin.”

“Makanan cukup?“

“Cukup, Pak. Tiga hari lalu
kami belanja banyak. Cukup untuk satu minggu ke depan,” jawabnyi.

“Anda berani belanja
keluar?”

“Sebenarnya sudah ada
pemberitahuan jangan pernah keluar. Kalau perlu bahan makanan bisa pesan lewat
guru. Akan diantarkan. Tapi tokonya dekat sekali pak. Hanya lima menit jalan
kaki.”

“Anda sendirian waktu
belanja?”

“Kami bertempat.”

“Apakah terjadi antrean di
toko?”

“Memang banyak yang belanja
tapi tidak sampai antre dan tidak sampai berebutan ambil barang. Kebetulan toko
ini buka dari jam 10 pagi sampai jam 5 sore. Ada toko lain yang hanya buka satu
jam.”

“Tidakkah sulit untuk keluar
kampus?”

“Di gerbang keluar kami diperiksa
ketat. Tapi kami membawa surat lengkap bahwa kami mahasiswa.”

Julinten adalah mahasiswa yang
berangkat ke Tiongkok lewat yayasan kami ITCC Surabaya. Setiap tahun yayasan
kami memberangkatkan sekitar 350 mahasiswa ke sembilan perguruan tinggi di Tiongkok.

Julinten adalah anak seorang
pegawai negeri. Anak keempat dari lima bersaudara. Ayahnyi pemilik sekolah.
Ibunyi ibu rumah tangga.

Julinten lulusan SMA Lentera
Harapan Toraja.

“Tentu orang tua Anda
mengkhawatirkan keadaan Anda. Di skala berapa tingkat ketakutan orang tua
Anda?”

“Di skala 7, Pak”.

“Berapa kali Anda
berhubungan telepon dengan orang tua di Toraja?”

“Tiga kali. Pagi, siang,
sore.”

“Anda yang telepon orang tua
atau orang tua yang menelepon Anda?”

“Selalu orang tua yang
telepon saya”.

Huh!

Khas orang tua. Yang sangat
mengkhawatirkan anak mereka.(Dahlan Iskan)

 

Edan. Julinten tidak terlalu
takut berada di sekitar Wuhan. Wali Kota Wuhan sendiri pilih mengundurkan diri.
Kini sorotan pindah ke Wali Kota Xianning, tetangga Wuhan. Kota Xianning
dianggap kurang sukses membentengi diri dari penularan virus Wuhan.

Di Xianning inilah tinggal banyak
mahasiswa Indonesia. Salah satunya Julinten Iman Sallo. Asal Tana Toraja,
Sulsel.

“Dibanding minggu lalu,
apakah ketakutan Anda sekarang meningkat?” tanya saya tadi malam.

“Sama saja, Pak,” jawab
Julinten.

“Kok Anda tidak kian takut?“

“Kami tahu apa yang harus
kami lakukan,” jawabnyi.

“Apa yang Anda
lakukan?”

“Tidak keluar asrama. Hidup
sehat,” katanyi.

“Hidup sehat seperti apa
yang Anda jalankan sekarang?”

“Bangun tidur minum air
putih, lalu makan buah yang banyak mengandung anti oksidan, olahraga,
istirahat,” katanyi.

“Berapa gelas air putih yang
Anda minum saat bangun tidur?”

“Kami tidak pakai gelas.
Kami punya botol berisi 600ml. Saya minum habis. Siang dan sore minum dua botol
lagi.”

“Buah apa yang Anda makan
tadi pagi?”

“Pisang satu biji dan apel
satu butir,” jawabnyi.

Julinten sudah 2,5 tahun di Kota
Xianning. Kini dia semester 5 di fakultas kedokteran di sana.

“Apakah sudah mendengar
mahasiswa Indonesia akan dijemput pulang oleh pemerintah?” tanya saya.

“Sudah mendengar. Ada surat
resmi dari pemerintah Indonesia ke pihak universitas,” jawab Julinten.

“Apakah Anda ikut pulang
atau tidak?”

“Ya ikut pulang lah,
Pak,” jawabnyi.

“Kan Anda tidak terlalu
takut…”

“Keinginan kami untuk pulang
atau tidak 50:50. Tapi kami harus menghargai upaya pemerintah. Kan pesawat
sudah diterbangkan dari Jakarta. Masak pulangnya kosong. Kita harus menghargai
upaya pemerintah,” jawabnyi.

“Kalau kelak virus Wuhan
sudah reda apakah Anda akan balik lagi ke Xianning atau tidak?”

“Ya harus balik ke sini,
Pak. Kan kami harus menuntut ilmu,” jawabnyi.

“Tingkat ketakutan Anda
sekarang ini di skala berapa? Skala 1 sama sekali tidak takut. Skala 10 sangat
takut.”

“Di skala 5 Pak,” jawabnyi.

“Apakah tingkat ketakutan
teman-teman Anda juga di skala 5?”

Baca Juga :  FBIM Jadi Ajang Promosi Pariwisata

“Tidak sama. Ada yang takut
sekali. Misalnya adik angkatan yang baru tiba di sini tahun lalu. Lebih takut
dari kami-kami. Mereka masih harus menyesuaikan diri hidup secara lebih
disiplin. Apalagi mereka yang anak orang mampu yang biasa hidup enak,”
jawabnyi.

“Kenapa Anda lebih tidak
takut?“

“Kebetulan tiga bulan lalu
pelajaran kami tentang virus, bakteri, dan sejenis itu. Kami tahu virus itu
seperti apa dan bagaimana kami harus bersikap.”

Julinten lantas menjelaskan semua
itu. Penjelasannyi bagus sekali. Gaya bicaranyi menarik. Intonasi suaranyi
bagus. Saya bayangkan kalau kelak jadi dokter Julinten termasuk yang pandai
memberi penjelasan pada pasien di pedalaman Toraja.

Dia juga sudah tahu bahwa virus
tersebut tidak akan hidup di suhu udara 35 derajat celsius. Julinten juga mampu
merinci bagaimana serangan virus Wuhan itu ke alat pernapasan atas dan alat
pernapasan bawah.

Yang disebut alat penafasan atas
adalah hidung dan mulut.

“Yang alat penafasan bawah
itu vagina dan dubur?” sela saya sok tahu.

“Hehehe…. Bukan pak,”
jawabnyi lucu.

Saya memang awam soal virus. Saya
juga terlalu terpengaruh bacaan. Saya memang baru membaca literatur tentang
virus yang masuk ke orang lain lewat organ yang tidak dilapisi tisu sel. Ada
lima bagian yang tidak dilapisi tisu: mulut, hidung, lubang telinga, subur dan
vagina.

Dua kata yang terakhir itu masih
melekat di otak saya. Maka saat disinggung soal atas dan bawah pikiran saya
langsung bahwa yang bawah itu ya yang dua itu.

“Yang dimaksud alat
penafasan bawah itu paru-paru, Pak,” katanyi.

“Maafkan, saya salah.”

Julinten pun menjelaskan
bagaimana virus itu menyerang paru-paru. Juga bagaimana proses penularannya.
Yang lewat percikan liur dari mulut atau sentuhan orang yang sudah terkena
virus.

Maka isolasi adalah cara yang
terbaik untuk tidak tertular.

“Anda kan tidak keluar
asrama. Tolong ceritakan kegiatan sehari penuh Anda.”

“Setelah minum air putih dan
makan buah, nonton video, baca buku, main game. Makan siang. Lalu tidur. Lalu
baca-baca. Mengunjungi teman-teman di kamar lain. Ngobrol. Olahraga ringan.
Nonton video. Tidur.”

Baca Juga :  Mantan Politisi Gerindra Ini Siap Maju Independen di Pilkada Kotim

“Nonton video di mana. Kan
di asrama tidak boleh ada TV?”

“Nonton video di
ponsel,” katanyi.

“Berapa suhu udara di
Xianning sekarang (jam 7 tadi malam)?”

Julinten minta waktu sebentar.
Dia mengecek suhu udara di ponselnyi.

“Sekarang 8 derajat,
Pak.”

“Anda nyalakan pemanas?“

“Iya, pak. Tidak kuat
dingin.”

“Makanan cukup?“

“Cukup, Pak. Tiga hari lalu
kami belanja banyak. Cukup untuk satu minggu ke depan,” jawabnyi.

“Anda berani belanja
keluar?”

“Sebenarnya sudah ada
pemberitahuan jangan pernah keluar. Kalau perlu bahan makanan bisa pesan lewat
guru. Akan diantarkan. Tapi tokonya dekat sekali pak. Hanya lima menit jalan
kaki.”

“Anda sendirian waktu
belanja?”

“Kami bertempat.”

“Apakah terjadi antrean di
toko?”

“Memang banyak yang belanja
tapi tidak sampai antre dan tidak sampai berebutan ambil barang. Kebetulan toko
ini buka dari jam 10 pagi sampai jam 5 sore. Ada toko lain yang hanya buka satu
jam.”

“Tidakkah sulit untuk keluar
kampus?”

“Di gerbang keluar kami diperiksa
ketat. Tapi kami membawa surat lengkap bahwa kami mahasiswa.”

Julinten adalah mahasiswa yang
berangkat ke Tiongkok lewat yayasan kami ITCC Surabaya. Setiap tahun yayasan
kami memberangkatkan sekitar 350 mahasiswa ke sembilan perguruan tinggi di Tiongkok.

Julinten adalah anak seorang
pegawai negeri. Anak keempat dari lima bersaudara. Ayahnyi pemilik sekolah.
Ibunyi ibu rumah tangga.

Julinten lulusan SMA Lentera
Harapan Toraja.

“Tentu orang tua Anda
mengkhawatirkan keadaan Anda. Di skala berapa tingkat ketakutan orang tua
Anda?”

“Di skala 7, Pak”.

“Berapa kali Anda
berhubungan telepon dengan orang tua di Toraja?”

“Tiga kali. Pagi, siang,
sore.”

“Anda yang telepon orang tua
atau orang tua yang menelepon Anda?”

“Selalu orang tua yang
telepon saya”.

Huh!

Khas orang tua. Yang sangat
mengkhawatirkan anak mereka.(Dahlan Iskan)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru